Jakarta, 13 Februari 2025 โ Perdebatan mengenai sistem penyidikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali mengemuka seiring dengan rencana pengaturan konsep penyidikan tunggal dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP (RUU KUHAP). Usulan ini menuai kritik keras dari berbagai pihak, termasuk akademisi dan pegiat hak asasi manusia, yang menilai bahwa sistem penyidikan tunggal bertentangan dengan prinsip konstitusi dan berpotensi melemahkan pengawasan terhadap aparat penegak hukum.
Data dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menunjukkan bahwa selama periode 2020โ2024, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menjadi institusi yang paling banyak diadukan terkait dugaan pelanggaran HAM. Pada tahun 2024 saja, terdapat 663 aduan terkait pelanggaran oleh Polri.
Laporan KontraS juga mencatat 353 kasus kekerasan yang mengakibatkan 410 korban tewas akibat tindakan kepolisian pada periode 2020 hingga awal Desember 2024, sementara Amnesty International Indonesia mencatat 116 kasus kekerasan aparat terhadap peserta unjuk rasa pada tahun 2024.
Rentetan kasus tersebut berdampak negatif terhadap persepsi publik dan internasional terhadap Polri. Police Corruption Perceptions Index menempatkan Polri pada peringkat 18 dengan skor 7.56 dari total 100 institusi kepolisian di berbagai negara. Alih-alih melakukan reformasi, Kapolri dalam rapat pimpinan Polri (31 Januari 2025) justru menegaskan keinginan Polri untuk memperkuat konsep penyidikan tunggal dalam RUU KUHAP, meski konsep ini telah berulang kali dikritik oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Penyidikan Tunggal Dinyatakan Inkonstitusional :
Konsep penyidikan tunggal mengacu pada sistem di mana hanya satu institusi yang berwenang melakukan penyidikan. Model ini bertentangan dengan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang secara eksplisit menolak pembatasan penyidikan hanya pada satu lembaga.
- Putusan MK Nomor 59/PUU-XXI/2023 menolak gagasan kewenangan penyidikan eksklusif oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menegaskan bahwa penyidikan harus melibatkan lebih dari satu lembaga sesuai dengan amanat undang-undang.
-
Putusan MK Nomor 15/PUU-XIX/2021 membatalkan pembatasan terhadap enam institusi penyidik dalam tindak pidana asal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), membuka kewenangan bagi seluruh penyidik terkait untuk menangani kasus pencucian uang.
Kedua putusan tersebut menegaskan bahwa sistem penyidikan tunggal bertentangan dengan konstitusi. Sebaliknya, sistem multiparty penyidikan dianggap lebih sesuai dengan prinsip negara hukum, karena memungkinkan lebih dari satu lembaga memiliki kewenangan penyidikan secara terkoordinasi.
Sistem Multiparty Penyidikan: Solusi yang Lebih Akuntabel
Model multiparty penyidikan telah diterapkan di berbagai negara dan terbukti meningkatkan transparansi serta efektivitas penegakan hukum. Sistem ini memungkinkan lembaga penyidik khusus menangani kasus-kasus yang membutuhkan keahlian teknis tertentu.
Sebagai contoh, pemberian wewenang penyidikan kepada OJK di sektor jasa keuangan mempercepat penanganan kasus sekaligus memastikan bahwa penyidik memiliki kompetensi khusus dalam bidang tersebut. Putusan MK Nomor 102/PUU-XV/2018 menegaskan bahwa kewenangan OJK diperlukan untuk membangun sektor keuangan yang stabil dan melindungi kepentingan konsumen.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan:
โโฆKewenangan OJK yang diberikan undang-undang tidak dapat dilepaskan dari politik hukum untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabilโฆโ
Hal ini menunjukkan bahwa sistem penyidikan tidak bisa bersifat eksklusif untuk satu institusi saja, melainkan harus berbasis koordinasi lintas lembaga untuk menyesuaikan dengan kompleksitas kejahatan modern.
Reformasi Penyidikan Menuju Kepastian Hukum :
Dengan mempertimbangkan putusan MK dan praktik internasional, sistem multiparty penyidikan menjadi solusi untuk meningkatkan akuntabilitas dan efektivitas penegakan hukum. Model ini tidak hanya mencegah penyalahgunaan wewenang oleh satu institusi, tetapi juga memastikan adanya pengawasan berlapis.
Lebih lanjut, sistem ini memungkinkan:
Sinergi antar-lembaga, di mana masing-masing instansi memiliki peran yang jelas dalam proses penyidikan.
Peningkatan transparansi, karena penyidikan tidak hanya bergantung pada satu institusi, tetapi melibatkan berbagai lembaga yang saling mengawasi.
Kepastian hukum yang lebih baik, dengan mengacu pada prinsip checks and balances dalam proses penegakan hukum.
Dalam konteks ini, akademisi dan pakar hukum menyarankan agar RUU KUHAP mengakomodasi konsep multiparty penyidikan sesuai dengan putusan MK, bukan justru mengukuhkan sistem penyidikan tunggal yang telah dinyatakan inkonstitusional.
Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Eddy O.S. Hiariej, sistem peradilan pidana bekerja secara terintegrasi, di mana penyidikan, penuntutan, dan peradilan harus selaras untuk memastikan keadilan substantif. Oleh karena itu, kinerja satu institusi penyidik akan selalu berdampak pada efektivitas penegakan hukum secara keseluruhan.
Kesimpulan :
RUU KUHAP seharusnya mengadopsi pendekatan multiparty penyidikan sebagai bentuk reformasi hukum yang lebih demokratis, transparan, dan akuntabel. Putusan MK telah berulang kali menegaskan bahwa sistem penyidikan tunggal tidak memiliki dasar konstitusional.
Dengan mempertimbangkan perkembangan kejahatan modern yang semakin kompleks, sudah saatnya sistem penyidikan di Indonesia bertransformasi menjadi sistem multiparty penyidikan, yang memungkinkan koordinasi lintas lembaga guna mencapai keadilan hukum yang lebih baik. (Hukum online)
About The Author
Eksplorasi konten lain dari ๐๐๐๐๐๐๐๐๐.๐๐๐
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.