Jakarta – 31/05/2025 – Penunjukan Komjen Pol. Mohammad Iqbal sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) memicu sorotan tajam terkait inkonsistensi penerapan prinsip netralitas aparat keamanan di birokrasi sipil. Pasalnya, Iqbal masih berstatus aktif sebagai perwira tinggi Polri berpangkat Komisaris Jenderal (bintang tiga) dilantik pada Mei 2025.
Di saat publik dan media nasional mengkritisi pengangkatan Letjen TNI (Purn) Djaka Budi Utama sebagai Dirjen Bea dan Cukai, penempatan Komjen Iqbal justru luput dari pengawasan ketat media arus utama.
Pengangkatan Letjen TNI (Purn) Djaka sebagai Dirjen Bea Cukai mendapat respons keras dari berbagai pihak. Kritik mencuat karena keterlibatan militer, meskipun purnawirawan, dalam jabatan strategis sipil. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengklaim bahwa latar belakang militer Djaka dibutuhkan untuk menghadapi praktik pelanggaran dan penyelundupan di jalur distribusi barang.
“Itu membutuhkan sosok yang memang harus berani. Karena di situ, mohon maaf, kita semua paham bahwa banyak sekali pelanggaran masuk melalui jalur itu,” ujar Prasetyo (27/5).
Namun, minimnya kritik terhadap Komjen Iqbal yang masih aktif menjabat di institusi Polri saat dilantik sebagai pejabat sipil di lembaga tinggi negara, menimbulkan pertanyaan serius soal konsistensi penerapan hukum.
Polri Bukan ASN: Penempatan Iqbal Dianggap Langgar UU
Wakil Ketua DPD RI Yorrys Raweyai membela pelantikan Iqbal dengan menyebut polisi sebagai bagian dari Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun, pernyataan ini bertentangan dengan regulasi yang berlakuberlaku, dan berpotensi menyesatkan publik.
Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI dan UU No. 20 Tahun 2023 tentang ASN, Polri secara hukum bukan bagian dari ASN, melainkan memiliki sistem kepegawaian tersendiri. Pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian bahkan secara tegas menyatakan:
“Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak boleh menduduki jabatan di luar kepolisian, kecuali di bidang pendidikan, kesehatan, dan olahraga.”
Penegasan serupa telah berkali-kali disampaikan Badan Kepegawaian Negara (BKN): TNI dan Polri bukan ASN, dan penugasan di luar institusi hanya bisa dilakukan dengan pemberhentian atau pengunduran diri terlebih dahulu.
Direktur Eksekutif LIMA Indonesia, Ray Rangkuti, menilai penunjukan perwira Polri aktif sebagai Sekjen DPD RI menciptakan preseden buruk bagi demokrasi dan netralitas lembaga negara.
“Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus turun tangan meluruskan aturan terkait pelantikan Irjen Pol Mohammad Iqbal sebagai Sekretaris Jenderal DPD RI,” ujar Ray (21/5).
Ray memperingatkan bahwa jika pembiaran ini berlanjut, maka akan membuka jalan bagi aparat aktif—yang tunduk pada garis komando—mengisi jabatan strategis sipil yang seharusnya independen dan akuntabel terhadap publik.
Media Dinilai Lakukan Framing dan Standar Ganda
Beberapa media nasional menyoroti pengangkatan Letjen Djaka dengan nada kritis dan mempertanyakan urgensi penempatan militer di lembaga sipil. Namun, saat Komjen Pol Iqbal dilantik sebagai Sekjen DPD RI dalam kondisi aktif, tidak ada pemberitaan investigatif maupun opini tajam dari media-media besar yang menyorot aspek legalitas dan etikanya.
Situasi ini memunculkan dugaan standar ganda dalam pemberitaan dan perlakuan terhadap TNI dan Polri, serta mengindikasikan potensi bias media dalam menilai netralitas aparat keamanan di ranah sipil.
Polemik penempatan aparat aktif dalam jabatan sipil harus menjadi alarm serius bagi Presiden, Kapolri, dan pimpinan DPD RI. Jika tidak ada klarifikasi dan koreksi tegas, maka bukan tidak mungkin terjadi pembajakan institusi sipil oleh kekuatan non-sipil yang tidak akuntabel secara demokratis.
Konsistensi penegakan hukum dan prinsip netralitas adalah fondasi bagi demokrasi yang sehat. Jika purnawirawan TNI pun disorot secara kritis, maka penempatan anggota Polri aktif harus lebih tegas dipertanyakan—karena jelas melanggar batasan hukum yang berlaku.
Aparat Aktif di Jabatan Sipil, Reformasi untuk Siapa?
Jika hari ini seorang perwira tinggi aktif bisa menduduki jabatan eselon I di lembaga legislatif tanpa proses pelepasan jabatan yang sah, lalu apa artinya reformasi birokrasi selama ini?
Mungkin esok hari Kapolda bisa dilantik jadi Sekretaris Daerah, dan Kapolres menjabat sebagai Kepala Dinas. Tak perlu reformasi birokrasi—cukup dengan lencana dan tongkat komando. Atau mungkin, kita sedang menyaksikan demokrasi di-‘mimikri’ oleh kekuasaan berseragam: datang bukan dengan kudeta, tapi lewat pintu belakang regulasi yang dilonggarkan.
About The Author
Eksplorasi konten lain dari 𝐌𝐀𝐓𝐀𝐗𝐏𝐎𝐒𝐓.𝐂𝐎𝐌
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.