[gnpub_google_news_follow]
Example floating
Example floating
Example 728x250
Berita ViralHukumPemerintah

Sengketa GRIB Jaya vs BMKG: Ungkap Ketimpangan Penegakkan Hukum di Indonesia

621
×

Sengketa GRIB Jaya vs BMKG: Ungkap Ketimpangan Penegakkan Hukum di Indonesia

Sebarkan artikel ini

"Ada apa dengan Negara saat ini?

Example 728x60
Spread the love

Mataxpost|Jakarta – kembali dihadapkan pada cermin buruk yang memantulkan wajah keadilannya yang rapuh. Kasus sengketa lahan antara Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu Jaya (GRIB Jaya) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Tangerang Selatan bukan sekadar urusan tanah. Ia telah menjelma menjadi simbol dari krisis besar: kegagalan negara melindungi hak rakyat, pembusukan keadilan, dan pertarungan antara kekuasaan melawan kebenaran. (26/05)

 

MataXpost.com
Example 300x600
Tiada Kebenaran Yang Mendua

Konflik ini bermula dari klaim ahli waris yang tanahnya diduga diklaim secara tidak sah oleh BMKG. Pihak GRIB Jaya hadir sebagai pendamping hukum dan sosial, membawa bukti girik serta sejarah kepemilikan yang menunjukkan bahwa tanah tersebut bukan bagian dari lahan yang dibebaskan untuk kepentingan negara.

 

Namun, alih-alih penyelesaian berdasarkan fakta dan hukum, yang muncul justru stigmatisasi, kriminalisasi, dan represi terhadap warga dan ormas yang membela hak mereka.

 

GRIB Jaya kemudian disudutkan dengan narasi “premanisme”. Tudingan ini muncul tak lama setelah mereka menyuarakan ketidakberesan dalam proses hukum serta sejarah kelam penguasaan lahan. Framing ini bukan hanya manipulatif, tapi juga berbahaya: publik dipaksa percaya bahwa yang melawan negara pasti kriminal.

 

Sementara itu, fakta bahwa BMKG kalah tiga kali di pengadilan awal, lalu “menang” secara janggal di tingkat Peninjauan Kembali (PK) tanpa dasar perintah eksekusi yang sah, justru diabaikan. Bukankah ini justru tanda bahwa ada sesuatu yang busuk dalam sistem?

 

Sejumlah fakta kian memperparah situasi. Dugaan keterlibatan mantan lurah Pondok Betung, penggunaan surat penjelasan dari ketua pengadilan sebagai pengganti perintah eksekusi, dan sejarah jual beli lahan yang kabur memperkuat kesan bahwa hukum dijalankan dengan standar ganda. Ketika aparat justru menangkap rakyat sebelum mengurai akar konflik, publik pantas bertanya: hukum ini melindungi siapa?

 

Situasi ini membongkar borok besar dalam sistem agraria Indonesia. Sengketa tanah kerap menempatkan rakyat pada posisi tersudut, berhadapan dengan institusi negara atau perusahaan besar, dan hampir selalu kalah karena akses hukum, ketimpangan kekuasaan, dan permainan mafia. Apa artinya sertifikat, girik, atau bukti sah, jika aparat lebih percaya pada surat-surat yang lahir dari meja kekuasaan?

 

Kita sedang menyaksikan sebuah ironi besar: rakyat yang memperjuangkan hak tanahnya justru ditangkap. Sementara pihak yang dokumennya dipertanyakan, dan kalah di pengadilan berulang kali, malah dibela dengan kekuatan negara.

 

Ini bukan lagi sekadar sengketa sipil—ini adalah pertunjukan telanjang dari ketimpangan struktural, ketidakadilan hukum, dan kebusukan yang telah merasuk ke jantung birokrasi dan aparat penegak hukum.

 

Apakah negara sedang kehilangan nuraninya? Apakah hukum kini hanya alat kekuasaan? Dalam iklim seperti ini, sangat masuk akal jika publik mencurigai adanya persekongkolan antara kekuasaan, hukum, dan uang. Dugaan mafia tanah bukan sekadar teori, ia telah nyata dalam banyak kasus, dan kini mengintai kembali lewat sengketa ini.

 

Jika GRIB Jaya yang hanya memperjuangkan hak ahli waris saja disebut preman, lalu siapa sebenarnya preman yang sesungguhnya? Apakah mereka yang menggunakan institusi negara untuk merampas hak rakyat bukan preman berbaju rapi?

 

Kasus ini adalah cermin bagi kita semua. Ia menampar kesadaran publik bahwa tidak ada jaminan keadilan, bahkan ketika bukti kuat di tangan rakyat. Yang ada hanyalah pertarungan panjang, melelahkan, dan kadang harus dibayar dengan kriminalisasi.

 

Publik tidak boleh diam. Ini bukan hanya soal GRIB Jaya atau BMKG. Ini soal siapa pun di Indonesia yang suatu hari bisa kehilangan tanahnya karena sistem hukum yang tumpul ke atas. Ini soal kita semua yang hidup di negeri yang katanya berdasarkan hukum, tapi hukum itu tak berpihak pada kebenaran.

 

Reformasi agraria dan pembenahan total sistem hukum bukan lagi tuntutan akademik. Ia adalah kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan negara ini dari jurang ketidakpercayaan rakyat. Karena ketika rakyat tak lagi percaya pada hukum dan negara, maka yang tersisa hanya anarki atau pemberontakan sosial.

 

Ada apa dengan negara ini? Pertanyaan itu bukan sekadar retorika. Ia adalah alarm keras yang tak boleh kita diamkan.

Example 250x250
Example 120x600
banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 468x60