MENU Senin, 08 Des 2025
x
.

DPR Sahkan KUHAP Baru: Ancaman Kriminalisasi bagi Masyarakat Sipil?

waktu baca 4 menit
Kamis, 20 Nov 2025 04:47

Mataxpost | Jakarta,- DPR telah mengesahkan RKUHAP yang oleh berbagai kalangan dinilai membuka potensi kriminalisasi terhadap warga sipil, jurnalis, aktivis, hingga pembela HAM. (19/11)

Meski tidak secara eksplisit membatasi kebebasan berpendapat, sejumlah ketentuan dianggap memberi ruang bagi aparat untuk menekan kritik melalui jalur hukum.

Dalam teori HAM, sekadar adanya potensi penyalahgunaan kewenangan sudah cukup untuk menimbulkan chilling effect rasa takut yang membungkam ekspresi publik.

Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi undang-undang dalam rapat paripurna pada 18 November 2025. Keputusan diambil bulat setelah seluruh fraksi menyatakan setuju.

Ketua DPR Puan Maharani mengajukan pertanyaan โ€œApakah dapat disetujui untuk menjadi undang-undang?โ€, dan seluruh anggota yang hadir menjawab โ€œsetuju.โ€

Ketua Komisi III DPR,Habiburokhman, menyebut revisi diperlukan karena KUHAP lama telah berlaku sejak 1981 dan harus diselaraskan dengan KUHP baru yang akan segera diberlakukan.

Namun pengesahan ini memicu kritik keras dari organisasi HAM, akademisi, dan jaringan advokat yang menilai sejumlah pasal dalam KUHAP baru justru menggerus perlindungan hak warga.

Amnesty International Indonesia melalui Deputi Direktur Wirya Adiwena menyatakan bahwa revisi tersebut merupakan โ€œkemunduran serius dalam komitmen negara terhadap penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAMโ€.

Dalam undang-undang baru yang terdiri dari 369 pasal itu, Amnesty menilai terdapat ruang signifikan bagi aparat untuk bertindak sewenang-wenang melalui perluasan wewenang upaya paksa.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP terdiri dari YLBHI, ICJR, LBH, hingga Amnesty menyoroti sembilan isu krusial yang menurut mereka tidak diakomodasi dalam draf final. Mereka mengkritik proses pembahasannya yang dinilai terlalu cepat dan kurang transparan.

Draf RUU yang dibawa ke paripurna disebut tidak pernah dibuka secara penuh kepada publik, sehingga ruang partisipasi bermakna praktis tidak ada.

Dalam catatan koalisi, salah satu ide reformasi paling penting, yaitu judicial scrutiny mekanisme kontrol hakim terhadap tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan justru dihapus dalam versi final, padahal hal itu adalah penyangga utama untuk mencegah penyalahgunaan diskresi aparat.

Komnas HAM juga menyampaikan kajian resmi yang memuat sedikitnya 11 isu penting yang perlu perhatian, seperti prosedur penyelidikan, aturan penahanan, mekanisme upaya paksa, hak tersangka, hak korban, serta perlindungan kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, lansia, perempuan, dan anak.

Menurut Komnas HAM, revisi KUHAP seharusnya memperkuat akuntabilitas aparat, bukan melemahkannya, karena tanpa pengawasan yang jelas, potensi pelanggaran dapat meningkat seiring luasnya kewenangan baru.

Salah satu aspek paling kontroversial adalah pengaturan upaya paksa. Kritik menyebut bahwa KUHAP baru memberikan ruang lebih besar bagi aparat untuk melakukan penyitaan, penangkapan, penggeledahan, hingga penyadapan, tetapi mekanisme pengawasan yudisialnya dinilai belum memadai.

Koalisi sipil menegaskan bahwa idealnya setiap tindakan tersebut harus mendapatkan izin atau setidaknya penegasan kontrol dari pengadilan, serta memberikan hak bagi warga untuk mengadukan pelanggaran prosedur.

Ketentuan ini, menurut mereka, tidak diatur secara tegas dalam undang-undang yang disahkan.

Soal penahanan, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menyebut bahwa KUHAP baru โ€œmembuat syarat penahanan seobjektif mungkinโ€ untuk mencegah penahanan berdasarkan kehendak subjektif penyidik.

Namun para pengkritik menilai objektivitas semacam itu tidak akan efektif tanpa mekanisme judicial scrutiny. Tanpa kontrol hakim yang kuat, standar objektif bisa kembali bergantung pada interpretasi aparat.

Koalisi sipil bahkan menyiapkan draf tandingan RKUHAP yang memuat pengaturan lebih ketat mengenai hak pelapor, mekanisme praperadilan, dan standar pembuktian.

Bagi mereka, revisi KUHAP seharusnya menjadi alat untuk memperkuat perlindungan warga negara, bukan instrumen yang berpotensi menambah kekuasaan aparat tanpa pengaman hukum yang proporsional.

Kekhawatiran terbesar mereka adalah bahwa revisi ini dapat mengikis jaminan kebebasan sipil, memberi efek gentar bagi ruang publik, dan pada akhirnya mempersempit ruang demokrasi.

Dengan disahkannya KUHAP baru, Indonesia memasuki babak baru dalam sistem peradilan pidana. Namun bagi banyak pemerhati HAM, langkah ini justru menandai kegagalan negara menjaga keseimbangan antara penegakan hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Reformasi hukum acara pidana idealnya memastikan kekuasaan negara berada di bawah kendali mekanisme pengawasan yang ketat, bukan membuka celah baru bagi kesewenang-wenangan.

Tanpa perbaikan kontrol dan akuntabilitas aparat, KUHAP baru dapat berubah menjadi pedang bermata dua: memperbarui sistem hukum, tetapi sekaligus membuka jalan bagi risiko pelanggaran HAM yang lebih sistematis.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x