Mataxpost | Jakarta – Kasus penculikan dan penganiayaan terhadap Briptu FF, anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri, yang diduga terjadi pada Jumat, 25 Juli 2025, kembali menyeret perhatian publik pada hubungan yang tak harmonis antar-lembaga penegak hukum di Indonesia. (11/08)
Peristiwa ini bukan hanya soal satu prajurit yang menjadi korban, tetapi juga menyentuh akar persoalan yang sudah mengendap lebih dari setahun: siapa yang sebenarnya menggerakkan personel Densus 88 untuk melakukan penguntitan terhadap para jaksa, termasuk terhadap Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung.
Dalam struktur organisasi yang begitu ketat, apalagi untuk satuan elit seperti Densus 88, hampir mustahil seorang anggota bertindak sendiri di lapangan tanpa perintah langsung dari atasan. Pertanyaan itulah yang selama ini mengambang, tak pernah benar-benar terjawab, meski publik sudah lama mencium bahwa konflik senyap antar-institusi tengah berlangsung di balik layar.
Setahun sebelum peristiwa yang menimpa Briptu FF, tepatnya Mei 2024, publik sempat dihebohkan dengan kabar bahwa anggota Densus 88 kedapatan membuntuti Jampidsus Febrie Adriansyah saat makan malam di sebuah restoran Perancis di kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Satu anggota, Bripda Iqbal Mustofa, diamankan di tempat.
Temuan di ponselnya menunjukkan adanya pola pemantauan terhadap aktivitas Jampidsus yang tidak bisa dianggap sepele. Peristiwa ini memicu reaksi keras: barisan Brimob bersenjata lengkap muncul di depan Gedung Kejaksaan Agung, sementara pihak Kejagung memperketat pengamanan, bahkan melibatkan unsur TNI, termasuk dari Badan Intelijen Strategis (BAIS).
Situasi menjadi begitu tegang hingga Presiden Jokowi meminta penjelasan langsung dari Kapolri dan Jaksa Agung. Namun, meski kasus ini begitu besar gaungnya, siapa pemberi perintah untuk operasi penguntitan tersebut tak pernah diumumkan secara terbuka. Publik dibiarkan menebak-nebak, sementara para pihak memilih bungkam.
Hampir setahun kemudian, pada 25 Juli 2025, Briptu FF menjadi korban dugaan penculikan dan penganiayaan. Informasi yang beredar menyebutkan bahwa ia saat itu sedang menguntit Ferry Yanto Hongkiriwang (FYH), seorang pengelola kafe di Cipete yang disebut-sebut memiliki kedekatan dengan Jampidsus.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menyatakan bahwa Briptu FF ditangkap oleh anggota BAIS TNI atas permintaan FYH. Tiga hari setelah kejadian, tepatnya 28 Juli 2025, Polda Metro Jaya menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) terhadap FYH, dan pada 30 Juli Kejaksaan Tinggi Jakarta mengonfirmasi telah menerima SPDP tersebut.
Pada 8 Agustus, IPW kembali menegaskan adanya dugaan dukungan dari pejabat tinggi Kejaksaan terhadap FYH. Hubungan antara kejadian ini dan insiden penguntitan Jampidsus tahun lalu menjadi tak terelakkan. Polanya serupa: seorang anggota Densus bergerak di lapangan untuk memantau figur yang memiliki hubungan erat dengan Jampidsus, lalu terjadi benturan dengan unsur keamanan lain, termasuk TNI.
Rangkaian peristiwa ini menimbulkan pertanyaan yang jauh lebih besar ketimbang sekadar “siapa pelaku di lapangan”. Publik berhak tahu siapa otak di balik operasi-operasi senyap ini. Dalam mekanisme resmi, seorang anggota Densus tidak akan begitu saja turun ke lapangan untuk memantau pejabat kejaksaan tanpa restu atau perintah dari rantai komando yang jelas.
Pertanyaannya: apakah perintah itu datang dari level komandan unit, pejabat tinggi Polri, atau bahkan dari luar institusi? Pertanyaan ini penting karena menyangkut wibawa hukum negara. Jika perintah itu berasal dari sumber yang tidak sah atau bermotif politik, maka yang sedang kita hadapi bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga ancaman terhadap stabilitas dan integritas lembaga negara.
Kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk bersikap tegas. Mengungkap dan menindak aktor intelektualnya bukan hanya soal menegakkan hukum, tetapi juga memulihkan kepercayaan publik terhadap aparat.
Transparansi mutlak diperlukan, termasuk membuka jalur komunikasi antar-lembaga yang selama ini tampak penuh kecurigaan. Tidak cukup hanya mengusut pelaku lapangan, sebab mereka hanyalah ujung dari sebuah rantai panjang yang tersusun rapi di balik layar.
Jika masalah ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin konflik yang selama ini tersembunyi akan pecah menjadi benturan terbuka yang jauh lebih berbahaya. Dalam peristiwa penguntitan Jampidsus 2024, keberadaan pengamanan dari TNI disebut-sebut menjadi penghalang yang menyelamatkan situasi dari potensi korban jiwa.
Tetapi kita tidak bisa selamanya mengandalkan keberuntungan. Negara harus memastikan bahwa setiap langkah aparat, terutama satuan elit seperti Densus 88, tunduk pada hukum dan kepentingan bangsa, bukan pada agenda tersembunyi segelintir pihak.
Tidak ada komentar