Pendahuluan :
“Mengapa hanya tanah Suandi yang dipermasalahkan, sementara tanah lain yang sudah dibangun dibiarkan? Apakah ini bagian dari praktik mafia tanah yang melibatkan pejabat daerah?”
Pemkab Diduga Merampas Tanah Warga
Sengketa lahan di Kabupaten Kepulauan Meranti semakin memanas setelah Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) tiba-tiba mengklaim tanah milik Suandi sebagai aset daerah. Dengan memasang plang bertuliskan “Tanah Milik Pemkab Kepulauan Meranti,” BPKAD mengabaikan bukti kepemilikan yang sah dan tanpa menunjukkan sertifikat resmi atau dokumen hibah yang valid. (28/02)
Yang lebih mencurigakan, di kawasan yang sama, dua unit rumah mewah telah selesai dibangun dan berpindah kepemilikan tanpa ada intervensi dari Pemkab. Jika memang tanah tersebut adalah aset daerah, mengapa hanya lahan Suandi yang diklaim, sementara properti lain dibiarkan?
Dugaan bahwa ini bukan sekadar penertiban aset semakin kuat dengan adanya bukti sketsa dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan citra satelit yang justru membantah klaim Pemkab. Kasus ini mengarah pada indikasi praktik mafia tanah yang melibatkan oknum pejabat daerah.
Siapa sebenarnya yang bermain di balik kasus ini? Dan mengapa Pemkab Kepulauan Meranti begitu ngotot menargetkan tanah Suandi?
Klaim Sepihak dan Dugaan Penyalahgunaan Wewenang
1.Suandi Memiliki Tanah Secara Sah
Suandi menguasai tanah ini berdasarkan dokumen kepemilikan yang sah sejak tahun 2018. Rantai kepemilikan sebelumnya juga jelas:
Tahun 1980: Ibu Nemi memperoleh tanah dari Ishak dengan SKGR jual beli.
Tahun 1997: Pak Shinto membeli tanah dari Ibu Nemi dengan SKGR jual beli.
Tahun 2018: Suandi membeli tanah dari Pak Shinto dengan SKGR jual beli.
Selain itu, sketsa dari BPN serta pengukuran resmi yang dilakukan bersama pejabat terkait membuktikan keabsahan kepemilikan Suandi.
2.Pemkab Mendadak Mengklaim Tanah sebagai Aset Daerah
Tanpa menunjukkan bukti sertifikat atau dokumen hibah yang sah, BPKAD tiba-tiba memasang plang mengklaim tanah tersebut sebagai aset Pemkab. Mereka berdalih bahwa tanah ini adalah hibah dari Kabupaten Bengkalis.
Namun, ketika diminta menunjukkan dokumen resmi yang membuktikan hibah tersebut, Pemkab tidak dapat memberikan bukti yang valid.
3.Sikap Lurah yang Berubah Drastis
Awalnya, Lurah Selatpanjang Selatan ikut serta dalam pengukuran bersama BPN dan bahkan menandatangani petisi mendukung kepemilikan Suandi.
Namun, setelah kasus ini mencuat, Lurah mendadak menarik diri dan mengaku tidak tahu-menahu soal sengketa ini. Ada dugaan tekanan dari pihak tertentu agar ia mengubah pernyataannya.
4.Bukti Citra Satelit dan Sketsa BPN Membantah Pemkab
Suandi memiliki gambar sketsa lapangan berwarna serta tangkapan satelit resmi yang menunjukkan batas tanahnya sesuai dengan dokumen kepemilikan.
Sebaliknya, klaim Pemkab tidak didukung bukti visual yang kuat. Ketidakkonsistenan ini semakin menguatkan dugaan bahwa ada kepentingan lain yang bermain di balik kasus ini.
Dugaan Mafia Tanah dan Permainan Aset Daerah
1.Mengapa Hanya Tanah Suandi yang Dipermasalahkan?
Di kawasan yang sama, dua unit rumah mewah telah selesai dibangun dan berpindah kepemilikan tanpa masalah. Jika benar tanah ini milik daerah, mengapa Pemkab tidak menertibkan seluruh area?
2.Indikasi Jual-Beli Aset Daerah secara Ilegal
Beberapa bidang tanah di sekitar lokasi sengketa telah berpindah tangan tanpa hambatan. Ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah ada pejabat yang terlibat dalam jual-beli ilegal aset daerah?
3.Dugaan Tekanan terhadap Pejabat Pemerintah
Sikap lurah yang berubah setelah awalnya mendukung Suandi menimbulkan kecurigaan adanya tekanan atau intimidasi dari pihak tertentu. Jika benar ada intervensi, siapa pihak yang memberikan perintah tersebut?
4.Ketidakkonsistenan Pemkab dalam Menyelamatkan Aset
Jika Pemkab benar-benar ingin menyelamatkan aset daerah, seharusnya seluruh tanah yang diklaim sebagai aset ditertibkan, bukan hanya milik Suandi. Mengapa mereka memilih hanya satu bidang tanah sementara yang lain dibiarkan?
Merasa dirugikan, Suandi telah menggugat Pemkab Kepulauan Meranti ke Pengadilan Negeri Bengkalis dengan Nomor Perkara 11/Pdt.G/2025/PN Bls. Kuasa hukumnya, Djalius, S.H., D.K., menegaskan bahwa tindakan Pemkab adalah bentuk penyalahgunaan wewenang.
“Jika memang tanah ini aset Pemkab, mana bukti sertifikatnya? Jika tidak ada, maka ini adalah perampasan hak rakyat secara sewenang-wenang.”ujarnya
Beberapa pertanyaan besar yang harus dijawab Pemkab Kepulauan Meranti:
1.Jika tanah ini benar aset daerah, mengapa bisa diperjualbelikan dan dibangun tanpa intervensi Pemkab sebelumnya?
2.Mengapa hanya tanah Suandi yang dipermasalahkan, sementara tanah lain tetap dibiarkan?
3.Apakah ada pejabat daerah yang terlibat dalam transaksi ilegal aset daerah?
Diikutip dari Halloriau.com, fakta yang mengejutkan dari pengakuan Kepala Bidang Aset BPKAD Kepulauan Meranti, Istiqomah, SE, M.Si, menegaskan bahwa lahan tersebut merupakan aset milik pemerintah daerah berdasarkan nota hibah dari Pemkab Bengkalis pada tahun 2013.
Pihaknya pun telah memperkuat pengamanan aset daerah dengan memasang papan plang di lahan eks Lapangan Sepak Bola Torpedo itu.
Wanita yang akrab disapa Hesti ini menjelaskan bahwa lahan tersebut merupakan bagian dari satu hamparan seluas 3,7 hektare yang juga mencakup beberapa sekolah, Kantor Lurah Selatpanjang Selatan, serta ruko yang saat ini ditempati oleh Suwandi. Dimana lahan yang tercatat sebagai milik pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti itu sesuai dengan nota hibah dari Pemkab Bengkalis waktu itu pada tahun 2013.
“Kami tidak sembarangan mengklaim lahan seperti yang dituduhkan. Lahan ini sudah tercatat dalam inventarisasi Pemkab Kepulauan Meranti. Banyak aset hibah dari Bengkalis yang belum terbaca, bahkan ada yang sudah diperjualbelikan, seperti lahan tempat ruko Suwandi berdiri saat ini. Itu tidak kami gugat, justru dia yang menggugat pemerintah. Kami hanya berupaya…”
Jika memang BPKAD mengetahui adanya aset daerah yang diperjualbelikan secara ilegal tetapi tidak bertindak, hal ini patut dicurigai sebagai bentuk kelalaian atau bahkan kesengajaan. Untuk membuktikan ada tidaknya unsur pelanggaran, perlu ditelusuri lebih lanjut siapa pihak-pihak yang diuntungkan dari transaksi ini dan apakah ada hubungan antara pembeli dengan pejabat daerah.
Kesimpulan: Skandal yang Harus Diusut Tuntas
Kasus ini bukan sekadar sengketa lahan biasa. Ada indikasi kuat bahwa BPKAD Kepulauan Meranti melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan aset daerah.
Fakta-fakta yang menguatkan dugaan ini:
โ Pemkab tidak dapat menunjukkan sertifikat atau dokumen hibah yang sah.
โ Tanah lain di kawasan yang sama bebas diperjualbelikan dan dibangun tanpa gangguan.
โ Ada indikasi tekanan terhadap pejabat yang sebelumnya mendukung Suandi.
โ Bukti sketsa BPN dan citra satelit membantah klaim Pemkab.
Ketika BPKAD Kepulauan Meranti mengetahui adanya aset daerah yang diperjualbelikan secara ilegal tetapi tidak mengambil tindakan, ada beberapa aspek hukum yang dapat dikaji:
1.Pelanggaran UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Pasal 50 ayat (1) menyatakan bahwa barang milik negara/daerah yang hilang atau berpindah tangan tanpa prosedur yang sah harus segera diproses hukum.
Jika ada aset daerah yang diperjualbelikan tanpa prosedur resmi, pemerintah daerah wajib menindaklanjutinya.
Pejabat yang mengetahui pelanggaran tetapi tidak bertindak bisa dianggap lalai dalam pengelolaan aset negara.
2.Dugaan Penyalahgunaan Wewenang (UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan)
Pasal 17 menyatakan bahwa penyalahgunaan wewenang meliputi:
a. Melampaui kewenangan,
b. Mencampuradukkan kewenangan, atau
c. Bertindak sewenang-wenang.
Jika BPKAD atau pejabat terkait mengetahui adanya penjualan ilegal aset daerah tetapi membiarkannya, ini bisa dianggap sebagai tindakan sewenang-wenang yang merugikan negara.
Jika ada indikasi pejabat memperoleh keuntungan dari pembiaran ini, maka bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang.
3.Dugaan Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor menyebutkan bahwa setiap orang yang merugikan keuangan negara dapat dipidana dengan hukuman berat.
Jika aset daerah dijual tanpa prosedur resmi, maka itu berpotensi merugikan keuangan daerah.
Jika ada pejabat yang mengetahui tetapi tidak mengambil tindakan, bisa diduga melakukan pembiaran yang menguntungkan pihak tertentu dan merugikan negara.
4.Dugaan Mafia Tanah (UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria + Pasal 385 KUHP tentang Penyerobotan Tanah)
Jika ada indikasi aset daerah dijual oleh pihak yang tidak berhak, maka ini bisa masuk dalam kategori penyerobotan tanah (Pasal 385 KUHP).
Jika pejabat daerah terlibat dalam memfasilitasi atau membiarkan transaksi ilegal ini, maka mereka bisa dianggap ikut serta dalam kejahatan pertanahan.
5.Kelalaian dalam Pengelolaan Aset Daerah (PP No. 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah)
Pasal 103 menyebutkan bahwa barang milik daerah yang beralih tanpa prosedur sah harus dikembalikan ke pemerintah daerah.
Jika kasus ini dibiarkan, bukan tidak mungkin praktik serupa akan terus berlanjut, merugikan masyarakat dan menguntungkan segelintir elite daerah.
Apakah Kementerian ATR/BPN, KPK, atau aparat penegak hukum lainnya akan turun tangan untuk mengusut skandal ini?
Ataukah kasus ini akan tenggelam dalam permainan politik dan kepentingan mafia tanah di daerah?
Hingga berita diturunkan, pihak BPKAD MERANTI telah memberikan tanggapan untuk berita bagian 1,dan 2 melalui media online lainnya, berita ini disusun untuk menanggapi klaim BPKAD meranti yang diduga secara sepihak. Kasus ini juga telah masuk dalam ranah pengadilan, berita ini juga bisa dijadikan wawasan untuk publik bisa menganalisa kasus yang terjadi terhadap dugaan kesewenang wenangan pemerintah terhadap rakyat.
Bersambung…