ACEH SINGKIL β Polemik batas wilayah antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara memanas setelah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menetapkan empat pulauβLipan, Panjang, Mangkir Ketek, dan Mangkir Gadangβsebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Keputusan itu tertuang dalam SK Mendagri Nomor 100.2.2.6-2138 Tahun 2024 tertanggal 25 April 2025.
Penetapan ini memicu gelombang penolakan dari masyarakat Aceh dan jajaran pemerintahannya. Gubernur Aceh Muzakir Manaf menyebut keputusan Mendagri sebagai kebijakan yang keliru dan bertentangan dengan fakta sejarah dan hukum.
βEmpat pulau itu secara historis, geografis, dan administratif sejak lama masuk wilayah Aceh Singkil. Keputusan Mendagri sangat keliru dan cacat hukum,β tegasnya.
Masyarakat Aceh menanggapi dengan cara damai namun tegas. Di media sosial, khususnya TikTok, warga menyuarakan tuntutan agar pemerintah pusat mengembalikan pulau-pulau itu tanpa konflik.
βKami tidak pernah rebut hak orang lain. Tapi jangan coba-coba rebut hak kami,β tulis akun @atjeh170.
βEmpat pulau di Aceh Singkil tidak boleh pindah ke Sumut. Satu langkah pun kami takkan mundur,β kata @rizkyandrean14.
βJika pemerintah pusat tak adil, rakyat Aceh akan turun sendiri,β tambah akun @tuah.carstoy.
Pemprov Aceh melampirkan sejumlah dokumen autentik:
– Peta resmi tahun 1978,
– Data koordinat geografis dari Bakosurtanal,
– Tapal batas fisik di lapangan (tugu batas & dermaga),
– Kesepakatan batas wilayah tahun 1992 yang diketahui oleh Mendagri saat itu.
Namun, seluruh bukti ini tidak dijadikan pertimbangan oleh Kemendagri. Padahal menurut Peraturan Mendagri No. 76 Tahun 2012, penyelesaian batas daerah harus melalui musyawarah, transparan, dan partisipatifβsesuatu yang dinilai tidak dilakukan oleh Kemendagri saat ini.
Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) pun telah mengajukan gugatan ke Komisi Informasi Pusat, menuntut transparansi dokumen dasar SK tersebut.
βKami menduga ada cacat formil, bahkan potensi konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan ini,β kata Direktur YARA, Safaruddin.
Gubernur Sumut Bobby Nasution mengatakan tidak ada niat rebut paksa, bahkan mengusulkan pengelolaan bersama empat pulau tersebut. Namun banyak pihak menilai usulan ini hanyalah solusi semu.
βPulau-pulau ini bukan warisan pribadi untuk dikelola bersama. Ini soal wilayah hukum yang diatur undang-undang,β kata Haji Uma, anggota DPD RI asal Aceh. Ia meminta agar Bobby dan Mendagri diperiksa etik dan hukum karena telah memicu ketegangan antarprovinsi, dan bisa menimbulkan perpecahan.
Mantan Wapres Jusuf Kalla pun bersuara, menegaskan bahwa SK Mendagri tidak dapat membatalkan Undang-Undang, yang sudah sejak 1956 menyatakan bahwa wilayah tersebut milik Aceh.
π₯ Desakan Pemeriksaan Hukum terhadap Mendagri Tito Karnavian Meningkat
Keputusan Mendagri diduga melanggar hukum positif dan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
1.Bertentangan dengan Undang-Undang
a) UU No. 24 Tahun 1956 tentang pembentukan Provinsi Aceh. b) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
βJika ada upaya mengubah batas wilayah Aceh secara administratif, maka harus lewat revisi UU, bukan keputusan Mendagri. SK tersebut cacat yuridis dan patut dibatalkan,β ujar Dr. T. Irwansyah, pakar HTN Universitas Malikussaleh.
2.Diduga Langgar Prinsip Keterbukaan & Partisipasi
Proses penetapan tidak melibatkan masyarakat adat atau nelayan di pulau tersebut. Tidak ada mediasi atau undangan resmi kepada Pemerintah Aceh.
3.Indikasi Abuse of Power dan Konflik Kepentingan
Banyak pihak menduga keputusan ini bermuatan politis dan dipengaruhi agenda elite tertentu. Bobby Nasution menantu mantan Presiden Jokowi, dinilai memiliki kepentingan strategis di kawasan perairan barat Sumatera.
βAda indikasi campur tangan politik tingkat tinggi. Ini perlu diusut tuntas,β kata Teuku Rahman, pengamat geopolitik.
Komisi II DPR RI didesak segera memanggil Mendagri Tito untuk menjelaskan legalitas SK yang ia keluarkan.
KPK dan Kejaksaan Agung didorong untuk menyelidiki potensi penyalahgunaan kewenangan atau lobi investasi di balik keputusan tapal batas tersebut.
βJangan sampai wilayah provinsi bisa dipindah lewat meja kekuasaan tanpa proses hukum. Ini bukan perkara kecil,β tegas Safaruddin (YARA).
Aceh berharap penyelesaian dilakukan secara damai, namun rakyat menolak tunduk pada keputusan yang tidak adil dan tidak berdasar hukum. Jika SK tersebut tidak dicabut, tekanan publik terhadap pemerintah pusat akan terus meningkat.
βKembalikan pulau kami secara baik-baik. Tapi jangan kira kami akan diam jika hak kami dirampas,β ujar seorang tokoh adat Aceh Singkil dalam video yang kini viral di TikTok.
Editor: Redaksi Mataxpost | Khusus Investigasi Wilayah Aceh| 13 Juni 2025, dilarang mengutip artikel tanpa izin tertulis.