banner 468x60
Tambang Ilegal

Rekaman Vidio Aktivitas Tambang Granit Ilegal

61
banner 468x60

Mataxpost| JAKARTA – PT Malay Nusantara Sukses (MNS), perusahaan pertambangan batu granit yang beralamatkan di Kota Pekanbaru, Kamis (7/11/2024), dilaporkan ke Jaksa Agung Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) RI.

PT MNS dilaporkan dengan pasal dugaan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) dan korupsi lantaran mengeksplorasi pertambangan batu granit di kawasan hutan produksi terbatas (HPT) di Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau.

MataXpost.com
banner 300x600
Tiada Kebenaran Yang Mendua

 

‘’Barusan kami laporkan PT MNS ke Jampidsus, atas dugaan penyalahgunaan izin usaha pertambangan eksplorasi di Inhil,’’ ujar Ketua Umum Organisasi Masyarakat (Ormas) Pemuda Tri Karya (Petir), Jackson Sihombing, Kamis (7/11/2024) siang.

 

Didampingi Sekjen Petir, Andhi Harianto, SE, MM, dia mengatakan, PT MNS berada di lokasi Desa Keritang Hulu, Kecamatan Kemuning, Kabupaten Hilir, Kode WIUP: 1114045102021001, SK IUP: 766/1/IUP/PMDN/2021, tanggal akhir: 2024/08/09 00:00:00.000, dan tanggal berlaku: 2021/08/09 00:00:00.000.

 

Jackson Sihombing kemudian membeberkan hasil investigasi Ormas Petir, bahwa berdasarkan data geoportal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, tidak ditemukan legalitas izin penggunaan/pinjam pakai kawasan hutan.

 

‘’Berdasarkan liputan peta citra satelit world imagery, belum terlihat secara menyeluruh dilaksanakan kegiatan mengelola izin tambang,’’ sebut Jackson Sihombing seraya menjelaskan luas areal izin tambang PT MNS lebih kurang 198 hektare.

 

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan, dia menyebutkan:

 

(1) Setiap kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan wajib memiliki Perizinan Berusaha di bidang kehutanan, persetujuan Menteri, kerja sama, atau kemitraan di bidang kehutanan.

 

(2) Setiap kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

‘’Jadi, berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2021, perusahaan tambang yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan dikenakan sanksi administratif, yaitu denda administratif di bidang kehutanan,’’ ungkap Jackson Sihombing.

 

Dia kemudian memaparkan tata cara perhitungan denda administratif terhadap perusahaan tambang dimaksud berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2021.

 

Pasal 43 Ayat 3 menegaskan, dalam hal kegiatan usaha belum beroperasi dan tidak dapat ditentukan besaran keuntungan, perhitungan keuntungan per tahun per hektare disetarakan dengan sepuluh kali besaran Tarif PNBP Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan di bidang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan.

 

Perhitungan Denda Administratif adalah 10 Kali dari Tarif PNBP di kawasan Hutan, sesuai SK.661/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2023 tentang Penetapan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam rangka Percepatan Penyelesaian Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit yang Telah Terbangun di Dalam Kawasan Hutan pada Amar Keenam: Rp1.600.000/ha/Tahun di Kawasan Hutan Produksi, dan Rp2.000.000/ha/tahun di kawasan hutan konservasi.

 

‘’Maka perhitungan denda administrasi PT MNS karena berada di kawasan hutan produksi, luas aeal 198 ha x Rp1.600.000 x 10 = Rp3.168.000.000/Tahun. Bila izin tambang PT MNS berlaku 3 tahun, maka 3.168.000.000 x 3 = Rp9.504.000.000. Jadi, sekitar Rp9,5 miliar denda administrasi yang harus dibayar PT MNS ke Negara,’’ tegas Jackson Sihombing.

 

Lebih lanjut dia menuturkan, PT MNS telah mengeksplorasi tambang batuan granit selama tiga tahun sejak IUP terbit, sehingga ekspor tambang atau penjualan tambang diduga ilegal dan sangat merugikan perekonomian negara.

 

Dalam dokumen AHU kepemilikan perusahaan, PT MNS beber Jackson Sihombing, dimiliki lima orang, yaitu Haidir sebagai Komisaris Utama, Mansun direktur utama, Masrukin direktur, Abdul Wahid (AW) komisaris, dan Ismail sebagai direktur.

 

‘’Pemberian IUP PT MNS dapat berimplikasi pelanggaran hukum, salah satunya maladministrasi. Ujungnya, berimplikasi tanggung jawab jabatan atau pribadi. Dan, tanggung jawab ini dapat dikenakan dengan sanksi pidana, yakni penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana korupsi,’’ pungkas Jackson Sihombing. ***

About The Author

banner 300250
banner 468x60
Exit mobile version
Verified by MonsterInsights