Riau โ Kerusakan hutan di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, dan sejumlah kawasan hutan lain di Indonesia mencapai tingkat kritis selama masa jabatan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya (2014โ2024). Kebijakan kementerian di bawah kepemimpinannya dinilai gagal menghentikan perambahan dan eksploitasi ilegal yang melibatkan korporasi besar dan diduga difasilitasi oleh oknum di dalam kementerian. (14/06)
Investigasi Eyes on the Forest (EoF) dan temuan Satgas Penertiban Kawasan Hutan mengungkap bahwa luas hutan TNTN yang tersisa hanya sekitar 12.561 hektar dari lebih 80.000 hektar akibat perambahan sawit ilegal. Empat perusahaan sawit besar yang diduga kuat terlibat dalam pembelian tandan buah sawit (TBS) ilegal dari dalam kawasan TNTN adalah:
– Wilmar International
– Royal Golden Eagle (RGE) / Apical
– Musim Mas
– Golden Agri Resources (GAR)
Selain itu, sebanyak 21 dari 22 pabrik sawit terdekat di kawasan tersebut diduga menerima pasokan TBS ilegal dari kawasan TNTN pada periode 2011โ2017. Beberapa perusahaan lokal, seperti PT Gemilang Sawit Lestari (GSL) di Inuman, Kuansing, juga terdeteksi menampung sawit ilegal dari kawasan konservasi.
Kebun sawit milik individu seperti Oberlin Marbun yang mengelola sekitar 574,78 hektar di Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan kawasan TNTN juga diduga berkontribusi terhadap perusakan hutan.
Menjabat selama 10 tahun terakir, Menteri Siti Nurbaya dan staf ahli dinilai lalai dalam pengawasan dan terkesan memberikan ruang bagi praktik korupsi dan penerbitan izin fiktif. Banyak izin yang diterbitkan diduga melanggar aturan, sehingga memudahkan perambahan dan membuka lahan sawit ilegal di kawasan konservasi.
Sejumlah laporan menunjukkan keterlibatan oknum aparat dan tokoh adat dalam memfasilitasi praktik perambahan serta perizinan ilegal, yang berakibat pada kerusakan parah di TNTN dan menimbulkan konflik antara masyarakat dan satwa langka.
Kerusakan hutan di Tesso Nilo dan kawasan lain menjadi tanggung jawab utama Menteri Siti Nurbaya dan jajaran KLHK yang selama bertahun-tahun gagal menegakkan aturan dan mengendalikan perambahan. Perusahaan-perusahaan sawit besar, termasuk Wilmar, RGE/Apical, Musim Mas, dan GAR, bersama jaringan pabrik dan perusahaan lokal, turut andil dalam memperparah kerusakan dengan memanfaatkan kelemahan pengawasan pemerintah.
Tidak hanya Menteri Siti Nurbaya, tetapi menteri-menteri kehutanan sebelum dan sesudahnya juga memiliki tanggung jawab struktural dan moral atas kerusakan kawasan hutan, termasuk Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Berikut beberapa nama yang layak dicermati dalam konteks kebijakan, pembiaran, atau kegagalan pengawasan:
1.M.S KABAN, Jabatan: Menteri Kehutanan (2004โ2009)
Era Presiden: Susilo Bambang Yudhoyono
Tanggung jawab: Era Kaban disebut sebagai awal dari longgarnya pengawasan terhadap perluasan izin sawit.Di masa ini pula, banyak kawasan hutan mulai dikapling oleh perusahaan besar melalui skema perizinan yang minim pengawasan publik.
2.Zulkifli Hasan, Jabatan: Menteri Kehutanan (2009โ2014)
Era Presiden: Susilo Bambang Yudhoyono
Tanggung jawab: Pada masa inilah awal pembukaan besar-besaran lahan untuk sawit di berbagai kawasan hutan berlangsung, termasuk TNTN. Banyak SKT dan SHM diduga bermasalah yang terbit di era ini.Penerbitan izin pelepasan kawasan hutan di masa ini dikritik karena kurang transparan dan rawan konflik kepentingan.
3.Para Direktur Jenderal dan Pejabat Eselon I di KLHK
- Direktur Jenderal Planologi Kehutanan
- Direktur Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam
- Kepala Balai Taman Nasional
Banyak dari mereka memiliki otoritas teknis dalam menetapkan batas kawasan, memberi rekomendasi izin, dan mengawasi lapangan. Jika ada pembiaran atau bahkan keterlibatan dalam pemberian izin ilegal, mereka turut bertanggung jawab.
4.Kepala Daerah dan DPRD di Riau.
Bupati, Gubernur, hingga oknum DPRD diduga turut berperan dalam praktik mafia tanah dan legalisasi perambahan. Sejumlah pihak menuding mereka sering kali memberi dukungan politik atau birokrasi terhadap SKT, SHM, atau relasi perusahaan dengan masyarakat.
5.Menteri ATR/BPN & Jajarannya
Banyak sertifikat hak milik (SHM) yang terbit di kawasan hutan. Ini seharusnya tidak mungkin terjadi tanpa kelalaian atau manipulasi di ATR/BPN.
Menteri ATR (terutama pada era pasca 2014) harus bertanggung jawab atas pengendalian penerbitan sertifikat di kawasan konservasi.
Penegakan hukum dan pembenahan tata kelola kehutanan menjadi langkah mutlak agar kerusakan tidak meluas dan keadilan bagi masyarakat serta kelestarian lingkungan dapat terwujud.
Perusakan Tesso Nilo adalah kejahatan ekologi besar yang melibatkan negara dan korporasi. Menteri Siti Nurbaya dan jajarannya tidak bisa lepas dari tanggung jawab. Namun, akar masalah juga ditanam sejak lama oleh menteri-menteri sebelumnya, pejabat teknis, dan kepala daerah yang gagal menjaga hutan sebagai warisan publik.
Perusakan TNTN dan kawasan hutan lain adalah akibat dari kelalaian sistemik yang melibatkan banyak aktor di pemerintahan pusat dan daerah lintas periode. Menteri Kehutanan dan KLHK tidak bisa cuci tangan, tapi juga tidak sendirian. Pertanggungjawaban harus bersifat lintas jabatan, lintas era, dan lintas institusi.