Pekanbaru – Gelembung skandal SPPD fiktif DPRD Riau kian membusuk dan menyengat logika publik. Anggaran rakyat yang seharusnya digunakan untuk perjalanan dinas resmi demi kepentingan masyarakat, justru “dikuliti habis” oleh oknum anggota dewan, pejabat keuangan, hingga staf honorer dalam sebuah skema yang rapi, terstruktur, dan sistematis. (22/06)
Nilai kerugian negara dari hasil audit BPK menyentuh Rp198 miliar, mengalir dari usulan fraksi, diverifikasi seolah sah, lalu dicairkan ke banyak namaβtermasuk yang tak pernah melangkah ke lokasi dinas. SPPD fiktif ini bukan sekadar kelalaian, tapi indikasi korupsi berjamaah yang merambah hampir seluruh struktur di gedung dewan.
Namun sorotan publik kini mengarah ke atas: pimpinan DPRD Riau disebut-sebut memiliki jatah perjalanan terbanyak dan nilai SPPD tertinggi. Lalu mengapa justru honorer dan pejabat bawah yang dipajang sebagai kambing hitam? Di mana tanggung jawab para elite?
Klarifikasi Muflihun: βSaya Tidak Mungkin Tanda Tangani Semuaβ
Dalam sebuah video yang beredar luas di media sosial, termasuk akun TikTok @mataxpost, Muflihun, mantan Sekretaris DPRD Riau (dan kini mantan Pj Wali Kota Pekanbaru), menyampaikan pernyataan mengejutkan:
βKalau semua tuduhan itu diarahkan ke saya, tidak masuk akal. Saya tidak mungkin tanda tangan semuanya. Banyak SPT (Surat Perintah Tugas) yang saya tidak tahu, saya menduga tanda tangan saya dipalsukan.β Muflihun
Dari pengakuan itu, publik menarik dua kesimpulan tajam;
1.Dokumen pencairan SPPD bisa saja diproses tanpa sepengetahuan langsung Sekwan.
2.Ada dugaan pemalsuan tanda tangan secara masif di dalam tubuh sekretariat dewan, terutama pada dokumen SPT dan SPJ.
Keterangan yang disampaikan justru menguatkan bahwa Muflihun adalah saksi kunci. Jika bersedia membuka seluruh isi sistem internal, ia bisa menyeret jaringan pengendali dana yang selama ini bersembunyi di balik jabatan dan otoritas.
Berikut alur SPPD di Sekwan DPRD:
1.Fraksi Setiap Partai Mengusulkan kegiatan perjalanan dinas, sesuai instruksi anggota Dewan maupun Pimpinan DPRD, lengkap dengan daftar nama, tempat dan anggaran.
2.Pejabat Sekwan Bertugas menanda tangani dokumen. Namun, banyak dokumen diduga diproses tanpa kendali langsung.(Ada dugaan permainan yang tidak diketahuinya)
3.Kepala Bagian Keuangan & Bendahara: Bertugas Mencairkan Dana (Dugaan Kuat sebagai aktor permainan bersama fraksi)
4.Verifikator & PPTK: Kasubag Verifikasi SPJ, menyetujui pencairan tanpa dasar faktual: tiket, hotel,bukti perjalanan yang tidak sebenarnya alias palsu.
5.Pihak Penerima Dana: Mulai dari Pimpinan dan anggota Dewan, staf fraksi, hingga honorer dan THL yang bahkan tidak pernah ikut perjalanan.
Meskipun data resmi belum dirilis, berbagai sumber internal maupun investigasi awal menunjukkan bahwa pimpinan DPRD Riau memiliki frekuensi perjalanan dinas jauh lebih tinggi dibanding anggota biasa. Nama-nama seperti:
Yulisman (Ketua DPRD, Golkar)
Agung Nugroho (Wakil Ketua, Demokrat)
Hardianto (Wakil Ketua, Gerindra)
Syafaruddin Poti (Wakil Ketua, PDIP)
Memiliki kuasa lebih dalam menyetujui dan memfasilitasi seluruh kegiatan fraksi, studi banding, hingga konsultasi ke pusat.
βSatu fakta penting yang tak bisa disangkal: pimpinan DPRD Riau memiliki kuasa anggaran, akses kegiatan, dan intensitas perjalanan dinas yang jauh lebih besar dibanding anggota biasa.β
Maka mustahil mereka tidak tahu tentang permainan SPPD fiktif ini, apalagi dengan menyangkalnya, Namun hingga kini, belum satu pun pimpinan DPRD dijadikan tersangka.
Muflihun: Saksi Kunci yang Perlu Dilindungi
Muflihun, yang saat itu menjabat Sekwan, telah diperiksa sebagai saksi. Ia menyimpan kunci atas banyak dokumen, memo internal, dan pengesahan kegiatan. Negara harus memberikan perlindungan hukum terhadapnya demi keselamatan seorang saksi kunci jika keterangannya nanti bisa membongkar aktor-aktor besar yang selama ini kebal hukum.
βKalau honorer diseret, THL dikorbankan, tapi pimpinan fraksi dan Wakil Ketua serta ketua DPRD lolos, hukum ini sedang memihak kekuasaan, jangan ada yang dikambing hitamkan”, komentar warga di media sosial
Dugaan pemalsuan tanda tangan Muflihun membuka babak baru, penggunaan dokumen palsu secara sistemik.
Fraksi dan pimpinan DPRD Riau harus diperiksa karena mereka yang mengusulkan dan menikmati aliran dana fiktif.
Sudah saatnya penegak hukum menarik garis ke atas, bukan hanya menyisir pegawai kecil yang diperintah.Skandal ini bukan hanya soal uang perjalanan yang tak dilakukan. Ini tentang struktur kekuasaan yang lhi jk kdigunakan untuk memperkaya diri kolektif, dan hukum yang hanya tumpul ke atas.