Pekanbaru – Ada yang berubah dalam dunia pers. Dahulu, jurnalis ditakuti karena tulisannya mampu menggoyang kursi kekuasaan. Kini, sebagian dari mereka justru menjadi penghangat sofa penguasa, rela berdiri di belakang mikrofon, bukan untuk bertanya, tetapi menunggu giliran menyalin ulang narasi penguasa, Mikrofon kehilangan fungsinya sebagai alat penggugat, berubah menjadi pengeras suara pejabat. Layar berita pun tak lagi jadi ruang klarifikasi publik, melainkan panggung pencitraan politik yang dibayar lunas.
Di zaman ini, ketika kata “independen” dilelang ke meja birokrat dan pemilik modal, kami memilih tidak ikut dalam barisan.
Kami tahu, banyak yang masih menganggap pers sebagai “pilar keempat demokrasi” mata dan telinga masyarakat. Tapi benarkah pilar itu masih berdiri kokoh? Atau justru sudah dipoles dengan marmer kekuasaan dan dilapisi iklan korporasi? Banyak media hari ini lebih takut kehilangan akses daripada kehilangan kepercayaan. Mereka menyusun berita seperti brosur: rapi, halus, dan penuh basa-basi.
Ada yang setiap hari berbicara soal integritas, tapi hidup dari “kerja sama publikasi” yang membunuh independensi. Ada wartawan yang fasih bicara etika, tapi matanya silau oleh undangan dinas dan peliputan mewah. Bahkan ada redaksi yang bangga karena tak pernah dikritik pejabat padahal di situlah tanda kematian jurnalisme dimulai.
Di antara para pemburu berita, lahirlah spesies baru: jurnalis penjaja narasi, yang menukar pena dengan amplop, dan lebih rajin menyalin rilis pejabat ketimbang menyusun pertanyaan kritis. Mereka tak lagi bicara atas nama publik, melainkan bersuara dengan logat sponsor. Mereka tak pernah menyentuh kebijakan, kecuali untuk menyanjungnya.
Tak kalah ironis adalah sebagian LSM yang dulunya berdiri di barisan rakyat, tapi kini duduk manis dalam forum “kemitraan strategis”—menerima dana dari mereka yang seharusnya diawasi. Mereka bersuara keras soal moralitas, tapi dompetnya lunak terhadap proposal proyek. Menyebut diri watchdog, tapi gonggongannya hanya terdengar saat dana bantuan belum cair.
Kami hadir bukan untuk menyenangkan penguasa. Kami tidak hidup dari kemurahan pejabat. Kami tak menulis demi akreditasi VVIP atau demi jamuan makan malam. Kami tidak tunduk pada kemauan pemilik modal, tidak tunduk pada tekanan politik, dan tidak tunduk pada kenyamanan.
X-Post berdiri di atas nalar, bukan di bawah ketakutan. Kami percaya, tugas pers bukan untuk menyamankan kekuasaan, melainkan menggelisahkannya. Sebab ketika kekuasaan merasa nyaman, ia mulai lupa kepada siapa ia harus bertanggung jawab.
Jurnalisme adalah kerja akal sehat—bukan kerja basa-basi. Ia bukan seni menjilat, melainkan seni menggugat. Dan jika hari ini banyak media lebih sibuk menjaga hubungan baik daripada menjaga jarak kritis, maka publik berhak curiga: siapa sebenarnya yang mereka layani?
Kami bukan pelacur kekuasaan.
Kami bukan pembantu pencitraan.
Kami bukan penjual kata-kata demi kontrak kerja sama.
Kami bukan LSM berlidah dua, yang satu bicara rakyat sambil menghitung fee proyek.
Kami adalah Mata X-Post.
Kami melihat yang tak ingin diperlihatkan.
Menulis yang tak ingin dibaca pejabat.
Bersuara ketika yang lain memilih diam.
Dan bila hari ini kami dibenci oleh penguasa, dicibir oleh wartawan amplop, dijauhi oleh LSM penjilat maka kami tahu: kami tahu mereka dalam kegelisahan.
Dan jika hari ini kami berdiri sendiri, kami tahu satu hal: Dalam dunia yang penuh kebohongan, kebenaran memang terasa seperti pemberontakan.
Redaksi Mata X-Post
Tiada Kebenaran Yang Mendua