Scroll untuk baca artikel
Example 816x612
Example floating
Example floating
Example 728x250 Example 728x250
Berita Viral

Polemik Pilkada Siak: Ketika Proses Dipertanyakan, Demokrasi Dipertaruhkan

2660
×

Polemik Pilkada Siak: Ketika Proses Dipertanyakan, Demokrasi Dipertaruhkan

Sebarkan artikel ini

Siak – Pilkada serentak yang digelar di berbagai daerah di Indonesia semestinya menjadi perayaan demokrasi. Namun, hal ini tidak sepenuhnya terjadi di Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Perjalanan panjang dan melelahkan dalam proses Pilkada Siak justru membuka berbagai potensi persoalan serius yang mengancam integritas demokrasi lokal. (29/04)

Segalanya bermula setelah hasil Pilkada pertama diputuskan. Pasangan calon nomor urut 3, Alfedri-Husni, menggugat hasil tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menuduh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Siak melakukan pelanggaran dalam proses penyelenggaraan. Gugatan itu dikabulkan sebagian oleh MK, yang secara tegas menyatakan bahwa KPU Siak bersalah atas pelanggaran prosedural dan memerintahkan dilakukannya Pemungutan Suara Ulang (PSU) di sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS).

MataXpost.com
Example 670x550
Tiada Kebenaran Yang Mendua

Namun yang mengundang tanda tanya besar adalah: meskipun telah dinyatakan bersalah oleh MK, KPU Siak tidak dikenai sanksi apa pun. Keputusan MK untuk tidak memberikan hukuman administratif atau etik terhadap penyelenggara pemilu dinilai sebagai bentuk pembiaran terhadap pelanggaran serius. Banyak pihak menilai bahwa keputusan ini mencederai prinsip keadilan dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemilu.

Setelah PSU dilaksanakan, pasangan nomor urut 2, Afni-Syamsurizal, tetap keluar sebagai pemenang. Harapan publik akan berakhirnya polemik rupanya tidak menjadi kenyataan. Untuk kedua kalinya, hasil Pilkada Siak kembali dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Kali ini, gugatan datang dari pasangan calon nomor 1, Sugianto-Irving Kahar.

Sugianto yang mengajukan gugatan tampak santai dan meanggap semua kebenaran harus ditegakkan, dan gugatan tersebut telah tercatat di dalam memori sidang MK.

Gugatan baru ini mempermasalahkan keabsahan pencalonan pasangan Alfedri-Husni, dengan mengacu pada fakta bahwa Alfedri sebelumnya telah menjabat sebagai kepala daerah selama dua periode. Berdasarkan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, seseorang tidak dapat mencalonkan diri kembali setelah menjabat selama dua periode berturut-turut. Hal ini menjadi sorotan publik karena pencalonan Alfedri lolos begitu saja tanpa pencegahan dari KPU.

Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendasar: jika sejak awal Alfedri-Husni tidak memenuhi syarat untuk maju, mengapa KPU meloloskan mereka sebagai pasangan calon? Dan mengapa Mahkamah Konstitusi hanya fokus pada aspek teknis penyelenggaraan, tanpa menyentuh aspek substantif dari keabsahan pencalonan?

Situasi semakin rumit ketika dugaan skenario elit politik di balik layar mulai mencuat. Banyak pengamat menilai bahwa drama Pilkada Siak ini bukan sekadar dinamika politik lokal, melainkan sudah masuk pada tahap pengaturan hasil politik oleh aktor-aktor kuat yang bermain dalam bayangan. Ketika lembaga-lembaga seperti KPU dan MK dianggap tidak lagi independen atau tegas dalam menjalankan mandatnya, publik mulai kehilangan kepercayaan terhadap sistem demokrasi itu sendiri.

Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi dinilai tidak layak menerima gugatan yang seharusnya dapat ditolak secara administratif. Banyak kalangan hukum dan pengamat pemilu menilai bahwa seharusnya MK menilai lebih tajam legalitas pencalonan dan kesalahan KPU sejak awal proses. Sebaliknya, MK malah memfasilitasi proses yang sudah cacat sejak awal tanpa memberikan sanksi kepada penyelenggara.

Drama Pilkada Siak ini akhirnya menjadi gambaran nyata dari rapuhnya institusi demokrasi di tingkat lokal. Ketika pelanggaran dibiarkan, keadilan diabaikan, dan elit politik terus memainkan peran di balik layar, maka pesta demokrasi berubah menjadi tragedi kepercayaan.

Gelombang demontrasi masyarakat Siak yang menolak PSU dilakukan dua kali telah mewarnai perjalanan hasil pilkada ini.

Masyarakat Kabupaten Siak, yang mestinya menjadi penikmat hasil dari proses demokrasi yang bersih, justru menjadi korban dari tarik menarik kepentingan yang penuh intrik. Demokrasi tidak hanya soal memilih, tapi juga soal menjamin keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Jika semua ini tidak ditegakkan, maka demokrasi kita hanya akan tinggal nama.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 468x60