Mataxpost|JAKARTA – Presiden Republik Indonesia resmi memberikan abolisi kepada Tom Lembong, terpidana kasus korupsi importasi gula tahun 2015–2016 saat menjabat di Kementerian Perdagangan. Keputusan ini diambil setelah mendapat pertimbangan dan persetujuan resmi dari DPR RI sebagaimana diatur dalam konstitusi. (01/08)
Surat Presiden dengan Nomor R43/Pres/072025 tertanggal 30 Juli 2025 telah dibahas dan disetujui oleh DPR. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyampaikan langsung keputusan tersebut kepada publik. “DPR RI telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap permintaan Presiden terkait abolisi atas nama Saudara Tom Lembong,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Kamis (31/7/2025).
Dengan berlakunya abolisi ini, seluruh proses hukum terhadap Tom Lembong dihentikan dan ditiadakan, meskipun yang bersangkutan telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor dan dijatuhi hukuman pidana 4,5 tahun penjara serta denda Rp750 miliar subsidair enam bulan kurungan. Langkah ini secara hukum sah karena abolisi merupakan hak prerogatif Presiden yang diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, dan diperkuat oleh Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.
Keputusan Presiden ini memicu berbagai reaksi publik. Namun, sejumlah kalangan menilai bahwa abolisi bukan bentuk impunitas, melainkan kebijakan konstitusional yang mempertimbangkan keadilan substantif. Banyak yang melihat ini sebagai langkah berani yang memadukan aspek hukum, kemanusiaan, dan kepentingan nasional.
Tom Lembong dikenal sebagai tokoh profesional yang selama kariernya memberikan kontribusi positif bagi kebijakan ekonomi nasional. Ia juga disebut menunjukkan itikad baik dan tidak berada dalam posisi kunci dalam struktur korupsi sistemik yang terjadi saat itu.
Kejaksaan Agung dinilai turut mengambil sikap bijak dalam menyikapi proses ini. Meski vonis sudah dijatuhkan, tidak ada resistensi terhadap inisiatif konstitusional Presiden. Hal ini menunjukkan bahwa institusi penegak hukum tetap menghormati jalur prerogatif yang disediakan dalam kerangka hukum nasional.
Pakar hukum tata negara Refly Harun sejak awal telah menyuarakan kritik terhadap proses hukum dalam kasus Tom Lembong. Ia menyebut perkara tersebut janggal karena tidak ditemukan bukti aliran dana ataupun keuntungan pribadi yang diperoleh Lembong. “Kalau bukan pelakunya, jangan dicari-cari kesalahannya,” kata Refly. Ia juga mempertanyakan apakah perkara ini murni hukum atau merupakan bagian dari skenario politik tertentu.
Baginya, tanpa niat jahat, tanpa keuntungan pribadi, dan tanpa bukti konkret kerugian negara, penetapan bersalah justru melahirkan bentuk baru dari ketidakadilan. Dalam berbagai pernyataannya, Refly menegaskan bahwa Tom Lembong masih memiliki “moral standing tinggi untuk dibela.”pungkasnya
Penghentian perkara ini tidak berarti melemahkan semangat pemberantasan korupsi, melainkan memberi ruang bagi hukum untuk lebih manusiawi dan selektif. Dalam sistem peradilan modern, tidak semua perkara harus berakhir di penjara ada kalanya pemaafan konstitusional diperlukan untuk menjaga stabilitas dan keadilan yang berimbang.
Dengan kasus ini, publik kembali diingatkan bahwa penegakan hukum harus berpijak pada prinsip keadilan yang menyeluruh. Abolisi bukan pembebasan tanpa dasar, tetapi mekanisme korektif yang sah untuk mencegah ketidakadilan baru dalam proses hukum. Langkah Presiden ini menjadi preseden penting dalam demokrasi hukum Indonesia, yang menyeimbangkan antara supremasi hukum dan supremasi nurani.