Mataxpost | Padang, โ Bencana banjir dan longsor besar yang melanda Sumatera Barat November 2025 memantik sorotan tajam terhadap tata kelola lingkungan dan kebijakan perizinan kehutanan.(03/12)
Sejumlah peneliti, aktivis lingkungan, dan pejabat daerah menilai kerusakan hutan di kawasan hulu sungai menjadi faktor utama yang memperparah dampak bencana, jauh melampaui pengaruh curah hujan ekstrem.
Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi Ansharullah, dalam pernyataannya mengatakan,
โKerusakan hutan adalah pemicu utama bencana. Kami mendesak pemerintah pusat untuk meninjau ulang izin dan konsesi, serta menghentikan izin baru di kawasan rawan bencana.โujarnya
Pernyataan ini mendapat sorotan karena dianggap mengalihkan tanggung jawab sepenuhnya ke pemerintah pusat, padahal sejumlah izin dan rekomendasi tetap dikeluarkan oleh pemerintah daerah selama kepemimpinannya.
Kritikus menilai keputusan Mahyeldi yang permisif dalam memberikan rekomendasi izin turut berkontribusi pada degradasi hutan dan meningkatnya risiko banjir serta longsor, Mahyeldi Ansharullah, selama ini kerap mengeluarkan rekomendasi dan persetujuan izin pemanfaatan hutan.
Beberapa pihak menilai kebijakan ini terlalu permisif, memberi ruang bagi ekspansi pertambangan, perkebunan, dan aktivitas lain di kawasan rawan bencana.
Kritikus menekankan bahwa keputusan pemerintah daerah, termasuk persetujuan izin oleh Mahyeldi, berkontribusi pada degradasi hutan dan meningkatnya risiko banjir serta longsor.
Di sisi lain, kebijakan pusat di bawah otoritas kehutanan nasional, termasuk Menteri KLHK, juga dinilai memberi ruang ekspansi pemanfaatan hutan.
Sejumlah pengamat menilai bahwa semua peristiwa ini tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab kedua pihak, baik pemerintah daerah maupun pusat, karena kombinasi kebijakan mereka memungkinkan terjadinya kerusakan lingkungan yang masif.
Data Dinas ESDM Sumatera Barat 2025 mencatat sedikitnya 12 lokasi penambangan galian C di Kabupaten Pesisir Selatan yang telah memiliki izin resmi, antara lain Riky Indokarya, Batu Tongga, Elok & Son, Mutia Raih Rahman Pratama, Tigo Padusi Nusantara, Keluarga Bersama, Wantied, Wardial, BP Group, Ghopi Putra, Ampek Lawang, dan Mitra Tigo Saudara.
Aktivitas penambangan ini, termasuk proyek irigasi D.I. Tarusan dan galian di Kecamatan Bayang, dinilai melampaui prinsip kehati-hatian dan berada di wilayah rawan bencana.
Tekanan terhadap hutan juga terlihat dari data produksi kehutanan. Raja Juli Antoni menyampaikan laporan bahwa, kementerian kehutanan pada Triwulan II 2025, produksi hasil hutan bukan kayu mencapai 211,75 ribu ton, meningkat 34,8 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Produksi kayu bulat tercatat 21,4 juta meter kubik, sementara kayu olahan mencapai 16,8 juta meter kubik dengan ekspor senilai 5,26 miliar dolar AS.
Para pakar menilai angka-angka ini sebagai indikator bahwa eksploitasi hutan tetap berlangsung masif meski bencana ekologis terus terjadi.
Sejumlah aktivis lingkungan dan WALHI menegaskan,
โBanjir bandang yang terjadi pada 2025 adalah konsekuensi langsung dari deforestasi yang terus dibiarkan, baik melalui izin formal maupun aktivitas ilegal. Kerusakan ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan tata kelola hutan yang permisif.โ
WALHI mencatat lebih dari 1,4 juta hektare hutan hilang di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara selama satu dekade terakhir.
Penelitian Universitas Gadjah Mada menunjukkan hilangnya tutupan hutan mengurangi kemampuan tanah menyerap air sehingga hujan deras berubah menjadi aliran permukaan yang destruktif ketika sampai di pemukiman hilir.
Banjir bandang yang terjadi pada 2025 dianggap sebagai konsekuensi langsung dari deforestasi, baik melalui izin formal maupun pembalakan dan penambangan ilegal.
DPR RI, melalui kunjungan reses di Sumatera Barat, menemukan dugaan penyalahgunaan izin oleh PT Sumber Permata Sipora (PT SPS) di Pulau Sipora, Mentawai.
Pulau ini memiliki luas 61.518 hektar, terdiri dari Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 2.666,5 hektar dan kawasan hutan seluas 35.451,5 hektar.
Meskipun permohonan PBPH PT SPS telah melalui rekomendasi Gubernur Mahyeldi dan proses verifikasi administrasi serta teknis, serta memperoleh persetujuan komitmen dari Kepala BKPM atas nama Menteri KLHK pada 28 Maret 2023 untuk area seluas 20.706 hektar, dugaan ekspansi dan penyalahgunaan izin tetap muncul.
Tekanan dari masyarakat dan laporan koalisi masyarakat sipil akhirnya memicu pihak berwenang meninjau kegiatan PT SPS secara langsung.
Dampak ekonomi bencana diperkirakan mencapai triliunan rupiah. Di sektor perkebunan sawit, persoalannya juga kompleks, karena ekspansi sawit telah memasuki kawasan hutan lindung dan daerah resapan air.
Media internasional menyoroti bahwa laju pemulihan hutan jauh tertinggal dibanding laju kerusakan, sehingga cadangan karbon menurun dan risiko bencana meningkat.
Sejumlah aktivis lingkungan menegaskan bahwa masalah terbesar bukan sekadar aktivitas ilegal, melainkan sistem perizinan yang lemah dan permisif.
Salah seorang warga Pesisir Selatan Eet mengatakan,
โKami kehilangan rumah dan sawah akibat banjir. Izin tambang dan sawit yang masuk ke hutan lindung jelas memperparah bencana. Kami ingin pemerintah menindak tegas pihak yang merusak lingkungan.โ keluhnya
Pernyataan ini menunjukkan frustrasi warga atas kombinasi kebijakan yang permisif dan lemahnya pengawasan.
Konsesi pertambangan, perkebunan, dan pemanfaatan lahan sering diberikan di kawasan rawan bencana, hulu DAS, hingga hutan konservasi tanpa kajian risiko memadai.
Laporan lapangan bahkan menunjukkan sebagian kayu hanyut dalam banjir berasal dari penebangan di dalam konsesi bermasalah.
Kerusakan lingkungan di Sumatera Barat bukanlah peristiwa mendadak, melainkan puncak dari proses panjang degradasi ekosistem, kebijakan ruang yang permisif, serta lemahnya pengawasan dari pemerintah daerah dan pusat.
Masyarakat kini menuntut audit menyeluruh terhadap seluruh izin tambang, perkebunan, kehutanan, dan pemanfaatan lahan selama dua dekade terakhir, sekaligus menetapkan langkah pemulihan.
Ketika banjir bandang membawa lumpur ke rumah warga, yang terbawa bukan hanya tanah dan batang kayu, tetapi juga peringatan keras: alam memiliki batas.
Hutan bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi benteng terakhir keselamatan ekologis. Jika benteng itu diruntuhkan, yang tersisa hanyalah kerentanan dan kehancuran.
Sumber;
Pernyataan dan Kebijakan Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi Ansharullah โ serta Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni โ Dinas ESDM Sumatera Barat, 2025 โ Kementerian Kehutanan RI, Statistik Produksi Hasil Hutan 2025 โ WALHI โ Koalisi masyarakat sipil / aktivis lingkungan lokal โ Universitas Gadjah Mada (UGM) โ DPR RI, Kunjungan Reses Provinsi Sumatera Barat, laporan investigasi media kredibel.
Tidak ada komentar