MENU Senin, 08 Des 2025
x
.

Satu Tahun Raja Juli Antoni Antara Kebijakan dan Salah Kelola Hutan

waktu baca 3 menit
Minggu, 30 Nov 2025 15:24

Mataxpost | Jakarta โ€” Banjir besar dan tanah longsor yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada November 2025 telah menyebabkan sedikitnya 174 korban jiwa, merusak ribuan rumah, dan memaksa lebih dari 20.000 warga meninggalkan tempat tinggalnya. Peristiwa ini memicu banyak pandangan, diskusi publik, dan keresahan di berbagai kelompok masyarakat mengenai tata kelola lingkungan dan kebijakan kehutanan di Indonesia. (30/11)

Bencana yang terjadi memancing beragam respons publik. Sejumlah warga, aktivis lingkungan, dan pemerhati kebijakan kehutanan menyampaikan pandangan bahwa perubahan tata kelola hutan dalam satu tahun terakhir diduga ikut memengaruhi kondisi ekosistem di kawasan Sumatera. Namun pendapat ini masih memerlukan kajian ilmiah lanjutan, dan hingga saat ini belum ada pernyataan resmi pemerintah yang mengonfirmasi atau membantah asumsi tersebut.

Sejak menjabat sekitar satu tahun, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mendorong berbagai program seperti Perhutanan Sosial (PS), ketahanan pangan berbasis lahan hutan, percepatan izin kehutanan, rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), serta penguatan pengawasan terhadap illegal logging. Secara konsep, kebijakan tersebut diyakini bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menjaga fungsi ekologis hutan.

Namun, sejumlah kalangan masyarakat, pengamat lingkungan, maupun kelompok sipil menyampaikan bahwa implementasi di lapangan belum sepenuhnya sesuai dengan tujuan awal. Di beberapa wilayah, muncul anggapan bahwa mekanisme pengawasan, pemetaan sosial, dan pelibatan masyarakat lokal masih dapat diperbaiki.

Di Sumatera Utara, misalnya, terdapat laporan bahwa sebagian lahan PS dikelola oleh koperasi atau pihak non-lokal dengan luasan antara 700 hingga 2.000 hektare. Beberapa masyarakat adat dan warga sekitar menilai belum sepenuhnya dilibatkan dalam pengelolaan. Hal ini memunculkan beragam persepsiโ€”mulai dari harapan bahwa program ini dapat memberikan manfaat jangka panjang, hingga kekhawatiran terkait akses lahan dan keadilan ekonomi.

Di Aceh dan Sumatera Barat, sebagian masyarakat dan pemerhati lingkungan menyampaikan pandangan bahwa perubahan penutupan lahan hutan primer menjadi area pertanian atau perkebunan turut memengaruhi daya resap air di hulu DAS. Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh dalam pernyataan resmi menegaskan pentingnya pengawasan yang lebih ketat agar fungsi ekologis hutan tetap terjaga.

Sementara itu, sejumlah warga yang telah terlibat dalam program agroforestri mengaku memperoleh tambahan pendapatan sekitar Rp2โ€“3 juta per bulan. Namun masih ada kelompok masyarakat lain yang menyatakan belum merasakan manfaat serupa karena pengelolaan dilakukan oleh pihak non-lokal, atau karena akses program belum merata.

Beberapa penelitian akademik dan laporan independen periode 2023โ€“2025 turut memperlihatkan hasil yang beragam: di beberapa lokasi program PS meningkatkan peluang ekonomi, sementara di lokasi lain muncul kekhawatiran mengenai keberlanjutan ekologis dan ketidakpastian tata kelola lahan.

Peristiwa banjir dan longsor pada November 2025 kemudian memantik diskusi nasional. Sebagian masyarakat menilai bencana ini sebagai pengingat pentingnya evaluasi kebijakan pengelolaan hutan, terutama dalam konteks adaptasi perubahan iklim, konservasi DAS, dan pencegahan deforestasi. Ada pula pandangan bahwa kebijakan tersebut membutuhkan waktu lebih panjang untuk menunjukkan hasil nyata, mengingat perbaikan ekosistem bersifat jangka panjang.

Sejumlah pemangku kepentingan sepakat bahwa dialog konstruktif antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat adat, warga lokal, akademisi, dan sektor swasta menjadi kunci untuk memperbaiki tata kelola hutan sehingga manfaat ekonomi, perlindungan lingkungan, dan hak sosial dapat berjalan seimbang.

Disclaimer:

Berita ini merangkum pandangan, persepsi publik, laporan lapangan, dan temuan penelitian independen 2023โ€“2025. Informasi berasal dari BNPB, publikasi ilmiah Jurnal Sylva Lestari, lembaga sosial, serta wawancara sejumlah narasumber. Artikel ini tidak dimaksudkan untuk menyalahkan pihak mana pun dan terbuka untuk pembaruan seiring adanya data resmi terbaru dari pemerintah atau lembaga riset terkait

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x