Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Berita ViralHukumPemerintah

COVID-19: Tragedi Kemanusiaan atau Kejahatan Terencana?

501
×

COVID-19: Tragedi Kemanusiaan atau Kejahatan Terencana?

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Jakarta- Pandemi COVID-19 menjadi salah satu bencana paling besar dalam sejarah modern. Berasal dari daratan Cina pada akhir 2019, virus ini menyebar dengan cepat ke seluruh dunia, mengunci jutaan orang di rumah, melumpuhkan perekonomian global, dan menelan lebih dari tujuh juta nyawa secara resmi angka yang diyakini jauh lebih kecil dari kenyataan.(09/07)

 

MataXpost.com
Example 300x600
Tiada Kebenaran Yang Mendua

Namun seiring berjalannya waktu, banyak pihak mulai mempertanyakan: apakah ini sekadar tragedi alamiah, atau ada skenario besar yang disusun rapi di balik layar? Benarkah dunia hanya menghadapi virus mematikan, atau ada racun lain yang lebih mengerikan disuntikkan ke tubuh umat manusia racun kepentingan, kekuasaan, dan keuntungan?

 

Dalam kegentingan global, industri farmasi internasional bangkit bak dewa penyelamat. Perusahaan-perusahaan seperti Pfizer, Moderna, AstraZeneca dan lainnya meluncurkan vaksin dalam waktu kilat, didorong oleh anggaran triliunan dolar dan jaminan dari pemerintah-pemerintah besar. Tapi dalam kecepatan luar biasa itulah, muncul ketakutan: apakah obat ini benar-benar disusun untuk menyelamatkan, atau justru mempercepat kematian?

 

Beberapa obat yang dipromosikan sebagai “standar pengobatan COVID” seperti Remdesivir—disebut-sebut menyebabkan kerusakan fatal pada organ tubuh. Sejumlah dokter dan ilmuwan yang mencoba mengungkap efek samping dan alternatif pengobatan malah dicap sebagai penyebar hoaks, dipecat, bahkan dipidanakan. Seolah dunia menolak segala suara yang menyimpang dari narasi resmi.

 

Di berbagai negara, keluarga korban menyampaikan bahwa orang-orang tercinta mereka meninggal bukan karena virus itu sendiri, melainkan setelah menerima “penanganan medis” yang mencurigakan. Ada laporan tentang suntikan berulang, dosis tinggi obat eksperimental, ventilator invasif yang digunakan tanpa diagnosis menyeluruh. Ketika kematian datang, data dicatat sebagai akibat COVID-19, bukan akibat intervensi medis yang agresif. Publik pun dicekoki rasa takut, sementara narasi tunggal dikukuhkan: vaksin adalah satu-satunya jalan.

 

Yang mencurigakan, keuntungan perusahaan farmasi melonjak luar biasa di tengah derita global. Mereka kebal dari gugatan, dilindungi perjanjian-perjanjian rahasia dengan pemerintah. Sementara rakyat di banyak negara, termasuk negara berkembang, dipaksa memilih antara hidup miskin atau tunduk pada mandat vaksin. Bukti-bukti tentang potensi efek samping disembunyikan, data dimanipulasi, dan platform digital disulap menjadi alat sensor massal terhadap segala bentuk keraguan.

 

Di Indonesia, tragedi kemanusiaan ini juga berlangsung dalam senyap. Lonjakan kasus varian Delta tahun 2021 membuat rumah sakit penuh sesak, tabung oksigen langka, dan antrean jenazah membentang di luar IGD. Namun di tengah kepanikan itu, protokol kesehatan dan vaksinasi justru menjadi komoditas politik dan bisnis.

 

Pemerintah memaksa vaksinasi massal meski banyak masyarakat ragu dan belum mendapat informasi memadai tentang keamanan jangka panjang. Bahkan anak-anak sekolah divaksin tanpa persetujuan resmi dari orang tua. Beberapa anak kolaps, ada yang meninggal, tapi tidak pernah ada investigasi terbuka. Semua dianggap “kejadian ikutan” yang tak perlu dirisaukan.

 

Banyak tenaga kesehatan wafat tak lama setelah menerima vaksin dosis kedua atau booster. Nama-nama mereka sempat viral, namun kemudian lenyap dari pemberitaan. Beberapa dokter dan akademisi yang mempertanyakan efektivitas vaksin mRNA, atau menyarankan alternatif pengobatan seperti Ivermectin, justru dikriminalisasi, izin praktik dicabut, bahkan dilabeli sebagai “penyebar hoaks.” Kritik terhadap vaksin dan kebijakan COVID dijawab dengan pelaporan UU ITE dan pemblokiran media sosial.

 

Yang lebih menyakitkan, bantuan sosial diselewengkan, dana penanganan COVID dikorupsi berjemaah, mulai dari pengadaan alat tes, pembelian APD, hingga pembangunan fasilitas darurat. Kasus suap di Kementerian Sosial saat itu menjadi puncak gunung es. Ketika rakyat kelaparan, pejabat menumpuk kekayaan. Di tengah tragedi, yang berkembang bukan solidaritas, tapi oportunisme.

 

Pandemi ini tidak lagi murni soal kesehatan, tapi juga menjadi alat politik dan kontrol sosial. Pembatasan gerak, pelacakan digital, sertifikat vaksin, hingga paspor kesehatan menjadi alat untuk menguji batas kendali negara terhadap warga. Dan hingga hari ini, tak ada satu pun pengadilan internasional yang berani membuka penyelidikan atas dugaan kejahatan kemanusiaan dalam skala global.

 

Apakah dunia akan terus diam ketika mayat-mayat dikuburkan tanpa jawaban? Apakah kita rela membiarkan tragedi ini dilupakan tanpa penyelidikan yang transparan dan menyeluruh?

 

Asal-usul virus ini hingga hari ini masih menjadi perdebatan dunia. Pemerintah Tiongkok pertama kali melaporkan adanya wabah pneumonia misterius di Wuhan, Provinsi Hubei, pada Desember 2019. Versi resmi menyebut virus berasal dari pasar hewan liar, diduga menular dari kelelawar ke manusia.

 

Namun banyak ilmuwan independen, jurnalis investigasi, hingga badan intelijen negara-negara Barat mencurigai bahwa virus ini bukan hasil evolusi alamiah semata, melainkan kemungkinan besar bocor atau bahkan disengaja keluar dari laboratorium virologi di Wuhan, yaitu Wuhan Institute of Virology (WIV) yang memiliki tingkat keamanan hayati BSL-4 dan dikenal meneliti virus corona jenis kelelawar secara genetik.

 

Laporan-laporan investigasi dari media kredibel seperti The Wall Street Journal dan The Intercept mengungkap bahwa terdapat pendanaan dari National Institutes of Health (NIH) Amerika Serikat ke laboratorium di Wuhan, melalui organisasi bernama EcoHealth Alliance.

 

Penelitian itu diduga masuk kategori gain-of-function, yakni memodifikasi virus agar lebih mudah menular antar manusia. Meski WHO sempat menyelidiki, hasilnya dianggap tidak independen karena melibatkan tim ilmiah yang didampingi ketat oleh pemerintah Tiongkok, dan akses ke dokumen laboratorium dibatasi. Kecurigaan menguat bahwa ada konspirasi global untuk menyembunyikan asal-usul sesungguhnya.

 

Jika benar virus ini berasal dari laboratorium, baik karena kelalaian atau unsur kesengajaan, maka ini bukan semata wabah, melainkan insiden biologi terbesar dalam sejarah umat manusia. Maka pemerintah Tiongkok, lembaga-lembaga penelitian yang terlibat, dan pendana internasionalnya seharusnya diminta pertanggungjawaban hukum dan moral secara internasional. Dunia berhak tahu kebenaran, bukan disodori narasi resmi yang penuh lubang.

 

Namun hingga kini, tidak ada satu pun pemimpin dunia atau organisasi internasional yang secara terbuka menuntut pertanggungjawaban itu secara menyeluruh. WHO terlalu lunak, PBB diam, dan negara-negara besar saling menjaga kepentingan. Alih-alih mengungkap dalang, dunia justru sibuk mengatur pasokan vaksin, paspor kesehatan, dan regulasi ketat berbasis pandemi yang seolah sudah dirancang sebelum wabah dimulai.

 

Tragedi global ini seharusnya menyadarkan kita: bahwa ketika ilmu pengetahuan dicampuri ambisi, dan laboratorium berubah menjadi medan uji coba geopolitik, maka bencana bukan lagi soal kemungkinan, tapi soal waktu. Dan kini, waktu itu telah tiba dengan korban jutaan jiwa, dan dunia yang tak lagi bisa kembali seperti sedia kala

Example 300250
Example 120x600
banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 468x60