Jakarta, 9Agustus 2025 β Sejumlah unggahan viral di media sosial memantik perdebatan publik terkait pembahasan Undang-Undang Perampasan Aset yang dinilai belum berpihak kepada kepentingan rakyat. Kritik tajam muncul lantaran dikhawatirkan implementasi undang-undang tersebut justru berpotensi menyasar masyarakat kecil alih-alih menindak koruptor dan pelaku kejahatan ekonomi besar.
Salah satu unggahan yang ramai dibicarakan memperlihatkan seorang anak memegang bendera Indonesia di tengah kota yang hancur, disertai tulisan: “Disuruh mengesahkan UU Perampasan Aset, malah aset rakyat yang dirampas.“ Gambar lain yang turut menyebar luas menampilkan pekerja pabrik dengan narasi: “Wajah Indonesia tanpa Dewan Pengkhianat Rakyat,” sebagai bentuk sindiran terhadap DPR yang dianggap telah kehilangan legitimasi moral di mata sebagian masyarakat.
Isu ini mencuat seiring mandeknya pengesahan RUU Perampasan Aset, yang telah diajukan sejak beberapa waktu lalu. Padahal, menurut para pengamat, regulasi ini penting untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi, terutama dalam hal penyitaan aset hasil kejahatan luar negeri dan tindak pidana pencucian uang.
Namun, banyak kalangan sipil dan akademisi justru mengkhawatirkan bahwa aturan tersebut bisa membuka celah penyalahgunaan wewenang oleh aparat, terutama jika tidak diiringi dengan mekanisme pengawasan yang kuat dan perlindungan hukum terhadap masyarakat biasa.
βMasalahnya bukan hanya isi UU-nya, tapi siapa yang menjalankan, bagaimana implementasinya, dan apakah ada check and balance. Tanpa itu, rakyat yang rentan justru bisa jadi korban,β kata seorang aktivis hukum dari ICJR (Institute for Criminal Justice Reform).
Tak hanya RUU Perampasan Aset, sejumlah kebijakan pemerintah baru-baru ini juga menuai polemik karena dinilai bisa menekan rakyat kecil. Di antaranya adalah kebijakan pengambilalihan tanah yang dibiarkan nganggur selama dua tahun.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 Tahun 2021, tanah yang tidak dimanfaatkan sesuai peruntukan dapat dikategorikan sebagai tanah terlantar dan diambil alih oleh negara.
Meskipun kebijakan ini diklaim hanya berlaku untuk lahan berstatus HGU atau HGB, kekhawatiran publik muncul karena adanya potensi pelebaran kewenangan terhadap kepemilikan pribadi.
Kebijakan lain yang menuai kritik adalah pemblokiran rekening yang tidak aktif selama tiga bulan. PPATK, OJK, dan Bank Indonesia mulai menerapkan kebijakan pemblokiran sementara terhadap rekening dormant, dengan alasan pencegahan pencucian uang dan kejahatan keuangan. Meski demikian, banyak warga khawatir rekening kecil milik masyarakat biasa juga akan terdampak tanpa sosialisasi yang memadai.
Sementara itu, Korlantas Polri bersama Bapenda Provinsi juga akan menindak kendaraan bermotor yang menunggak pajak lebih dari dua tahun. STNK kendaraan yang tidak diregistrasi ulang akan diblokir permanen, dan kendaraan tersebut dianggap bodong secara hukum.
Jika ditemukan di jalan, kendaraan bisa langsung disita. Aturan ini didasarkan pada Pasal 74 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Namun, publik mengkritik bahwa kebijakan ini belum disosialisasikan secara luas, dan bisa merugikan pemilik kendaraan yang tidak tahu atau tidak mampu membayar pajak tepat waktu.
Di media sosial, tagar seperti #PerampasanAset, #TolakUUZalim, #TanahDisita, dan #DPRPengkhianatRakyat menjadi trending. Banyak warganet mengkritik DPR dan pemerintah karena dinilai semakin menjauh dari amanat rakyat.
βRakyat ditagih pajak tinggi dan ditakuti perampasan aset, tapi koruptor malah dilindungi. Sistemnya sudah tidak adil,β tulis salah satu pengguna TikTok dalam video yang telah ditonton jutaan kali.
Sejumlah LSM dan akademisi mendesak agar pembahasan RUU Perampasan Aset dilakukan secara terbuka, disertai partisipasi publik yang luas. Selain itu, pemerintah diminta mengevaluasi kebijakan sepihak yang berpotensi merugikan rakyat kecil.
βNegara harusnya hadir untuk melindungi, bukan menakuti. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah,β tegas pernyataan resmi dari YLBHI.
Meningkatnya tekanan publik terhadap berbagai kebijakan ini menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif dan eksekutif sedang diuji. DPR dan pemerintah diharapkan segera merespons dengan langkah konkret, bukan sekadar retorika, agar hukum benar-benar menjadi alat keadilan sosial, bukan alat ketakutan.