Mataxpost | Banten – Wanita perkasa Suku Bangsa Nusantara yang kemudian bersatu menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia sungguh banyak yang dapat disebutkan, jauh sebelum Indonesia merdeka mereka telah berjuang di medan laga. (16/12/2024)
Setidaknya, Keumalahayati yang berasal dari Kesultanan Aceh, anak dari Laksamana Mahmud Syah, dan Kakeknya Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang berkuasa pada tahun 1530-1539,
Keturunan langsung Sultan Ali Mughayat Syah yang berkuasa di Kesultanan Aceh pada 1513-1530 pendiri Kerajaan Aceh Darussalam, jelas membuktikan darah keturunan Keumalahayati yang heroik itu Sebagai Pelaksanaan Wanita Pertama tak hanya di Nusantara ketika itu, tapi juga di dunia.
Laksamana Keumalahayati lahir pada 1 Januari 1550 dan meninggal pada 30 Juni 1615 di Aceh Besar saat bertarung untuk melindungi Teluk Krueng Raya dari Serangan bangsa Portugis yang dipimpin Laksamana Martin Alfonso De Castro.
Kemunculan Laksamana Keumalahayati bermula dari pertempuran di Teluk Haru, ketika armada laut Kesultanan Aceh mengalami kekalahan bertarung dengan pasukan Portugis.
Suaminya Laksamana Zainal Abidin tewas dalam pertempuran itu dan Keumalahayati tampil untuk mengambil alih pimpinan dan melengkapi pasukan lautnya dengan Inong Balee. Usulannya pun langsung diterima dan dikabulkan oleh Sultan Aceh.
Pasukan Inong Balee para janda yang menjadi pasukan berani mati ini langsung berada dibawah komando dia sebagai Laksamana Kesultanan Aceh.
Pasukan Belanda yang berhasil dihasut dan diprovokasi oleh Portugis sengaja datang ke Aceh dari Selat Malaka. Hingga terjadi pertempuran di laut hingga pasukan Inong Balee berhasil merangsek masuk ke Armada yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman yang tewas langsung dengan rencong Keumalahayati bersama pasukan Inong Balee yang dia pimpin dengan trengginas dan perkasa itu.
Bahkan, Keumalahayati ikut terlibat dalam perundingan untuk melepaskan tawanan daru pihak Belanda bersama Sultan Aceh untuk melepas Kapten Kapal Frederick yang mereka tawan.
Latar belakang pendidikan Keumalahayati pun tidak kaleng-kaleng. Dia menempuh pendidikan Akademi Militer Ma’ahad Baitul Maqdis. Sehingga dia sungguh mumpuni untuk menggantikan suaminya Laksamana Zainal Abidin yang gugur di medan laga pertempuran melawan Portugis.
Sebelum menjabat Laksamana, Keumalahayati menegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana, Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintahan Sultan Saidil Mukammil Alaudin Riayat Syah IV.
Keumalahayati memiliki 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang sahid) karena berperang melawan Belanda pada tahun 1599 dan berhasil membunuh Cornelis de Houtman di geladak kapal yang dikomando Cornelis de Houtman.
Hingga tokoh wanita Aceh pemberani ini lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati. Benteng Inong Balee sendiri berdiri di atas bukit kecil di sepanjang Teluk Krueng yang menghadap ke Samudra India.
Benteng ini dibangun pada tahun 1599 oleh Keumalahayati untuk menampung Tentara Inong Balee yang dia pimpin, sekaligus akomodasi bagi janda pejuang yang terbunuh di medan perang serta fasilitas pelatihan militer bagi wanita Aceh.
Waktu pertama benteng Inong Balee dibangun, anggotanya hanya sekitar 1.000 orang janda yang kehilangan suami saat bertempur melawan Portugis di Laut Haru. Hingga kemudian berkembang menjadi 2.000 orang termasuk perempuan-perempuan muda yang ingin ikut berjuang untuk Aceh.
Gelar Pahlawan Nasional sebagai penghargaan tertinggi di Indonesia diterima Laksamana Keumalahayati atas sikapnya yang heroik yang nyata hingga patut dikenang serta ditauladani bagi segenap warga bangsa dan untuk negara Indonesia.
Semasa anak-anak dia mendapat pendidikan khusus dari Istana. Keberanian dan ketangkasannya di laut ia warisi dari sang ayah dan kakeknya dari keluarga Kesultanan Aceh. Semasa bertugas pasukannya menjadi pelindung utama pelabuhan perdagangan besar di Aceh.
Selain bergelar Pahlawan Perintis Kemerdekaan Indonesia pada tahun 2017, hari kelahiran Keumalahayati dijadikan hari perayaan dunia internasional dalam Pengakuan UNESCO tahun 2023 di Perancis. Sebelum itu tahun 2017 dia dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional dengan Keppres No. 115 /TK/Tahun 2017.
Tentu saja wanita perkasa dari Nusantara yang lain pun tidak kalah membanggakan. Seperti Nyi Ageng Serang yang bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edhi, anaknya Pangeran Natapraja, penguasa Serang bagian dari Kerajaan Mataram.
Nyi Ageng Serang pun menggantikan kedudukan ayahnya hingga terkenal sebagai pembantu Pangeran Diponegoro menghadapi penjajah Belanda di Jawa Tengah dan sekitarnya. Perang Diponegoro terjadi selam lima tahu dari 1825 hingga 1830 dengan penangkapan di Mangkubumi, Tegal Rejo.
Sementara perlawanan rakyat Aceh juga terus berkobar hingga tewasnya Ibrahim Lamnga di Gle Tarum pada 29 Juni 1878 hingga membuat Tjoet Nyak Dhien berang mengambil alih perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Hingga akhirnya tertangkap tanpa pernah mau menyatakan menyerah sampai Belanda harus membuangnya ke Sumedang, Jawa Barat hingga wafat pada 6 November 1908 dalam usia 60 tahun.
Namun kemudian ada juga perlawanan dari rakyat Aceh yang digalang oleh Tjoet Nyak Meutia yang melanjutkan perjuangan suaminya, Teuku Muhammad atau Teuku Tjik Tunong yang tertangkap Belanda dan dihukum mati di tepi Pantai Lhokseumawe.
Sesuai wasiatnya kepada sahabatnya Pang Nangroe agar menikahi istrinya Tjoet Meutia dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi. Dalam pertempuran berikutnya Pang Nangroe tewas dalam peperangan pada 26 September 1910.
Dan Tjoet Meutia pun bersama pasukannya bentrok juga dengan Belanda di Alue Kurieng hingga gugur. Atas jasanya Tjoet Meutia, pemerintah Indonesia mengabadikan foto wajahnya pada uang kertas rupiah pecahan Rp. 1.000 pada 19 Desember 2016.
Dari catatan dan kesaksian sejarah wanita Indonesia yang mewarisi ketangguhan dan kegigihan para leluhur suku bangsa nusantara jelas patut dan pantas untuk dibanggakan sebagai kaum pergerakan yang tangguh dan ulet untuk tetap mempertahankan serta martabat kemuliaannya sebagai manusia, seperti yang jelas dan tegas termaktub dalam konstitusi bangsa dan negara Indonesia, yaitu UUD 1945.
Karena itu, perubahan yang dilakukan lewat amandemen yang kebablasan itu, perlu dikembalikan atau direvisi ulang agar tidak terus membuat kesengsaraan bagi rakyat Indonesia.
Dan suara lantang kaum perempuan Indonesia mendesak pihak pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat segera melakukan perbaikan seperlunya terhadap UUD 1945 seperti yang telah riuh diungkapkan dan disampaikan dalam berbagai kesempatan sampai hari ini serta gaungnya masih terus diteriakkan.
Setidaknya, suara dan gerakan kaum wanita Indonesia patut dan harus diperhitungkan. Sebab potensi serta ketangguhan kaum wanita Indonesia cukup mewarisi keunggulan bibit dan bobot dari para leluhur yang pernah berjaya di masa lalu yang pasti dapat dan mampu untuk diulang pada masa kini.
Agaknya, nukilan sejarah perjuangan kaum pergerakan wanita Indonesia yang telah melegenda ini bisa dijadikan bahan permenungan pada peringatan hari Ibu, 22 Desember 2024 untuk mempersiapkan diri memasuk dalam era Indonesia Emas, 2045 yang sudah semakin mendeka.