MataXpost| Semacam jalan pilihan hidup, filosofis Bushido seperti telah menjadi pilihan Sri Eko Sriyanto Galgendu melakoni tahapan spiritual mulai dari puasa pala tak hendak ikut menikmati hasil dari buah dari panenan yang sudah dilakukan selama 28 tahun, sambil tekun ziarah ke berbagai makam leluhur agar dapat restu dan perkenaan sehingga menjadi kekuatan serta keteguhan untuk menekuninya tanpa henti maupun jeda.(24/12/2024)
Sejak sebulan ini November 2024 Sri Eko Sriyanto yang telah mencapai puncak pengembaraan spritual, telah dipercaya oleh para pemimpin agama-agama di Indonesia sebagai Pemimpin Spiritual Nusantara yang acap disalah dipahami oleh sejumlah pihak sebagai pemimpin agama. Padahal, pemimpin spiritual itu adalah sekedar pemersatu umat dari berbagai agama di Indonesia. Ibarat konduktor, ia hanya sebagai petugas penyelaras suara yang harmoni dalam satu orkestra yang terdiri dari beragam warna musik yang dihasilkan oleh para pelaku yang ahli dalam bidangnya.
Tatanan yang harmoni dari warna musik yang tampil itu memang tidak sama — dan tidak perlu disamakan — karena tatanan yang harmoni itu sendiri terdiri dari perbedaan dan keberagaman yang memperindah suara musik yang saling bersahutan serta menggenapi bunyian yang lain untuk merasuk masuk ke kedalaman jiwa.
Bushido adalan jalan samurai sebagai pilihan sikap dan sifat melakoni hidup dalam dimensi spiritual bersatunya prinsip kesetiaan dan keberanian atas dasar etika dan moral yang mengendap dalam kematangan akhlak menuju kemuliaan sosok manusia yang dirahmati Allah sebagai khalifatullah di muka bumi.
Sikap moral yang mendasari Bushido dari tuntunan moral Konfusius dipadukan dengan petunjuk Budhisme dari aliran Zen dan Shinto yang sudah ada jauh sebelumnya di Jepang.
Jika Zen menuntun tentang tatanan yang harmoni, sedangkan Shinto sendiri menekankan kepada kesetiaan terhadap negara. Meski awalnya Bushido hanya dijadikan semacam keyakinan yang ditanamkan kepada prajurit, namun dalam perkembangan waktu Bushido menjadi semakin relevan diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan seluruh warga bangsa Jepang. Sehingga Bushido menjadi karakter budaya kerja dari bangsa Jepang yang mampu membuktikan diri sebagai bangsa yang maju dan terbilang unggul di dunia.
Syahdan, menurut Sri Eko Sriyanto Galgendu yang juga memang mengagumi keunggulan budaya warga bangsa Jepang — keberanian untuk melakukan keputusan — meski harus mati dengan pilihan keputusan yang dilakukan itu. Sehingga Budaya Bushido dalam tradisi para kesatria sejak awal jaman feodal di Jepang rela mempertaruhkan nyawanya sendiri demi kemenangan atau harkat dan martabat kemanusiaan yang harus tetap dijunjung tinggi dan bermakna sakral-spiritual itu.
Sehingga tradisi seppuku harakiri bunuh diri dianggap sebagai puncak dari spiritualitas dari upaya menjaga harga diri yang tidak boleh direndahkan oleh orang lain. Sikap pilihan bunuh diri ini bagi Bushido adalah lebih bermartabat dibanding menyerah kalah di tangan musuh. Atau hendak dipermalukan di muka umum akibat dari perbuatan yang dianggap tercela.
Pasukan berani mati bangsa Jepang tidak kaleng-kaleng, hingga pasukan Kamikaze sungguh benar adanya seperti yang ditunjukkan dalam Perang Dunia II dahulu di hampir semua medan pertempuran yang mereka hadapi.
Begitu juga imbangan dari sikap yang keras itu, warga bangsa Jepang memiliki sikap murah hati dengan penuh welas asih, bukan sekedar basa-basi dan santun serta disiplin untuk selalu bertindak atas kebenaran. Bahkan bersikap tulus, tanpa pamrih serta setia mengabdi, jauh dari sifat dan sikap khianat.
Agaknya, begitulah pengembaraan spiritual Sri Eko Sriyanto Galgendu yang telah dia lakoni sejak 28 tahun lalu semasa masih tinggal di Solo, kota kelahirannya yang dilatar belakangi oleh keluarga pengusaha yang sukses mulai dari sang kakek — sebagai pengusaha angkutan dan penyalur bahan bakar minyak se Jawa Tengah dengan ratusan armada truk — sementara sang Ibu sebagai penguasa pasar tradisional yang pemasok berbagai bahan kebutuhan rumah tangga, sehingga manjadi semacam penguasa tunggal penjaga sekaligus penjamin stabilitas harga di pasar rakyat semasa itu.
Latar belakang pendidikan Sri Eko Sriyanto Galgendu pun bersilangan dari sekolah yang berada di bawah yayasan keagamaan yang cukup kuat hingga perguruan tinggi teknik yang lebih mengunggulkan pemikiran eksak. Sementara latar belakang sebagai pengusaha kuliner yang terbilang sukses sekarang ini untuk yang ketujuh gerainya sekarang, seakan berasal dari warisan dari sang Ibu serta kakeknya yang cukup berjaya pada masa lalu itu dulu.
Dua rumah makan Ayam Ancuur yang telah menjadi brand unggulan itu ditimpali Rumah Makan Soto Gubeng, Wedang Pojok Istana dan Steak hingga Martabak Sriwedari yang juga akan digelar di kawasan kuliner malam jalan Ir. H. Juanda, Jakarta Pusat.
Warnasari dari pengembaraan spiritual Sri Eko Sriyanto Galgendu, tercermin juga dari luasnya jaringan dan relasi serta perkawanan dengan kalangan intelektual, seniman, budayawan, tokoh dari berbagai agama hingga kalangan elite politik maupun dari para purnawirawan TNI dan Polri yang ada di negeri ini. Luasnya jaringan dan kekerabatan yang dia bangun sejak semasa bersama Gus Dur, Susuhunan Paku Buwono XII dan Prof. Dr (HC) KH. Muhammad Habib Chirzin serta tokoh nasional lainnya semasa masih di Solo tiga puluhan tahun silam, semakin memperluas jaringan relasi perkawanan yang dia miliki di berbagai tempat dan daerah.
Karena itu, hajat untuk melaksanakan pertemuan persaudaraan lintas agama se dunia yang hendak dilaksanakan di Indonesia dalam waktu dekat — Jakarta, Yogyakarta dan Bali — sangat mungkin segera terwujud dan sukses untuk menautkan gerakan kesadaran kebangkitan spiritual bersama bangsa-bangsa di dunia dari Indonesia. ***