Mataxpost | Harapan terhadap hasil diskusi yang dilaksanakan oleh Esoterika Forum Spiritualitas yang bekerjasama dengan Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) dan Aliansi Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) tentang “Masa Depan Agama Leluhur di Indonesia, pada 7 Desember 2024 di Balai Besar Pelatihan Kesehatan, Pondok Labu, Jakarta Selatan, diakhiri tanpa dialog dengan peserta, sehingga terkesan semacam kelas tanpa tanya jawab maupun komentar yang dapat menjadi masukan untuk menghadapi ancaman punahnya agama tradisi leluhur suku bangsa Indonesia.
Paparan tiga nara sumber, Engkus Ruswana, Nia Syarifudin dan Budhy Munawar Rahman yang diantar oleh Denny JA. Ph.D dengan moderator Elza Peldi Thaher, lebih dari cukup materi yang disajikan untuk bisa memantik diskusi yang hangat di tengah suasana pagi kota Jakarta yang dingin diguyur hujan.
Meski begitu, toh sekitar 100 peserta yang siap ikut pasang omong untuk menyelamatkan agama tradisi leluhur yang terancam punah siap memberikan jalan keluarnya yang relevan agar agama asli milik suku bangsa Nusantara yang telah disepakati menjadi Indonesia ini dapat abadi, langgeng dan lestari menjadi bagian dari mosaik yang indah di negeri ini.
Jika dapat dipahami bahwa keberadaan agama tradisi para leluhur suku bangsa nusantara dimiliki oleh masing-masing suku bangsa nusantara yang ada, maka kebersamaan dalam upaya untuk memperjuangkannya menjadi abadi dan langgeng terus hidup di Indonesia, perlu dirumuskan bersama cara melakukannya.
Minimal dapat diakui oleh pemerintah dan memperoleh perhatian untuk ikut menjaga kelestarian dari sejumlah agama asli suku bangsa nusantara ini, ujar Sri Eko Sriyanto Galgendu menitipkan pikiran dan gagasan untuk menjaga dan merawat agama warisan para leluhur itu agar tidak punah.
Sayangnya, pemikiran dan gagasan yang cemerlang ini tidak memiliki kesempatan untuk ikut dipaparkan dalam forum diskusi yang lebih terkesan monolog hingga acara usai dengan acara makan siang waktu menjelang petang.
Padahal, dari sejumlah agama tradisi leluhur yang ada di Nusantara, setidaknya masih tercatat seperti Adat Musi (Suku Talaut, Sulawesi Utara) dan Arat Sabulungan (Mentawai Sumatra Barat), Buhun (Sunda), Kaharingan (Dayak) Kejawen (Jawa), Merapu (Sumba, Nusa Tenggara Timur), Masade (Sangir) hingga Permalin dan Tolotang serta Wetu Telu.
Masing-masing agama asli leluhur ini realitasnya berjalan sendiri. Sementara di tempat wilayahnya bertumbuh tidak lagi mendapat perhatian dari penganutnya yang lebih cenderung mengikuti agama baru yang datang kemudian ke nusantara seperti Islam, Kristen serta Hindu dan Budha.
Masing-masing agama yang dominan dari langit ini saling bergesekan untuk menampakkan wajah kemilaunya yang memukau untuk kemudian menjadi pilihan hati dengan meninggalkan begitu saja agama warisan leluhur yang dianggap tidak mengalami banyak perubahan serta pengembangan dan penyegaran sehingga menawarkan daya tarik bagi jamaahnya yang baru.
Akibat dari tidak berkembang dan tidak mengalami pembaharuan, agama asli peninggalan leluhur itu menjadi semacam anak remaja yang sedang bergairah bercinta seperti kehilangan selera dan merana. Apalagi dalam kesendiriannya agama-agama tradisi ini berjalan sendiri, tanpa kawan dan kawin dengan jenis yang lain, sehingga tidak dapat diharap melahirkan generasi penerus sebagai ahli waris dari ajaran dan tuntunan leluhur yang hendak dilestarikan itu.
Karena itu diperlukan kawin silang — dalam strategi dari cara pengembangannya agar dapat terus hidup untuk kemudian dapat berkembang dalam seperti pergerakan yang agresif dari pertumbuhan dan perkembangan generasi baru yang terus kembali bertumbuh dan terus berkembang seperti siklus hidup serta kehidupan makhluk dan tetumbuhan di muka bumi.
Isyarat yang disampaikan oleh Sri Eko Sriyanto Galgendu sebagai Pemimpin Spiritual Nusantara ini patut dipertimbangkan, seperti pilihan sikapnya menempuh jalan spiritual sejak 28 tahun silam hingga kini dengan konsekuensi siap dan ikhlas melakukan puasa pala yang kini telah dia anggap rampung, sehingga tinggal menunggu waktu yang tepat, untuk terus melaju dalam frekuensi yang lebih cepat, sehingga Indonesia dapat menjadi pusat dari perkembangan serta rujukan dari spiritual di dunia.
Karena itu, suasana diskusi jadi terkesan monolog, bahkan jadi semakin romantis untuk melukiskan wajah agama asli tradisi leluhur suku bangsa nusantara seperti hidup dalam kesepian dan kesendiriannya yang merana. Setidaknya, sampai hari ini para pelaku, penggerak serta pemerhati hidup dan kehidupan dari agama-agama warisan para leluhur ini, masih berjuang sendiri-sendiri dalam suasana yang sepi.