Mataxpost | Jakarta – Suara publik mendesak segera ada pembentukan Dewan Kehormatan Perwira Polri, sebuah forum etik internal yang berwenang memeriksa serta meminta pertanggungjawaban langsung lima jenderal bintang empat, termasuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Kepala Baintelkam, Kepala Baharkam, Komandan Korps Brimob, dan Asisten Utama Operasi Polri. (20/09)
Tuntutan ini muncul setelah rentetan insiden demonstrasi nasional yang berujung kerusuhan, korban meninggal dan hilang, serta ribuan penangkapan yang memicu kritik keras terhadap kinerja kepolisian.
Desakan itu datang dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari organisasi sipil, aktivis HAM, hingga mahasiswa berbagai universitas besar seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Universitas Airlangga, dan Universitas Hasanuddin.
โKami menuntut Kapolri dan para jenderal bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi selama demonstrasi. Dewan Kehormatan Perwira harus segera dibentuk,โ kata Andi Saputra,(19/09) salah satu peserta aksi mahasiswa Universitas Indonesia.
Gelombang kritik juga datang dari tokoh publik dan akademisi, termasuk mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai, pengamat politik Rocky Gerung, dan akademisi Zainal Arifin Mochtar. Pigai menegaskan,
โReformasi Polri tidak boleh berhenti pada pergantian jabatan. Komisi ini harus memiliki kewenangan mengikat agar akuntabilitas benar-benar terjaga.โ
Rocky Gerung menambahkan,
โJika rekomendasi komisi hanya bersifat simbolik, publik tidak akan percaya lagi pada institusi kepolisian.โtegas nya yang dikutip dari media arus utama
Selain itu, tekanan moral mengalir melalui platform digital dan podcast populer, seperti kanal โBersuaraโ, โGejolak Demokrasiโ, dan โPodcast Reformasiโ. Dalam berbagai episode, tokoh masyarakat, jurnalis investigatif, dan purnawirawan TNI-Polri menjadi narasumber, menekankan urgensi reformasi institusi keamanan dan akuntabilitas para jenderal.
Konteks penunjukan ini tak bisa dilepaskan dari menurunnya kepercayaan publik terhadap Polri. Sejak dwifungsi ABRI dihapus, tuntutan agar kepolisian menegakkan mandat sipil terus menguat.
Namun sederet kasus dari dugaan pelanggaran hukum oleh oknum, penyalahgunaan wewenang, hingga penanganan aksi protes yang berujung kerusuhan dan korban jiwa mempertebal kritik bahwa Polri kian menjauh dari jalurnya.
Presiden Prabowo Subianto mengirim sinyal politik dengan melantik Jenderal Polisi (Kehormatan) Ahmad Dofiri mantan Wakapolri sebagai Penasihat Khusus Presiden bidang keamanan, ketertiban masyarakat, dan reformasi Polri pada Rabu, 17 September 2025, di Istana Negara. Penunjukan Dofiri, mantan Wakapolri yang baru pensiun, tidak sekadar formalitas, melainkan langkah yang terbaca sebagai jawaban atas desakan publik.
Ahmad Dofiri bukan figur sembarangan. Lulusan terbaik Akademi Kepolisian 1989 ini pernah menduduki jabatan strategis, mulai dari Kepala Baintelkam, Irwasum, hingga Wakapolri. Rekam jejaknya di bidang pengawasan dan intelijen menambah bobot penugasannya kali ini.
Ia menegaskan bahwa tim khusus atau komisi reformasi Polri segera dibentuk dengan dasar Keputusan Presiden, diharapkan menjadi ruang resmi untuk merumuskan perubahan mendasar, mulai dari struktur hingga budaya organisasi.
Penunjukan penasihat khusus sekaligus persiapan komisi reformasi dapat dibaca sebagai upaya Prabowo meredam kekecewaan publik sekaligus mengembalikan legitimasi kepolisian. Namun masih ada pertanyaan besar: seberapa jauh kewenangan komisi ini akan berjalan? Apakah rekomendasinya mengikat dan mampu menjerat perwira tinggi jika terbukti melanggar, atau hanya simbol politik untuk menjaga stabilitas?
Penunjukan Ahmad Dofiri bisa menjadi pintu awal transformasi, atau berhenti sebagai gestur politik yang tak menyentuh akar persoalan.
Di titik ini, publik menaruh harapan sekaligus skeptisisme. Reformasi Polri bukan sekadar pergantian posisi atau pembentukan lembaga baru, melainkan perubahan menyeluruh atas sistem pengawasan, akuntabilitas, dan budaya internal yang selama ini dianggap tertutup dan rawan penyalahgunaan wewenang.
Tidak ada komentar