Mataxpost | Pekanbaru, – Provinsi Riau kembali diguncang badai politik. Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menangkap Gubernur Riau Abdul Wahid dalam dugaan kasus pemerasan terhadap pejabat di lingkungan pemerintah provinsi, dinamika kekuasaan langsung bergeser. (08/11)
Dalam waktu singkat, Kementerian Dalam Negeri menunjuk Wakil Gubernur SF Haryanto sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau.
Penunjukan cepat ini menegaskan satu pola yang tampak berulang di Riau: setiap kali seorang kepala pemerintahan tumbang, wakilnya segera naik menggantikan tahta yang kosong
Persis seperti yang terjadi di Kepulauan Meranti, ketika Bupati Muhammad Adil ditangkap KPK dan Wakilnya, Asmar, otomatis naik menjadi Bupati.
Kini, pola yang sama kembali menghantui pemerintahan daerah. Di Meranti, hubungan antara Bupati Asmar dan Wakilnya, Muzammil, dikabarkan tengah memburuk.
Ketidakharmonisan keduanya telah menjadi perbincangan hangat di kalangan birokrat dan masyarakat selama beberapa pekan terakhir.
Sumber internal menyebut, akar persoalan terletak pada kebijakan rotasi dan pengisian jabatan di sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Langkah yang semestinya menjadi bagian dari penyegaran birokrasi justru memicu kecurigaan adanya upaya sistematis untuk memperkuat basis kekuasaan.
Sejumlah aparatur sipil negara di Meranti kini terbelah. Sebagian memilih loyal kepada Asmar sebagai bupati aktif, sementara sebagian lainnya menaruh simpati kepada Muzammil yang dinilai lebih terbuka dan komunikatif.
Situasi ini menimbulkan suhu politik yang panas dua matahari kembali bersinar di langit pemerintahan Meranti, saling menunjukkan sinarnya dan enggan saling meredup.
Kondisi tersebut mengingatkan publik pada masa kelam kepemimpinan sebelumnya. Muhammad Adil, bupati yang dikenal tegas namun kontroversial, tumbang setelah terseret kasus korupsi dan gratifikasi yang melibatkan sejumlah pejabat OPD.
Ketika kekuasaan di lingkaran pemerintahan berubah menjadi alat politik, hasil akhirnya selalu sama: keruntuhan moral, retaknya kepercayaan publik, dan tumbangnya kepemimpinan.
Kini, masyarakat mulai bertanya-tanya apakah Asmar akan mengalami nasib serupa, atau justru sang Wakil, Muzammil, yang lebih dulu kehilangan pijakan politiknya?
Sementara itu, di tingkat provinsi, dinamika politik tak kalah panas. Setelah SF Haryanto resmi ditunjuk sebagai Plt Gubernur Riau, berbagai kelompok kepentingan mulai memosisikan diri.
Elite birokrasi, partai politik, hingga pengusaha lokal disebut tengah melakukan konsolidasi untuk menjaga pengaruh mereka di pemerintahan baru.
Beberapa sumber menyebut, permainan lobi dan tarik-menarik jabatan mulai terasa di sejumlah OPD provinsi.
Kondisi ini semakin memperkuat pandangan bahwa politik Riau kini lebih sibuk dengan perebutan kekuasaan ketimbang pelayanan publik.
Pengamat politik Ronny Riayansah di Pekanbaru menilai, pola yang terjadi di Riau dan Meranti menunjukkan siklus kekuasaan yang tak pernah benar-benar putus.
โSetiap kali satu kepala daerah jatuh, yang naik pasti wakilnya, bukan karena prestasi, tapi karena manuver politik yang terencana serta kepentingan kekuasaan, Sistemnya belum berubah, hanya tokohnya yang berganti,โ ujarnya.
Ia menambahkan, dari Pekanbaru hingga Selatpanjang, pola kekuasaan Riau berjalan di rel yang sama: konflik internal, perebutan jabatan, lalu pergantian mendadak yang dibungkus dengan alasan administratif.
Kini masyarakat Riau menatap situasi ini dengan rasa jenuh sekaligus cemas. Setelah Abdul Wahid tersungkur dan SF Haryanto naik ke tampuk kekuasaan.
Publik mulai menebak siapa yang akan menjadi โkorban berikutnyaโ di panggung politik Riau. Di Meranti, suhu politik terus meningkat; di Pekanbaru, permainan elite kian tajam.
Hingga kini, belum ada keterangan resmi dari kedua pejabat daerah tersebut. Baik Bupati Asmar maupun Wakilnya, Muzammil, memilih bungkam di tengah sorotan publik.
Masyarakat pun bertanya-tanya, apakah isu keretakan ini sekadar kabar angin yang ditiupkan pihak tertentu, atau justru pertanda awal dari pergeseran kekuasaan di lingkaran elit politik Meranti.
Satu hal tampak pasti badai kekuasaan di Riau belum benar-benar reda, dan seperti sejarahnya, setiap kali satu pemimpin jatuh, selalu ada yang sudah siap naik menggantikan tahta.
Tidak ada komentar