Mataxpost | Pekanbaru β Pekanbaru hari ini riuh. Gedung menjulang. Jalanan padat. Kota dagang yang tak pernah tidur.Namun di balik itu, ada sunyi yang terkubur.Bukan dongeng. Sejarah. Luka. Rel kereta api kolonial. Pernah melintas di jantung Kota Bertuah. Kini hilang.Tertelan beton. Dikubur amnesia kolektif.Panjangnya 220 kilometer. Dibangun di bawah kekejaman militer Jepang, 1943β1945.Tanpa upacara. Tanpa penanda. Hanya diam.Dan diam itu mencurigakan.Tak ada arsip resmi yang utuh. Tak ada papan informasi yang menjelaskan.Beberapa dokumen proyek hilang dari kantor pemerintah.Foto-foto lama raib dari koleksi publik.Seolah ada tangan yang sengaja menghapus jejak. Pertanyaannya: siapa yang diuntungkan Mengapa sejarah ini dibiarkan padam, atau dipadamkan?
Rel tua itu dulunya membentang dari Muaro di Sumatera Barat hingga ke Pekanbaru, bagian dari megaproyek logistik pada masa pendudukan Jepang. Dirancang untuk mengangkut batubara dari tambang Ombilin menuju pantai timur melalui Sungai Siak. Tapi kereta ini tak pernah benar-benar hidup. Ia dibangun bukan dengan mesin, tapi dengan darah dan nyawa. Ribuan romusha dipaksa membangun rel itu tanpa alat, tanpa upah, tanpa belas kasihan.
Redaksi mewawancarai beberapa warga tempatan dan melakukan investigasi langsung dilapangan, dan menemui salah satu warga jalan Tanjung Medang kelurahan pesisir kecamatan limapuluh (Tanjung Datuk) bernama Ade mengatakan bahwa,
βItu bukan rel biasa. Itu kuburan massal yang tak pernah ditandai,β ujar Ade warga asli yang lahir di kawasan Jalan Tanjung Medang, Limapuluh, yang masih menyimpan kenangan masa kecil tentang sisa-sisa kereta tua.
Ade kecil sering bermain di bangkai lokomotif yang teronggok di belakang rumah warga. “Satu gerbong ada di dapur rumah, satu lagi di halaman belakang rumah orang Tionghoa. Tapi sekarang udah nggak bisa masuk lagi. Sudah tertutup,” kenangnya. Ia menyebutnya sebagai “mainan yang berat dan berkarat”, tanpa tahu dulu kereta itu dibangun di atas penderitaan ribuan orang.
Cerita serupa datang dari tepian Sungai Siak. Di sana, seorang warga tua yang dikenal sebagai Jep Japang menuturkan bahwa daerah mereka dulu adalah simpul penting distribusi tambang.
βMenurut cerita dari kakek saya, dulu semua hasil tambang dibawa ke sini, langsung di pinggir sungai. Dari sini baru dimuat ke kapal. Tempat kami ini dulu sibuk, ramai. Sekarang tinggal air yang diam,β katanya lirih, seolah bicara kepada arus sungai yang tetap setia mengalir, walau kota telah berubah.
Dari Ambisi Kolonial ke Tragedi Kemanusiaan
Rel Pekanbaru bukan bagian dari romantika kemajuan. Ia lahir dari kerakusan imperialis dan obsesi militer. Di bawah kekuasaan Jepang tahun 1942-1945, proyek rel kereta api dilanjutkan dengan ambisi brutal. Jepang mempekerjakan romusha secara paksaβsiang malam bekerja tanpa alat, makanan tak layak, dan tubuh penuh luka.
Kereta ini rampung dibangun pada 1945, tepat ketika Jepang kalah perang. Rel selesai, tapi sia-sia. Tak sempat beroperasi maksimal. Indonesia merdeka, tapi rel itu ditinggalkan seperti bangkai di ladang. Tak pernah dipakai. Tak pernah dipelihara. Tak pernah dikenang dalam pembangunan nasional.
Kota Simpul yang Dilupakan
Pekanbaru pernah disiapkan menjadi simpul logistik besar di Sumatera. Letaknya yang strategis di tepi Sungai Siak menjadikannya pilihan ideal untuk menghubungkan daratan pedalaman dengan jalur laut menuju Selat Malaka. Tapi sejarah berkata lain. Setelah kemerdekaan, tak ada upaya pelestarian. Tak ada museum rel. Tak ada situs cagar budaya yang menceritakan luka-luka itu.
Kini, sisa rel itu hanya bisa ditemukan dalam cerita warga, monumen tua yang berdebu di Museum Sang Nila Utama, dan nama-nama jalan yang kehilangan makna asalnya. Tak ada prasasti. Tak ada penyesalan nasional. Hanya sunyi yang mengendap di sela dinding pertokoan dan halaman rumah warga.
Jejak jalur kereta api itu bisa dilihat dijalan Juanda, Hangtuah,dan jalan Tanjung Medang kecamatan limapuluh hingga kebibir sungai siak
> βBesi itu sebagian besar sudah hilang ,sisa gerbong lokomotif yang berkarat,Tapi kisahnya masih nyangkut di kepala orang-orang tua sini,β kata Ade , Sayangnya, tak banyak anak muda yang mau mendengar.
Kisah kereta api Pekanbaru bukan sekadar nostalgia lokomotif tua. Ia adalah kisah tentang bagaimana bangsa ini memperlakukan sejarahnyadibiarkan karatan, dikubur pelan-pelan, seolah tak pernah penting.
Bangsa yang lupa pada jejaknya adalah bangsa yang kehilangan arah. Dan barangkali, lebih menyedihkan dari rel yang mati adalah ketika kita sebagai bangsa memilih membiarkan ingatan ikut mati bersamanya