Mataxpost | Pekanbaru, 1 Oktober 2025 – Kasus dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan PT Bumi Siak Pusako (BSP) dalam pengelolaan minyak Blok Coastal Plain Pekanbaru (CPP) kian bergulir. Setelah Forum Mahasiswa Peduli Politik Riau (FMPPR) melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau pada 17 Juni 2025, kejaksaan melalui surat resmi Nomor B-3501/L.4.5/Fd.1/07/2025 yang ditandatangani Plt. Aspidsus Fauzy Marasabessy menyatakan laporan tersebut layak ditindaklanjuti. Artinya, perkara ini sudah memasuki tahap pengumpulan bahan dan keterangan, bukan lagi sekadar isu jalanan.
Informasi yang berhasil dihimpun oleh Redaksi pada Selasa, 6 Mei 2025 lalu menyebutkan Dirut BSP, Iskandar diperiksa Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait perkara tindak pidana korupsi tata kelola minyak mentah dengan terdakwa Riva Siahaan dari PT Pertamina Patra Niaga. Pemanggilan Iskandar tertuang dalam surat saksi Nomor SPS-2387/F.2/Fd.2/05/2025 tertanggal 2 Mei 2025.
Blok CPP adalah salah satu aset energi paling strategis di Riau, dengan produksi ribuan barel minyak per hari. Sejak diambil alih dari kontraktor asing, pengelolaan penuh berada di tangan BSP, sebuah badan usaha milik daerah yang diharapkan menjadi penopang utama pendapatan Provinsi Riau dan Kabupaten Siak.
Namun kenyataan di lapangan jauh dari harapan. Produksi menurun drastis, biaya operasional membengkak, dan yang paling krusial adalah muncul dugaan kebocoran pendapatan dari minyak yang diproduksi di blok ini.
Dalam laporan LSM maupun Ormas FMPPR disebutkan bahwa BSP di bawah kepemimpinan Direktur Utama Iskandar menjalankan pengelolaan minyak yang tidak transparan dan berpotensi merugikan negara. Publik pun wajar menyorot Iskandar sebagai pucuk pimpinan perusahaan.
Tetapi desakan agar penyidikan tidak berhenti pada direktur utama semakin menguat. Ormas Satu Garis menegaskan bahwa posisi General Manager Operasional yang saat itu dipegang Raihan dan kini dirinya menjabat sebagai Plt. Dirut tidak boleh dikesampingkan dalam penyelidikan.
Sekjend Satu Garis (Suara Terdepan Untuk Gerakan Anti Korupsi,Reformasi Integritas dan Supremasi Hukum) Afrizal Amd, atas nama Ketua Umum Ade Monchai, menegaskan pentingnya peran manajemen operasional dalam seluruh alur produksi minyak.
Menurutnya, jika terjadi dugaan penyimpangan, maka bagian operasional mustahil tidak mengetahui.
โTidak adil bila hanya direktur yang disorot. Raihan sebagai General Manager sebelum jabat Plt. Dirut jelas punya peran penting dalam pencatatan produksi, pengawasan lifting, dan alur distribusi. Jika ada dugaan kebocoran, wajar publik menuntut agar dia diperiksa,โ tegas Afrizal di Pekanbaru, Rabu (1/10).
Afrizal menjelaskan bahwa dalam industri minyak, titik rawan penyimpangan bisa muncul di berbagai lini. Mulai dari pencatatan produksi yang seringkali tidak sesuai dengan hasil aktual di lapangan, praktik blending minyak berkualitas rendah untuk menutupi selisih harga, hingga permainan harga jual yang lebih rendah dari standar Indonesian Crude Price (ICP).
Ada pula potensi selisih volume dalam proses transportasi dan lifting, baik melalui pipa maupun kapal tanker. Semua alur tersebut, kata Afrizal, tidak mungkin lepas dari pantauan bagian operasional.
Selain Direktur Utama dan General Manager, Satu Garis menilai ada divisi lain yang harus ikut diperiksa.
“Divisi Keuangan yang mengatur pencatatan penerimaan hasil penjualan, Divisi Komersial/Marketing yang berhubungan langsung dengan buyer dan penentuan harga offtake, Divisi Logistik & Pengangkutan yang kerap menjadi titik rawan permainan volume lifting, serta Quality Control yang bisa dimanfaatkan untuk manipulasi mutu minyak. Tak kalah penting, Satuan Pengawas Internal (SPI) serta Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas juga harus dimintai pertanggungjawaban karena memiliki fungsi kontrol strategis yang selama ini diduga lemah”.
Fakta bahwa dugaan penyimpangan di BSP bukan isapan jempol juga diperkuat oleh temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam periode 2021โ2024. Laporan Hasil Pemeriksaan BPK tahun 2021โ2022 atas efektivitas kesiapan BSP dalam mengelola Blok CPP menyoroti lemahnya standar operasional dan pengendalian internal perusahaan.
Tahun 2022, BPK kembali menegaskan perlunya perbaikan tata kelola karena ditemukan potensi pemborosan biaya dan kelemahan dokumentasi produksi.
Laporan tahun 2023 mencatat bahwa sejumlah rekomendasi BPK belum sepenuhnya ditindaklanjuti, termasuk terkait investasi perusahaan yang tidak memberikan keuntungan signifikan dan hutang yang menumpuk.
Bahkan pada 2024, media melaporkan temuan BPK mengenai belanja tidak efisien, penugasan ganda, hingga perintah penagihan denda sekitar Rp3,1 miliar oleh SKK Migas kepada BSP.
Catatan kerugian BSP juga bukan sekadar wacana. Laporan keuangan perusahaan tahun 2024 mencatat kerugian mencapai Rp238 miliar, angka yang mencerminkan lemahnya efisiensi sekaligus buruknya tata kelola manajemen.
Fakta-fakta ini memperkuat dugaan bahwa kerugian negara akibat tata kelola Blok CPP bukan hanya potensi, tetapi sudah nyata terjadi, meski skala pastinya masih menunggu audit forensik.
Gerakan Satu Garis menilai, dengan posisi Raihan yang kini naik menjadi Plt. Dirut BSP, publik berhak menuntut keterbukaan penuh atas rekam jejaknya dalam pengelolaan minyak.
Mereka mengingatkan bahwa tanggung jawab moral dan hukum seorang pejabat tidak hilang hanya karena berganti jabatan, apalagi jika sebelumnya ia menguasai data-data vital yang kini menjadi obyek penyidikan.
Untuk itu, Satu Garis menyampaikan tiga desakan tegas:
– Pertama, Kejati Riau harus segera memanggil Raihan untuk dimintai keterangan dalam kapasitasnya sebagai mantan General Manager dan sekarang Plt. Dirut BSP.
– Kedua, diperlukan audit forensik independen atas data produksi dan lifting minyak BSP dalam tiga tahun terakhir agar potensi kebocoran dapat diungkap secara komprehensif.
– Ketiga, seluruh kontrak penjualan minyak BSP wajib dipublikasikan agar rakyat Riau mengetahui harga, volume, dan pihak pembeli minyak daerah mereka.
Afrizal juga menyinggung bahwa jika terbukti ada manipulasi atau pembiaran, maka secara hukum General Manager bisa dijerat dengan pasal turut serta atau pembiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP dan UU Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
โKejaksaan jangan hanya berhenti pada direktur. Kalau benar ada kerugian negara, semua pihak yang terkait harus dimintai pertanggungjawaban, termasuk bagian operasional, keuangan, marketing, logistik, quality control, SPI hingga dewan pengawas. Rakyat tidak mau kasus ini jadi setengah hati,โ tambahnya.
Kasus dugaan korupsi BSP Blok CPP kini menjadi ujian bagi Kejati Riau dalam menegakkan hukum di sektor energi daerah. Minyak mentah yang seharusnya menjadi sumber kemakmuran masyarakat tidak boleh bocor hanya untuk memperkaya segelintir pihak.
Desakan agar Kejaksaan Tinggi Riau memeriksa Raihan semakin menguat, dan publik menunggu langkah nyata. Hingga berita ini diturunkan, pihak BSP maupun Raihan belum memberikan tanggapan resmi atas desakan pemeriksaan tersebut.
Tidak ada komentar