Jakarta — Hiruk-pikuk demokrasi di tingkat pusat kembali tercoreng. Kali ini, sorotan tajam tertuju ke Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), lembaga tinggi negara yang seharusnya menjadi corong aspirasi daerah, namun kini terseret dalam dugaan skandal suap yang melibatkan mayoritas anggotanya sendiri. (02/06)
Menurut sebuah laporan resmi yang telah diterima oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 16 Oktober 2024, sebanyak 95 dari 136 anggota DPD RI aktif disebut-sebut menerima uang suap secara berjamaah untuk memenangkan pasangan calon pimpinan tertentu dalam pemilihan Ketua dan Wakil Ketua DPD periode 2024–2029. Uang suap itu diduga disalurkan dalam bentuk tunai, dengan nominal mencapai puluhan juta rupiah per orang.
Informasi dugaan kasus suap berjamaah di lembaga tinggi negara itu juga diungkapkan dalam video podcast forum keadilan di media sosial TikTok yang khusus membahas isu tersebut dengan menghadirkan langsung saksi kunci kasus .
Namun, menurut informasi hingga hari ini, tidak ada satu pun respons resmi dari KPK. Lembaga yang seharusnya menjadi garda depan pemberantasan korupsi itu justru bungkam, sementara aktor-aktor yang disebut dalam laporan tersebut masih bebas dan menjalankan aktivitasnya seperti biasa.
Berdasarkan keterangan dalam podcast si pelapor internal yang pernah bekerja sebagai Staf Ahli DPD RI, praktik suap tersebut dilakukan beberapa hari menjelang pemilihan pimpinan DPD. Uang dibagikan dalam bentuk tunai, di dalam amplop cokelat tebal, yang disalurkan kepada senator melalui pertemuan tertutup di hotel dan restoran sekitar Senayan dan Kemang.
Salah satu saksi kunci, M. Fithrat Irfan, mengaku diperintahkan langsung oleh atasannya — anggota DPD asal Sumatera Selatan, Rafiq Anshori Al-Amri — untuk membagikan uang kepada para anggota. Irfan mengaku bahwa praktik seperti ini bukan kejadian baru, dan hampir seluruh senator yang menerima dana tersebut tahu siapa pengirim dan untuk kepentingan apa.
“Saya disuruh kirim amplop ke sejumlah anggota, semua paham itu uang buat memilih pasangan calon pimpinan tertentu. Ini bukan kali pertama,” kata Irfan dalam sebuah wawancara podcast investigatif pada Mei 2025.
Sejak laporan tersebut masuk, KPK belum melakukan penyelidikan terbuka maupun pemanggilan saksi, meskipun dokumen pendukung yang diserahkan pelapor dinilai kuat. Bukti itu mencakup rekaman CCTV, bukti transfer bank, dokumen komunikasi digital, hingga daftar penerima lengkap dengan kode nama.
Diketahui bersama dari berbagai media bahwa mantan Kapolda Riau Komjen Pol. (aktif) Mohammad Iqbal, perwira tinggi Polri, tiba-tiba diangkat sebagai Sekretaris Jenderal DPD RI di tengah polemik ini, semakin memicu kecurigaan publik. Iqbal bukan hanya belum pensiun dari dinas aktif, tetapi juga diduga ditunjuk tanpa proses seleksi terbuka, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan untuk pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Madya.
Pengangkatan Iqbal dilakukan hanya melalui mekanisme internal pimpinan DPD RI yang baru terpilih pemilihan yang justru sedang disorot karena diduga berlangsung dengan praktik suap.
Pertanyaannya kini: apakah pengangkatan Komjen Iqbal sebagai Sekjen DPD merupakan bagian dari transaksi politik yang lebih besar dalam skema suap berjamaah tersebut? Apakah jabatan strategis itu dijadikan jaminan atau kompensasi bagi kelompok tertentu demi mengamankan posisi mereka di tubuh DPD?
Penunjukan tersebut mengejutkan banyak pihak karena jabatan Sekjen DPD sebelumnya diisi oleh pejabat karier ASN. Penempatan perwira aktif Polri di jabatan sipil strategis seperti ini disebut sebagai bentuk intervensi kekuasaan yang mengancam independensi lembaga legislatif.
Wakil Ketua DPD RI, Yorrys Raweyai, bahkan secara terbuka mengakui bahwa Iqbal memang tidak melalui lelang jabatan atau uji kompetensi terbuka, namun menyebut bahwa langkah tersebut “sudah dikonsultasikan dengan lembaga terkait”. Klaim ini tidak diikuti dengan penjelasan dokumentatif, dan justru menimbulkan tanda tanya baru mengenai siapa yang memberi restu serta motif sesungguhnya di balik penunjukan tersebut.
Menurut pengamat kebijakan publik dan tata negara, pengangkatan Komjen Iqbal sebagai Sekjen DPD bertentangan dengan berbagai regulasi, antara lain:
UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), yang mengatur bahwa jabatan pimpinan tinggi madya harus diisi oleh ASN;
PP No. 11 Tahun 2017, yang mewajibkan pengisian jabatan Sekjen dilakukan melalui seleksi terbuka dan kompetitif;
Dan bahkan melanggar prinsip netralitas dan akuntabilitas kelembagaan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh lembaga perwakilan seperti DPD RI.
Ketiadaan seleksi terbuka, ditambah status Iqbal sebagai anggota Polri aktif, membuat penunjukan ini tidak hanya tidak sah secara administratif, tetapi juga cacat etis dan politis.
Pengamat politik dari UIN Aditya Perdana, menilai bahwa skandal ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi bentuk nyata dari pembusukan institusi negara dari dalam.
“Saat hampir seluruh senator menerima uang untuk memilih pimpinan lembaga, kita tidak lagi bicara soal moral individu, tapi kita sedang melihat keruntuhan sistem representasi daerah,” ujarnya.
Senada dengan itu, Refly Harun, pakar hukum tata negara, menyatakan bahwa jika KPK tetap bungkam dan tidak mengambil langkah hukum, maka konsekuensinya akan sangat fatal bagi demokrasi Indonesia.
“Kalau KPK membiarkan ini, artinya tidak ada lagi lembaga perwakilan yang bisa dipercaya. Kita tinggal tunggu waktu sampai DPD hanya jadi showroom elite daerah,” katanya.
DPD RI dibentuk sebagai penyeimbang DPR, dengan mandat memperjuangkan kepentingan daerah. Namun selama bertahun-tahun, DPD acapkali menjadi sorotan karena:
Minim produk legislasi yang berpengaruh, Penuh konflik internal dan pertarungan perebutan jabatan, Dan belakangan ini, tudingan permainan uang untuk kepentingan elit.
Kini, dengan terungkapnya dugaan suap yang melibatkan 95 senator dan pengangkatan Komjen Iqbal tanpa seleksi, DPD kembali menjadi simbol pembusukan lembaga tinggi negara yang luput dari pengawasan efektif.
Situasi ini mendorong desakan dari berbagai elemen masyarakat sipil:
1.KPK harus segera membuka penyelidikan atas laporan suap yang masuk, termasuk memeriksa seluruh nama yang tercantum;
2.Kemenpan-RB, Komisi ASN, dan Ombudsman RI harus memeriksa proses pengangkatan Komjen Iqbal;
3.Presiden dan DPR RI harus mendorong reformasi sistem pengisian jabatan di lembaga tinggi negara, termasuk pembentukan pengawas independen terhadap KPK;
4.Presiden Prabowo bersama DPR RI harus segera mengevaluasi semua anggota Polri aktif yang mengisi jabatan sipil di berbagai lembaga negara.
Saat lembaga yang seharusnya mewakili kepentingan daerah justru menjual suara mereka untuk kepentingan kelompok, dan saat lembaga pemberantas korupsi diam saat menerima laporan dugaan kejahatan politik, maka yang terjadi bukan hanya krisis etika.
Ini adalah tanda keruntuhan demokrasi prosedural, di mana institusi negara dikooptasi untuk melanggengkan kepentingan sekelompok elite.
Publik sudah gelisah. Tekanan dari masyarakat sipil dan jurnalisme investigasi yang berani kini menjadi satu-satunya penjaga agar demokrasi Indonesia tidak jatuh sepenuhnya ke tangan oligarki dan transaksi kekuasaan.
sumber :
Podcast : Forum Keadilan
Artikel Media yang kredibel
About The Author
Eksplorasi konten lain dari 𝐌𝐀𝐓𝐀𝐗𝐏𝐎𝐒𝐓.𝐂𝐎𝐌
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.