MENU Senin, 08 Des 2025
x
.

Tragedi Kemanusiaan Sudan: 113 Ribu Korban Jiwa, 114 Aktor Perang, dan Diamnya Indonesia di Tengah Krisis Global

waktu baca 3 menit
Senin, 24 Nov 2025 01:08

JAKARTA โ€“ Konflik berkepanjangan di Sudan telah menjelma menjadi salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dan paling kompleks dalam sejarah modern Afrika. Berdasarkan analisis data primer Uppsala Conflict Data Program (UCDP) periode 1989โ€“2024, tercatat 113.439 kematian akibat berbagai bentuk kekerasan bersenjata yang melibatkan aktor negara, kelompok bersenjata non-negara, dan serangan sepihak terhadap warga sipil. Data tersebut mengungkap eskalasi berkelanjutan yang mencapai puncak beberapa tahun terakhir.

Kekerasan berbasis negara (State-Based Violence) tercatat sebagai penyebab kematian terbesar dengan 62.009 korban, disusul One-Sided Violence sebanyak 26.655 korban, dan Non-State Violence sebesar 24.775 korban.

Tahun 2023 menjadi periode paling mematikan, dengan 5.353 korban jiwa, memperlihatkan intensifikasi agresi militer dan konflik politik berkepanjangan.

Lonjakan ekstrem One-Sided Violence yang menargetkan warga sipil juga terjadi pada tahun 2004 dengan 5.829 korban, mengindikasikan karakter brutal konflik yang diarahkan langsung kepada populasi tak bersenjata.

Analisis spasial menggunakan Kernel Density Estimation (KDE) menunjukkan bahwa pusat kekerasan terkonsentrasi di wilayah strategis seperti Darfur dan Khartoum.

North Darfur mencatat 534 kejadian dan 4.029 korban, sementara Khartoum menyumbang 394 kejadian dengan 3.096 kematian, menjadikan kedua wilayah tersebut sebagai episentrum kekerasan dan perebutan kekuasaan militer.

Kompleksitas konflik Sudan semakin terlihat melalui analisis jaringan konflik yang dilakukan oleh peneliti geopolitik Indonesia, Ruben Cornelius Siagian, yang menemukan bahwa sedikitnya 114 aktor terlibat dalam 118 hubungan konflik dan terbagi dalam 22 komunitas kekerasan.

Pemerintah Sudan, kelompok pemberontak SPLM/A, dan kelompok Civilians menempati posisi paling sentral dalam struktur kekerasan berdasarkan degree centrality, menggambarkan kedudukan strategis mereka dalam keseluruhan dinamika konflik.

Data ini mengungkap bahwa konflik Sudan bukan merupakan perang dua pihak, melainkan sistem kekerasan multi-aktor dengan kepentingan ekonomi, politik, dan etnis yang saling bertautan.

โ€œKonflik di Sudan tidak bisa dipahami sebagai perang dua kubu. Ini adalah jaringan kekerasan kompleks yang dijalankan oleh banyak aktor dan kepentingan. Ada struktur yang memelihara perang dan ada kelompok yang diuntungkan dari kekacauan,โ€ kata Ruben.

Menurutnya, keberadaan banyak aktor non-negara seperti milisi paramiliter dan kelompok etnis menjadikan konflik semakin sulit diakhiri.

Hal ini tercermin dalam peristiwa kunci seperti tragedi Darfur 2003, pemisahan Sudan Selatan pada 2011, dan eskalasi RSF pada 2013, yang seluruhnya memperlihatkan korelasi antara momentum politik dan peningkatan angka korban.

Lebih jauh, Ruben melihat bahwa tragedi Sudan juga menjadi cermin bagi dunia dan Indonesia tentang integritas moral dalam melihat kemanusiaan. Ia menilai bahwa perhatian publik dan diplomasi nasional terhadap isu Sudan sangat minim dibanding konflik lain yang lebih dekat dengan preferensi identitas.

โ€œKetika lebih dari seratus ribu orang tewas dan dunia memilih bungkam, itu bukan hanya kegagalan diplomatik, tetapi kegagalan moral global. Dan diamnya Indonesia dalam tragedi besar ini menunjukkan ketidakkonsistenan nilai antara prinsip Pancasila dan realitas praktik,โ€ tegasnya.

Ruben mengingatkan bahwa Indonesia memiliki mandat konstitusional dan moral untuk ikut menjaga perdamaian dunia sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945, namun hingga kini tidak ada langkah diplomasi aktif atau inisiatif kemanusiaan nyata terhadap krisis Sudan.

โ€œDiam bukan sikap netral. Diam berarti membiarkan tragedi terjadi. Jika kita hanya bersuara ketika korban sesuai identitas mayoritas, maka kemanusiaan berubah menjadi slogan kosong,โ€ ungkapnya.

Ruben juga menyoroti lemahnya pemberitaan media nasional, minimnya kajian akademik, dan absennya suara lembaga keagamaan serta organisasi kemanusiaan besar dalam isu Sudan. Menurutnya, hal ini membuat publik tidak pernah memahami besarnya skala bencana kemanusiaan tersebut.

Ia menyerukan agar pemerintah, media, universitas, organisasi keagamaan, dan organisasi pemuda melakukan refleksi moral dan mengambil langkah nyata dalam advokasi kemanusiaan universal.

โ€œSudan adalah ujian untuk Indonesia. Pertanyaannya sederhana: apakah kita benar-benar bangsa yang menjunjung kemanusiaan yang adil dan beradab, atau hanya memperjuangkan kemanusiaan ketika sesuai dengan identitas kita?โ€ tutupnya.

Konflik Sudan kini tidak hanya menjadi tragedi geopolitik, tetapi juga pertanyaan mendasar bagi martabat moral bangsa-bangsa di dunia. Indonesia dihadapkan pada pilihan: menjadi bagian dari solusi global atau bagian dari pembiaran sejarah.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x