[gnpub_google_news_follow]
Example floating
Example floating
Example 728x250
Hukum

RUU KUHAP Disorot Publik: Potensi Salah Tangkap dan Penyiksaan, Pakar Desak Evaluasi Mendalam

363
×

RUU KUHAP Disorot Publik: Potensi Salah Tangkap dan Penyiksaan, Pakar Desak Evaluasi Mendalam

Sebarkan artikel ini
Example 728x60
Spread the love

Jakarta – Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kembali menuai sorotan tajam dari publik dan para pegiat HAM. Salah satu pemicunya adalah banyaknya kasus salah tangkap yang terjadi dalam praktik penegakan hukum, serta dugaan penyiksaan terhadap tersangka oleh aparat kepolisian. (18/04)

 

MataXpost.com
Example 300x600
Tiada Kebenaran Yang Mendua

Kasus salah tangkap yang diduga menimpa Pegi Setiawan, pemuda asal Bandung yang ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Vina Cirebon oleh kepolisian Jawa Barat setelah delapan tahun buron.

 

Kasus ini menimbulkan gelombang kritik luas karena diduga sarat kejanggalan. Pegi mengaku tidak pernah diperiksa saat proses penyidikan lama, dan sejumlah bukti alibi berupa absensi kerja dan keberadaan di Bandung saat kejadian sempat diabaikan. Publik mempertanyakan integritas proses hukum, terutama ketika seorang warga bisa ditangkap dan dijadikan tersangka dalam kasus besar tanpa pembuktian yang kuat.

 

Kasus Kusyanto juga menjadi salah satu contoh yang menyulut reaksi luas. Dalam unggahan di akun Instagram @narasinewsroom yang turut dibagikan oleh Najwa Shihab, disebutkan bahwa Kusyanto sempat dipaksa mengakui perbuatan pencurian tanpa bukti. Ia bahkan mengalami intimidasi sebelum akhirnya dibawa ke Mapolsek Geyer. Setelah dilakukan pemeriksaan, Kusyanto dilepaskan karena tidak terbukti bersalah.

 

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai tindakan anggota polisi berinisial IR tersebut melanggar Pasal 117 KUHAP yang menegaskan bahwa keterangan tersangka harus diberikan tanpa tekanan. Selain itu, IR juga dianggap melanggar Pasal 7 Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi Indonesia.

 

Tak hanya itu, publik juga dihebohkan dengan maraknya kasus brutal yang melibatkan aparat, mulai dari aksi “asal tembak”, hingga peristiwa tragis “polisi tembak polisi”. Rentetan kejadian ini memperkuat keresahan masyarakat atas lemahnya kontrol internal dan minimnya akuntabilitas aparat penegak hukum.

 

Para pengamat hukum menilai, kejadian seperti ini tidak bisa terus dibiarkan. β€œHarus ada satu lembaga independen yang punya kuasa penuh terhadap pengawasan kinerja dan penyidikan kepolisian,” ujar seorang pengamat. Lembaga ini tidak hanya bersifat pengawas administratif, tapi juga harus punya otoritas hukum untuk mengoreksi, menindak, bahkan menghentikan proses penyidikan yang menyalahi aturan.

 

Meski secara formal Indonesia telah memiliki Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagai lembaga pengawas eksternal Polri, banyak kalangan menilai keberadaannya tidak cukup efektif. Kompolnas selama ini hanya bersifat penasihat Presiden dalam kebijakan kepolisian, tanpa memiliki wewenang langsung untuk menyelidiki, menindak, atau menghentikan penyidikan yang bermasalah.

 

β€œKompolnas tidak punya kewenangan eksekutif dalam menangani pelanggaran etik atau kekerasan aparat. Karena itu, dibutuhkan lembaga independen yang benar-benar bisa berdiri di luar institusi Polri dan bertindak atas nama kepentingan publik,” ujar seorang pengamat hukum.

 

Pembentukan ombudsman khusus sektor kepolisian, dengan kewenangan investigatif dan hukum seperti IOPC(Independent Office for Police Conduct) di Inggris, OPC (Office of Police Complaints) – Washington, D.C USA, CRB (Civilian Review Board) New York. Untuk Indonesia harus ada pengawasan sipil yang independen dan dilengkapi kewenangan investigatif penuh.

 

Revisi total terhadap peran Propam, agar tidak hanya menjadi alat kontrol internal, tetapi juga diawasi oleh lembaga sipil independen.

 

Penguatan Komnas HAM agar secara otomatis bisa terlibat dalam proses hukum jika ditemukan dugaan pelanggaran aparat terhadap warga sipil.

 

ICJR dan sejumlah organisasi masyarakat sipil juga mendorong agar RUU KUHAP memuat klausul pengawasan eksternal terhadap tindakan aparat, termasuk mekanisme pelaporan langsung masyarakat yang dijamin dan dilindungi oleh hukum.

 

Desakan terhadap pembentukan lembaga pengawas independen semakin relevan mengingat RUU KUHAP sedang dibahas di DPR. Banyak pihak menuntut agar revisi ini mengakomodasi mekanisme akuntabilitas terhadap penegak hukum, termasuk polisi dan jaksa. Tagar #KawalRUUKUHAP pun digaungkan agar kasus seperti Pegi Setiawan tidak lagi terjadi.

 

Gelombang desakan untuk mengawal pembahasan RUU KUHAP pun menguat. Banyak pihak khawatir, alih-alih menjadi reformasi hukum yang menjamin keadilan, RUU ini justru bisa membuka celah pelemahan hak-hak tersangka dan korban.

 

β€œRUU KUHAP harus dikaji secara kritis. Jangan sampai jadi alat legalisasi tindakan represif,” ujar peneliti hukum dari ICJR, menyikapi perkembangan terakhir.

 

Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan akademisi mendorong keterlibatan publik serta transparansi dalam pembahasan pasal-pasal krusial di dalam RUU tersebut. Mereka juga meminta DPR untuk tidak terburu-buru dalam mengesahkan regulasi ini tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap HAM dan demokrasi.

(SINTIA)

Example 250x250
Example 120x600
banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 468x60