Mataxpost | JAKARTA โ Dana pajak rakyat Riau diduga dikorupsi melalui modus insentif. Skandal ini mencuat setelah Badan Pemeriksa Keuangan menemukan aliran insentif pungutan pajak kepada pejabat tinggi Pemprov Riau yang nilainya mencapai ratusan miliar rupiah. Laporan LSM Benang Merah Keadilan ke Kejaksaan Agung RI memperkuat dugaan adanya rekayasa anggaran sistematis yang berlangsung sejak 2022 hingga 2024, dengan menyeret pejabat puncak Badan Pendapatan Daerah dan Sekretaris Daerah Riau. (25/09)
Temuan mengejutkan itu tercatat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas LKPD Riau 2024. Auditor negara mendapati adanya pembayaran insentif pungutan pajak kepada Sekdaprov, padahal sejak awal 2022 pejabat setingkat Sekda sudah menerima Tambahan Penghasilan Pegawai.
Fakta ini menandakan skema insentif tidak hanya keliru secara administratif, tetapi juga diduga sengaja dipertahankan sebagai pola pembagian ganda yang berjalan konsisten hingga 2024.
Pelanggaran ini berawal dari Peraturan Gubernur Nomor 59 Tahun 2021 tentang TPP yang ditandatangani Gubernur Riau Syamsuar dan Sekdaprov SF Haryanto. Sejak Januari 2022, seluruh pejabat, termasuk Sekda, menerima TPP bulanan.
Untuk Sekda, nilainya sekitar Rp90 juta per bulan atau setara Rp3 juta per hari, di luar gaji pokok dan tunjangan lain. Dengan aturan ini, Sekda seharusnya tidak lagi berhak menerima insentif pemungutan pajak.
Namun, laporan BPK tahun 2024 menunjukkan hal sebaliknya. SF Haryanto tetap menerima insentif pungutan pajak sebesar Rp837,8 juta sepanjang 2024, atau sekitar Rp69,8 juta per bulan, berjalan bersamaan dengan TPP Rp90 juta per bulan
Bila pola ini berlangsung sejak 2022, maka total insentif tambahan yang diterima Sekda bisa mencapai sekitar Rp2,5 miliar dalam tiga tahun. Praktik pembayaran ganda ini dinilai publik bukan sekadar salah kelola, tetapi indikasi nyata perbuatan memperkaya diri sendiri.
Tidak hanya SF Haryanto, dua penjabat Sekdaprov, Indra SE dan Taufiq OH, juga tercatat sebagai penerima insentif pada 2024. LSM Benang Merah menilai pemberian ini jelas melanggar PP Nomor 69 Tahun 2010 yang hanya memperbolehkan insentif bagi aparatur yang terlibat langsung dalam pemungutan pajak. LSM menegaskan praktik ini memenuhi unsur tindak pidana korupsi sesuai Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.
Skandal insentif tidak berhenti di Sekda. Dalam auditnya, BPK menemukan Pemprov Riau pada 2024 menganggarkan belanja insentif bagi ASN pemungut pajak sebesar Rp127,28 miliar. Dana ini dipisahkan dari pos TPP, padahal Permendagri Nomor 15 Tahun 2023 jelas mewajibkan insentif ASN diintegrasikan ke dalam TPP.
Pemisahan ini diduga merupakan rekayasa untuk membuka ruang pembagian ganda. Jika pola Rp127,28 miliar per tahun konsisten sejak 2022, maka dalam tiga tahun jumlahnya mencapai Rp381,8 miliar. Ditambah insentif Sekda, potensi penyalahgunaan bisa menembus Rp384,36 miliar.
Ketimpangan distribusi dana ini makin terasa bila dihitung per individu. Simulasi dengan asumsi 350 penerima di Bapenda menunjukkan Kepala Bapenda bisa mengantongi lebih dari Rp6,3 miliar per tahun, pejabat eselon II rata-rata Rp3,8 miliar, eselon III sekitar Rp1,7 miliar.
Sementara staf biasa sekitar Rp232 juta per tahun atau Rp19 juta per bulan di luar gaji dan TPP. Gambaran ini memperlihatkan betapa insentif rawan dijadikan bancakan birokrasi, dengan pejabat puncak menikmati porsi terbesar.
Kepala Bapenda Riau periode 2022โ2023 dijabat Syahrial Abdi, sebelum digantikan Evarefita pada Januari 2024. Keduanya memegang peran strategis karena Bapenda adalah instansi teknis yang menyusun daftar penerima insentif. Namun ketika BPK menemukan pelanggaran, Bapenda justru membantah.
Dalam sejumlah pernyataan media, Evarefita menegaskan pembayaran insentif kepada Sekda tidak melanggar aturan dan tetap sah. Pernyataan ini dinilai LSM Benang Merah โaneh dan nekatโ karena bertolak belakang dengan temuan auditor negara, bahkan dianggap sebagai upaya memproteksi pejabat tertentu.
Tekanan agar Kejagung turun tangan langsung semakin menguat. Ormas Satu Garis, lewat Ketua Harian Ricky Fatir atas nama Ketua Umum Ade Monchai, mendesak agar laporan LSM Benang Merah tidak dikembalikan ke Kejati Riau. Mereka menilai integritas Kejati sangat diragukan karena kasus-kasus sederhana pun tidak tuntas.
โMengusut dugaan korupsi payung elektrik saja belum mampu, apalagi perkara besar ini yang melibatkan Wakil Gubernur Riau SF Haryanto,โ tegas Ricky Fatir. Menurutnya, hanya Kejaksaan Agung di pusat yang punya keberanian membuka kasus besar ini.
Ricky menambahkan,
โKeberlanjutan insentif yang bermasalah ini jelas mencederai kepercayaan publik. Kami mendesak Kejaksaan Agung untuk segera memanggil dan memeriksa seluruh pihak yang terlibat, termasuk pejabat yang menerima insentif, usut tuntas hingga penetapan tersangka, Penegakan hukum yang tegas harus dilakukan agar kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan tidak semakin terkikis,โ pungkasnya
Dampak skandal ini tidak bisa disepelekan. Skema insentif bermasalah menjadi salah satu penyebab defisit APBD Riau. Pajak yang dikumpulkan Bapenda, yang seharusnya digunakan membangun jalan, sekolah, rumah sakit, dan layanan dasar, justru terkuras untuk belanja insentif.
Dengan Rp384 miliar, Riau sebenarnya bisa membangun lebih dari 300 ruang kelas baru, membiayai puluhan puskesmas, atau memperbaiki ratusan kilometer jalan. Angka itu memperlihatkan betapa mahalnya harga korupsi yang dibayar rakyat.
Kini bola panas ada di tangan Kejaksaan Agung. Publik menunggu apakah penegakan hukum berani menyentuh aktor besar di balik skandal ini, mulai dari Kepala Bapenda, Sekdaprov, hingga Gubernur yang menandatangani regulasi pencairan. Jika kembali setengah hati, maka kasus ini hanya akan menambah panjang daftar kegagalan negara menindak pejabat yang menyalahgunakan kewenangan.
Tetapi bila Kejagung serius, kasus ini berpotensi membuka skandal korupsi besar yang menghebohkan bukan hanya Riau, melainkan Indonesia, bahkan dunia internasional yang tengah menyoroti tata kelola keuangan daerah di negeri ini.
Jika Kejagung berani menuntaskan, skandal ini bisa menjadi titik balik pemberantasan korupsi di daerah. Jika tidak, publik akan kembali disuguhi drama lama: hukum yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
Tidak ada komentar