MENU Senin, 08 Des 2025
x
.

BPK Temukan Dugaan Bansos Fiktif di Bagian Kesra Pemkab Meranti Tahun 2023

waktu baca 5 menit
Sabtu, 27 Sep 2025 00:30

Pekanbaru, Riau – Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) menemukan dugaan anggaran fiktif dalam penyaluran bantuan sosial (bansos) bagi anak yatim dan dhuafa tahun 2023 di Bagian Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti. Temuan ini tertuang dalam Resume Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Nomor 17A/LHP/XVIII.PEK/05/2024, yang mengungkap berbagai kejanggalan dalam penggunaan APBD Kepulauan Meranti tahun 2023.

 

Dalam laporan tersebut, BPK menemukan ketidaksesuaian dalam penyaluran bansos kepada 804 anak yatim dan 400 dhuafa, masing-masing dengan nilai bantuan Rp500.000 per orang. Berdasarkan hasil audit, terdapat sejumlah pelanggaran prosedur dalam proses penyaluran bansos, yaitu:

  1. Verifikasi yang tidak valid – Bagian Kesra tidak mengevaluasi dan memverifikasi keabsahan calon penerima bansos. Usulan penerima hanya disampaikan secara lisan kepada Kepala Bagian (Kabag), Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), dan Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP).
  2. Tidak ada rekomendasi kepada instansi terkait – Daftar penerima bansos dan besaran bantuan tidak pernah dievaluasi oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), serta Inspektorat.
  3. SK tidak sesuai aturan – Penetapan daftar penerima tidak berdasarkan Surat Keputusan (SK) Kepala Daerah, melainkan hanya menggunakan SK Sekda Nomor 003/KESRA/KPTS-PA/IV/2023, yang tidak mencantumkan alamat penerima sebagaimana ketentuan yang berlaku.
  4. Pencairan tunai tanpa mekanisme perbankan – Bantuan disalurkan secara tunai, bukan melalui rekening masing-masing penerima, sehingga menimbulkan potensi penyalahgunaan.

Indikasi Fiktif dan Penyimpangan Dana

BPK juga menemukan indikasi fiktif dalam pencairan bansos pada Maret dan April 2023. Pada Maret, dana sebesar Rp75 juta disalurkan untuk 250 orang, sementara pada April, Rp180 juta dibagikan kepada 380 orang. Namun, uji petik BPK menunjukkan ketidaksesuaian antara laporan dan realisasi:

Sebanyak 69 penerima di Kecamatan Tasik Putri Puyu tidak dapat ditemukan, padahal SPJ mencatat dana sebesar Rp401 juta telah disalurkan. Jika SPJ tidak dapat dibuktikan, maka dana tersebut patut diduga fiktif, memenuhi unsur mens rea tindak pidana korupsi.

Dugaan penyalahgunaan dana Rp64 juta – Dari total dana Rp190 juta yang dikonfirmasi, hanya Rp126 juta yang benar-benar diterima oleh 252 penerima bantuan. Artinya, terdapat selisih Rp64 juta yang tidak disalurkan sebagaimana mestinya.

Menurut Pasal 11 ayat (3) UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, pemalsuan data fakir miskin merupakan pelanggaran hukum. Pelaku yang menyalahgunakan dana ini dapat dipidana hingga 5 tahun penjara atau denda Rp500 juta.

Menanggapi temuan ini, Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) dilansir dari media Kompas ,menilai bahwa penyimpangan dalam program bansos berdampak luas, tidak hanya secara ekonomi tetapi juga sosial.

“Korupsi dalam bansos adalah bentuk kejahatan sosial yang paling keji, karena merampas hak kelompok yang paling rentan. Ketika bansos diselewengkan, dampaknya bukan hanya kerugian finansial bagi negara, tetapi juga hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah,” pungkasnya

Menurutnya, skema bansos yang tidak transparan dan tanpa pengawasan ketat membuka peluang bagi penyimpangan. Ia menekankan perlunya digitalisasi dalam penyaluran bantuan, seperti penggunaan sistem transfer langsung ke rekening penerima dan penerapan basis data yang terintegrasi agar tidak ada lagi celah bagi korupsi.

Sementara itu, Dr. Siti Nurhayati, peneliti kesejahteraan sosial dari LIPI, menambahkan bahwa korupsi bansos berpotensi meningkatkan kemiskinan struktural.

“Ketika dana yang seharusnya membantu masyarakat miskin justru dikorupsi, ini memperdalam ketimpangan sosial. Orang-orang yang benar-benar membutuhkan akan semakin kesulitan, sementara mereka yang menyalahgunakan kekuasaan terus memperkaya diri,”jelasnya(national)

Ia mendorong peran aktif masyarakat sipil dan media untuk terus mengawasi pelaksanaan bansos, serta mendorong pemerintah daerah agar lebih transparan dalam proses penyaluran.

Anggaran Fantastis dan Potensi Penyelewengan

Selain dugaan bansos fiktif tahun 2023, informasi yang beredar juga menyebutkan bahwa anggaran Fasilitasi Pengelolaan Bina Mental Spiritual di Bagian Kesra untuk tahun 2024 mencapai Rp54 miliar. Anggaran ini tidak termasuk dana untuk sembilan kecamatan lainnya yang memiliki alokasi terpisah.

Besarnya anggaran ini memicu kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan, sehingga BPK dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) perlu melakukan audit khusus dengan uji petik mendalam.

Patut dicatat bahwa laporan hasil pemeriksaan BPK bersifat final dan mengikat (final and binding), sebagaimana diatur dalam UU No. 15 Tahun 2004, UU No. 15 Tahun 2006, dan Pasal 23E UUD 1945.

Setiap penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara dapat dijerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sesuai Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001, pelaku korupsi terancam hukuman:

“Pidana penjara seumur hidup atau minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun, Denda paling sedikit Rp50 juta dan maksimal Rp1 miliar”

 

Pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan tindak pidana, melainkan hanya menjadi faktor yang meringankan hukuman. Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus segera menindaklanjuti temuan BPK ini demi transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.

 

Temuan dugaan bansos fiktif di Bagian Kesra Pemkab Meranti tahun 2023 menambah daftar panjang kasus penyalahgunaan anggaran daerah. Dengan besarnya anggaran yang dialokasikan untuk program serupa pada tahun 2024, diperlukan pengawasan ketat agar tidak terjadi praktik korupsi yang merugikan masyarakat.

 

Pakar sosial menilai bahwa korupsi bansos tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak kepercayaan publik dan memperdalam kemiskinan struktural. Oleh karena itu, transparansi, pengawasan ketat, serta partisipasi masyarakat menjadi kunci untuk memastikan bahwa bantuan sosial benar-benar sampai kepada mereka yang membutuhkan.

Berita akan diperbarui seiring perkembangan dan informasi yang didapatkan.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x