
.


Mataxpost Investigasi | Riau – Riau dikenal sebagai negeri Melayu yang berlandaskan Islam, kaya raya oleh minyak, gas, batubara, dan mineral. Tetapi di balik kekayaan itu, provinsi ini menyimpan luka paling dalam: korupsi yang merusak birokrasi hanyalah permukaan. Setelah ditelusuri lebih jauh, ancaman nyata yang paling berbahaya bagi rakyat bukan lagi pejabat yang mencuri anggaran, melainkan jaringan mafia tanah dan mafia hukum yang bekerja tanpa takut hukum dan tanpa batas moral. (17/11)
Selama bertahun-tahun, publik mengira sumber kemunduran Riau terletak pada korupsi di BUMD, permainan anggaran, atau ketidakmampuan pemerintah mengelola kekayaan alam.
Namun investigasi Mataxpost menemukan bahwa akar persoalan jauh lebih gelap dan lebih mengancam daripada itu. Korupsi mungkin menguras APBD, tetapi mafia tanah dan mafia hukum menghancurkan kehidupan rakyat sampai ke akar-akarnya, tanah mereka, rumah mereka, identitas mereka, rasa aman mereka, bahkan masa depan keluarga mereka.
Jaringan ini bukan sekadar kelompok kriminal biasa. Mereka terdiri dari pengusaha kaya, taipan tanah, makelar bersertifikat informal, serta oknum aparat yang seharusnya menjadi pelindung negara.
Dari penelusuran di Pekanbaru, Dumai, Siak, dan Kampar sejak 2020, ditemukan pola yang berulang: dokumen dipalsukan, tanah diincar, warga diintimidasi, oknum polisi dan oknum aparat tni masuk sebagai โpengamanโ.
Jaksa dan hakim tertentu diduga ikut bermain, lalu korban dilaporkan balik hingga berubah menjadi tersangka. Ketika kekerasan fisik tidak berhasil, mereka memakai hukum sebagai senjata.
Kasus Inong di Dumai menggambarkan bagaimana warga dihadapkan pada tekanan berlapis. Ia mempertahankan tanah keluarganya, tetapi yang terjadi justru pemanggilan tanpa dasar, ancaman, dan laporan balik yang diproses lebih cepat daripada laporan utamanya. Ia berkata,
โKalau melawan, kami dilaporkan balik. Kalau mengadu, seolah tak ada tindak lanjut. Kami merasa sendiri.โujarnya
Siti Fatimah, seorang guru SD di Pekanbaru, bahkan dipenjara dalam kasus pidana meski telah memenangkan sengketa perdata. Tanah yang sudah jelas terbukti haknya justru menyeretnya ke balik jeruji.
Pemalsuan dokumen yang seharusnya menjadi dasar penyelidikan tidak disentuh. Hukum berputar, tetapi arahnya berubah mengikuti kekuatan yang membisikkannya.
Mantan Wakil Ketua DPRD Riau, Asri Auzar, menjadi contoh paling nyata dugaan kolusi politik dan kriminalisasi. Sengketa tanah dan enam ruko yang awalnya masih dalam proses perdata tiba-tiba berubah menjadi kasus pidana yang dipaksakan. Indikasi tekanan politik muncul dari “penguasa kota” yang merupakan lawan politik Asri Auzar.
Pengembangan kasus baru dimulai setelah “dirinya” resmi berkuasa, padahal laporan awal dari Vincent sebelumnya belum menunjukkan perkembangan.
Proses lelang oleh bank atas ruko telah selesai, dan tampak salah satu ruko dijaga oleh beberapa oknum diduga Intel Kodim Pekanbaru, ketika Asri Auzar dan kuasa hukumnya mendatangi lokasi. Mereka juga diduga pernah dipanggil Dandim Pekanbaru kala itu dan dapatkan kalimat yang dinilai sebagai intimidasi.
Pada 12 November 2025, Asri Auzar dijemput penyidik Polresta Pekanbaru, berkasnya dinyatakan lengkap oleh kejaksaan negeri Pekanbaru dan sidang pidana dijadwalkan 20 November 2025, sementara perkara perdata masih berjalan dan belum ada putusan siapa yang berhak atas lahan.
Strategi kriminalisasi ini banyak ditemukan dalam kasus berbagai daerah lainnya, sebuah strategi jitu untuk mematahkan perlawanan, dari awalnya korban berubah menjadi tersangka, hingga terpidana.
Kriminalisasi dengan mempidanakan masyarakat tujuannya adalah untuk pemudahkan pihak Mafia menguasai aset warga.
Dari ketiga kasus ini muncul pola yang sama: sengketa awal bersifat perdata, muncul tekanan dan intimidasi, korban yang melawan menghadapi laporan pidana, sertifikat berpindah nama tanpa transaksi sah, dan oknum aparat bersenjata muncul tanpa surat tugas jelas.
Semua ini menegaskan bahwa kejahatan yang dihadapi rakyat Riau kini bukan lagi korupsi semata, melainkan kolusi yang dibungkus kewenangan. Kejahatan yang memanfaatkan kekuatan bersenjata, seragam negara, dan pasal hukum untuk menekan warga tidak bersalah.
Bahkan di tingkat nasional, sengketa lahan antara Jusuf Kalla dan Lippo Group menjadi alarm keras. Jika seorang mantan wakil presiden saja dapat terseret dalam pusaran konflik dengan mafia tanah, rakyat kecil berada di titik paling rawan. Jika tokoh negara bisa digoyang, maka masyarakat kecil bisa digilas.
Rasa takut kini menjalar seperti epidemi di tengah masyarakat. Di banyak daerah, warga tidur dengan cemas bahwa tanah yang mereka warisi atau beli sah bisa hilang hanya karena seseorang lebih kuat dan lebih dekat dengan aparat.
โBukan cuma tanah dan rumah yang hilang. Rasa aman kami juga hilang,โ kata seorang warga Pekanbaru.
Dengan temuan investigasi seperti ini, masyarakat kini menggantungkan harapan pada Presiden Prabowo Subianto. Mereka menagih janji untuk membersihkan instansi Polri dan TNI dari oknum yang merusak,
Menagih janji untuk menertibkan jaksa serta hakim yang bermain dalam jaringan mafia hukum, menindak oknum notaris dan bpn dalam pemalsuan dokumen dan meminta negara untuk hadir secara nyata di Riau.
Mereka menyerukan agar Presiden, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, serta jajaran penegak hukum turun langsung memeriksa fenomena ini.
Rakyat tidak meminta fasilitas. Mereka meminta perlindungan hukum. Mereka meminta negara kembali berfungsi sebagai pelindung, bukan penonton.
Riau sedang menunggu keputusan besar: apakah negara akan membiarkan mafia tanah dan mafia hukum berkembang menjadi kekuatan yang lebih berbahaya daripada korupsi itu sendiri? Atau justru akan mengambil langkah tegas untuk mengembalikan rasa aman yang telah dicabut perlahan dari rakyat Riau yang mencintai tanahnya?
Sejarah akan mencatat. Dan Riau menunggu apakah keberanian seorang jenderal di medan perang juga akan ditunjukkan dalam membongkar jaringan mafia yang menindas rakyat di tanahnya sendiri.


Tidak ada komentar