MENU Senin, 08 Des 2025
x
.

Anggaran 73 Miliar, Bantuan Bencana Kementan Dinilai Tak Wajar, Publik Desak Audit

waktu baca 3 menit
Senin, 8 Des 2025 18:12

Mataxpost | Pekanbaru,- Publik dibuat terkejut setelah beredarnya dokumen anggaran bantuan bencana alam milik Kementerian Pertanian yang menunjukkan total nilai bantuan mencapai Rp 73.574.750.000. Dokumen tersebut memuat daftar barang dan dana tunai yang diklaim disalurkan ke wilayah terdampak bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. (08/12)

Berdasarkan tabel yang beredar, rincian bantuan barang tercatat sebagai berikut:

Minyak goreng sebanyak 505.000 liter dengan nilai Rp 9.342.500.000.
Beras sebanyak 21.874 kg dengan nilai Rp 1.312.450.000.
Obat-obatan sebanyak 15.000 pcs dengan nilai Rp 750.000.000.
Popok (pampers) sebanyak 14.423 ball dengan nilai Rp 750.000.000.
Mie instan sebanyak 11.093 dus dengan nilai Rp 1.109.250.000.
Abon sebanyak 10.256 pcs dengan nilai Rp 200.000.000.
Sosis sebanyak 9.375 dus dengan nilai Rp 750.000.000.
Gula sebanyak 7.586 kg dengan nilai Rp 132.750.000.
Biskuit sebanyak 3.667 dus dengan nilai Rp 27.500.000.
Telur sebanyak 2.189 kg dengan nilai Rp 72.250.000.
Air mineral sebanyak 1.875 dus dengan nilai Rp 56.250.000.
Susu sebanyak 923 dus dengan nilai Rp 122.999.850.
Kategori โ€œLainnyaโ€ sebanyak 1.000 dus dengan nilai Rp 6.822.250.150.

Total nilai bantuan barang tercatat mencapai Rp 21.448.200.000.
Selain itu, terdapat bantuan dana tunai sebesar Rp 52.126.550.000.
Jika digabung, total bantuan dana dan barang mencapai Rp 73.574.750.000.

Kejanggalan mulai disorot publik ketika angka-angka ini dihitung ulang. Salah satu yang paling ramai diperbincangkan adalah pos beras.

Jika benar volumenya hanya 21.874 kilogram dengan nilai Rp 1.312.450.000, maka harga beras per kilogram menjadi sekitar Rp 60.000 per kg. Angka ini jauh di atas harga beras di pasaran yang rata-rata berada di kisaran Rp 12.000โ€“16.000 per kg, sehingga memicu dugaan adanya kejanggalan.

Polemik serupa muncul pada pos โ€œLainnyaโ€. Jika 1.000 dus bernilai Rp 6,82 miliar, maka secara kasar satu dus bernilai sekitar Rp 6,8 juta, angka yang dianggap tidak wajar jika kategori tersebut hanya berisi kebutuhan pokok biasa, apalagi tanpa penjelasan rinci mengenai isi paket tersebut.

Secara faktual, data ini belum otomatis membuktikan adanya tindak pidana korupsi. Namun, pola pencatatan yang tidak transparan membuka ruang tafsir ganda.

Ada kemungkinan satuan volume dalam tabel keliru, misalnya yang tertulis โ€œkgโ€ sebenarnya adalah โ€œtonโ€, atau nilai anggaran tersebut telah mencakup biaya distribusi, logistik, pergudangan, pengemasan, dan transportasi ke daerah bencana. Masalahnya, komponen biaya itu tidak diurai dalam dokumen.

Ketiadaan penjelasan resmi dari pihak kementerian terkait memperparah situasi. Hingga saat ini, belum ada klarifikasi terbuka mengenai metode perhitungan harga satuan, rincian isi kategori โ€œlainnyaโ€, maupun mekanisme distribusi bantuan ke lapangan.

Dalam tata kelola keuangan negara yang sehat, kondisi ini dinilai berisiko karena dapat menurunkan tingkat kepercayaan publik.

Desakan pun bermunculan agar dilakukan audit independen dan pemeriksaan menyeluruh oleh aparat penegak hukum.

Tujuannya bukan semata mencari kesalahan, tetapi memastikan bahwa dana bantuan yang bersumber dari uang rakyat benar-benar sampai kepada korban bencana sesuai peruntukannya.

Isu utama dalam kasus ini bukan hanya soal ada atau tidaknya korupsi, melainkan lemahnya transparansi. Dalam konteks bantuan kemanusiaan, setiap ketidakjelasan bukan hanya persoalan administratif, tetapi juga menyangkut rasa keadilan publik.

Tanpa pembukaan data yang rinci dan verifikasi independen, polemik ini berpotensi terus membesar dan menggerus kepercayaan masyarakat terhadap tata kelola bantuan negara.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x