
.


JAKARTA, 7 November 2025 — Kepolisian Daerah Metro Jaya menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyebaran tudingan ijazah palsu Presiden Joko Widodo. Penetapan ini memicu perdebatan publik mengenai apakah langkah tersebut merupakan bentuk penegakan hukum terhadap penyebaran informasi palsu atau justru bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat.
Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri menyebut para tersangka terdiri dari Eggi Sudjana, Kurnia Tri Royani, M. Rizal Fadillah, Rustam Effendi, Damai Hari Lubis, Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma.
Mereka dibagi dalam dua klaster dan dijerat dengan sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Klaster pertama dijerat dengan Pasal 310, 311, dan 160 KUHP serta Pasal 27A dan 28 Ayat (2) UU ITE tentang pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, sedangkan klaster kedua dikenai Pasal 35 dan 32 UU ITE mengenai manipulasi data elektronik.
Menurut Asep, penetapan tersangka dilakukan setelah asistensi dan gelar perkara yang melibatkan ahli pidana, ahli ITE, ahli sosiologi hukum, serta ahli bahasa.
Kasus ini berawal dari sejumlah laporan polisi, termasuk laporan langsung yang diajukan oleh Presiden Joko Widodo.
Barang bukti yang diserahkan kepada penyidik antara lain satu flashdisk berisi 24 tautan video YouTube, tangkapan layar unggahan media sosial X, fotokopi ijazah dan legalisirnya, fotokopi sampul skripsi, serta lembar pengesahan.
Polisi menyatakan sebagian konten yang disebarkan para tersangka mengandung manipulasi digital dan dinilai berpotensi menyesatkan publik.
Namun, langkah hukum ini menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat, sejumlah pakar hukum dan lembaga hak asasi manusia menilai penerapan pasal pencemaran nama baik dan UU ITE berisiko digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi warga negara, terutama ketika menyangkut kritik terhadap pejabat publik.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menegaskan bahwa pasal-pasal tersebut bersifat multitafsir dan dapat mengaburkan batas antara kritik dan fitnah.
Ia menilai, ekspresi yang berbentuk pertanyaan atau keraguan terhadap pejabat publik semestinya tidak dipidana selama tidak disertai manipulasi data atau niat jahat.
Dalam konteks hukum positif, polisi memiliki dasar untuk menindak penyebaran informasi palsu yang terbukti menyesatkan masyarakat.
Namun batas antara pelanggaran hukum dan kebebasan berekspresi kerap menjadi area abu-abu yang memerlukan kehati-hatian dalam penegakannya.
Kasus ini menjadi ujian bagi aparat penegak hukum dalam menjaga keseimbangan antara perlindungan reputasi pejabat negara dan hak warga untuk mengemukakan pendapat secara bebas.
Pengamat hukum menekankan pentingnya transparansi dan objektivitas dalam proses penyidikan agar penegakan hukum tidak dipersepsikan sebagai alat pembungkaman kritik politik.
Publik kini menantikan kelanjutan penyidikan dan pembuktian di pengadilan untuk memastikan apakah langkah hukum ini murni upaya menegakkan kebenaran atau justru menandai kembalinya praktik kriminalisasi terhadap suara kritis.


Tidak ada komentar