
.

Rapat DPR RI dan Menhut Raja Juli Antoni (dok; kompas) Mataxpost | Jakarta,- Banjir besar dan tanah longsor yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada November 2025 telah menyebabkan sedikitnya 174 korban jiwa, merusak ribuan rumah, dan memaksa lebih dari 20.000 warga meninggalkan tempat tinggalnya. Peristiwa ini memicu banyak pandangan, diskusi publik, dan keresahan di berbagai kelompok masyarakat mengenai tata kelola lingkungan dan kebijakan kehutanan di Indonesia.(04/11)
Situasi ini sejalan dengan meningkatnya kritik terhadap kebijakan kehutanan pemerintah pusat, khususnya menyangkut penerbitan izin dan rehabilitasi ekosistem hutan di wilayah terdampak.
Menurut informasi yang didapatkan bahwa, sejak menjabat sekitar satu tahun, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni telah mendorong berbagai program seperti Perhutanan Sosial (PS), ketahanan pangan berbasis lahan hutan, percepatan izin kehutanan, rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), serta penguatan pengawasan terhadap illegal logging.
Secara konsep, kebijakan tersebut diyakini bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memperkuat fungsi ekologis hutan. Namun sejumlah kalangan masyarakat, akademisi, serta kelompok lingkungan menilai implementasinya masih memunculkan masalah, khususnya terkait pengawasan, tata kelola izin, pelibatan masyarakat adat, dan percepatan deforestasi di beberapa daerah.
Di beberapa wilayah, muncul persepsi bahwa pelaksanaan kebijakan kehutanan belum sepenuhnya sejalan dengan tujuan perlindungan ekosistem. Di Sumatera Utara, misalnya, terdapat laporan bahwa sebagian lahan Perhutanan Sosial dikelola oleh koperasi atau pihak non-lokal dengan luasan antara 700 hingga 2.000 hektare.
Sebagian warga lokal dan kelompok adat menyampaikan bahwa mereka belum sepenuhnya mendapatkan akses pengelolaan. Hal tersebut memicu beragam respons dari harapan bahwa program ini menciptakan kemandirian ekonomi, hingga kekhawatiran mengenai pemerataan manfaat serta keadilan lingkungan.
Sementara itu di Aceh dan Sumatera Barat, sejumlah pemerhati lingkungan dan perangkat daerah menyatakan bahwa perubahan tutupan hutan primer menjadi area pertanian atau konsesi menurunkan daya resap tanah di hulu DAS dan berpotensi memperburuk risiko banjir..
Penelitian akademik dan laporan independen periode 2023โ2025 juga menunjukkan bahwa keberhasilan program sangat bervariasi antarwilayah di beberapa daerah program PS mendorong ekonomi lokal, sementara di daerah lain muncul kekhawatiran mengenai keberlanjutan ekologis dan kepastian akses lahan.
Dalam konteks dinamika kritik yang berkembang, Anggota Komisi IV DPR RI, Usman Husin, menyampaikan pernyataan tegas kepada Menteri Raja Juli Antoni dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (4/12/2025).
Usman mempertanyakan konsistensi kebijakan kehutanan pemerintah, termasuk dugaan terbitnya izin pelepasan kawasan hutan di Tapanuli Selatan pada Oktober hingga November 2025. Menurutnya, kebijakan tersebut bertentangan dengan pernyataan Menteri yang sebelumnya meminta penghentian izin pelepasan hutan di wilayah bencana.
โPak Menteri lihat nggak bencana di Sumatera? Seharusnya izin pelepasan kawasan hutan dihentikan total,โ ujar Usman di Senayan
Ia menilai bahwa Menteri harus menjelaskan secara ilmiah dan terukur berapa lama waktu yang diperlukan untuk pemulihan ekosistem dan bagaimana pohon dengan diameter dua meter dapat tumbuh kembali sebagai bukti efektivitas kebijakan rehabilitasi.
Dalam lanjutan pernyataannya, Usman menyebut bahwa jika Menteri tidak mampu menjalankan mandat perlindungan kehutanan, maka lebih baik mengundurkan diri.
โKalau Pak Menteri nggak mampu, mundur saja. Pak Menteri nggak paham tentang kehutanan,โ tegasnya.
Sebagian kalangan menilai kritik tersebut mencerminkan meningkatnya ekspektasi publik terhadap pemerintah dalam menangani isu deforestasi dan mitigasi bencana hidrometeorologi, sementara pihak lainnya menyampaikan bahwa kebijakan lingkungan membutuhkan waktu panjang untuk menunjukkan hasil mengingat restorasi hutan merupakan proses ekologis jangka panjang.
Di tengah perbedaan pandangan tersebut, sejumlah pihak berharap dialog kolaboratif antara pemerintah pusat, daerah, masyarakat adat, akademisi, dan sektor swasta dapat memperkuat tata kelola kehutanan nasional secara lebih transparan, inklusif, dan berkelanjutan.
Disclaimer:
Berita ini merangkum pandangan publik, pernyataan resmi, data BNPB, penelitian independen 2023โ2025, dan hasil wawancara sejumlah narasumber. Artikel ini tidak dimaksudkan untuk menyudutkan pihak mana pun dan terbuka untuk pembaruan seiring adanya data resmi terbaru dari pemerintah, lembaga riset, atau sumber kredibel lainnya.

Tidak ada komentar