Mataxpost|Jakarta – Adityawarman adalah sosok yang keberadaannya terpatri dalam sejarah dan legenda Sumatera Barat, sebuah figur yang menghubungkan dunia Malayu-Sriwijaya dan kebesaran Majapahit di Jawa. Dalam serpihan prasasti yang ditemukan di daerah Tanah Datar, nama Adityawarman muncul sebagai raja yang kuat dan pendiri Kerajaan Pagaruyung, yang membangun sebuah peradaban baru dengan akar budaya yang dalam dan identitas khas Minangkabau.
Prasasti-prasasti seperti Prasasti Kuburajo I dan II mengungkapkan bahwa Adityawarman membawa gelar βKanakamedinindraβ dan βSang Maharaja di Suwarnabhumi,β sebuah gelar yang menunjukkan otoritasnya tidak hanya terbatas di daratan Sumatra, tetapi juga mengacu pada kerajaan luas yang dikenal dalam tradisi India dan Tiongkok sebagai wilayah emas.
Dalam Prasasti Kuburajo I, ditemukan kalimat βAdityawarman kanakamedinindra putra mauliwarmadewa,β yang secara jelas menegaskan hubungan darahnya dengan Mauliwarmadewa, raja dari kerajaan Majapahit.
Hal ini menguatkan teori bahwa Adityawarman adalah putra dari garis keturunan Raja Majapahit, sementara ibunya diyakini berasal dari kalangan Putri bangsawan Minangkabau, meskipun sumber tertulis tentang ibu Adityawarman sangat terbatas dan lebih banyak berupa tradisi lisan.
Pada masa mudanya, Adityawarman menghabiskan waktu di Majapahit, kerajaan yang saat itu menjadi pusat kekuatan politik di Nusantara, tempat ia belajar diplomasi, seni pemerintahan, dan strategi militer.
Ini tercermin dalam prasasti yang menyebutkan gelarnya yang memiliki unsur Jawa, serta catatan-catatan Dinasti Ming yang memuat laporan tentang penguasa di wilayah Suwarnabhumi yang mengirimkan utusan kepada Kaisar.
Tersebut, Legenda rakyat Minangkabau tentang adu kerbau yang menjadi simbol strategi politik dan diplomasi yang menghindari peperangan terbuka melawan Majapahit. Dalam cerita tersebut, dikisahkan bagaimana Patih Gajah Mada, utusan Majapahit, membawa pasukan untuk menundukkan wilayah Minangkabau yang kaya sumber daya.
Ketika tuntutan penyerahan diri disampaikan, para pemuka adat menolak secara frontal dan memilih cara diplomasi yang cerdik. Adu kerbau dijadikan media penyelesaian konflik, di mana kerbau kecil yang tampak lemah, namun dipersiapkan secara khusus, berhasil mengalahkan kerbau besar dan kuat milik Majapahit.
Kemenangan simbolik ini membuat Gajah Mada menerima perdamaian dengan syarat pernikahan antara seorang putri Minangkabau dan keluarga kerajaan Majapahit. Dari pernikahan inilah lahir Adityawarman, yang kemudian kembali ke Sumatera untuk mendirikan kerajaan sendiri.
Setibanya di tanah leluhur, Adityawarman membangun Pagaruyung dengan sistem pemerintahan yang menggabungkan adat matrilineal Minangkabau dan unsur tata kelola Majapahit. Prasasti Kuburajo II mengindikasikan bahwa ia mendirikan sebuah pusat pemerintahan yang kuat,
Namun, keberadaan Islam yang mulai berkembang di pesisir Sumatera memberikan tantangan tersendiri terhadap kerajaannya. Dalam konteks ini, Adityawarman berhasil mempertahankan otonomi budaya dan politik di tengah tekanan perubahan zaman.
Dalam catatan Dinasti Ming yang direkam oleh penjelajah dan sejarawan Cina, Adityawarman disebut sebagai raja dari Suwarnabhumi yang berpengaruh. Hal ini memperlihatkan bahwa hubungan diplomatik antara kerajaan Pagaruyung dan kekaisaran Cina cukup kuat, memperluas jaringan pengaruh dan perdagangan di Asia Tenggara.
Meski demikian, kehidupan politik di Sumatera Barat tidak sepenuhnya damai; prasasti-prasasti dan catatan sejarah menyiratkan adanya konflik internal yang berkepanjangan, baik antara keluarga bangsawan maupun dengan kekuatan luar yang mencoba mempengaruhi wilayah tersebut.
Adityawarman wafat dan dimakamkan di daerah Lima Kaum, Tanah Datar. Situs makamnya yang sederhana hingga kini menjadi pusat ziarah dan simbol kebanggaan bagi masyarakat Minangkabau, meskipun tidak ada monumen megah yang menandai keberadaannya.
Sejarah mencatatnya sebagai figur yang menentang dominasi kekuatan besar dengan memanfaatkan diplomasi dan kecerdikan lokal. Ia adalah gambaran sosok pemimpin yang mampu menjembatani perbedaan budaya dan politik, serta mengokohkan identitas Minangkabau dalam bingkai Nusantara yang lebih luas.
Warisan Adityawarman tetap hidup dalam budaya Minangkabau, bukan hanya dalam bentuk tatanan adat dan sistem matrilineal, tapi juga dalam filosofi hidup yang menekankan kebijaksanaan, musyawarah, dan keseimbangan antara kekuatan dan kecerdikan.
Kisahnya yang bersinggungan antara sejarah dan legenda mengingatkan kita bahwa bangsa dan budaya dibentuk bukan hanya oleh peperangan dan penaklukan, tapi juga oleh dialog, perjanjian, dan pengakuan akan keberagaman.