Pekanbaru โ Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Riau (LHP BPK Nomor 17A/LHP/XVIII.PEK/05/2024, halaman 1-27) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Kepulauan Meranti Tahun Anggaran 2023 mengungkap dugaan indikasi kerugian negara ratusan miliar.(26/02)
BPK memberikan opini Disclaimer atau Tidak Menyatakan Pendapat, yang menunjukkan adanya permasalahan serius dalam tata kelola keuangan daerah. Berbagai penyimpangan ditemukan dalam laporan keuangan, termasuk dugaan SPJ fiktif, kelebihan pembayaran proyek, penggunaan dana tidak sesuai peruntukan, serta ketidaksesuaian realisasi anggaran dengan bukti pertanggungjawaban.
Dengan jumlah indikasi kerugian yang fantastis, muncul pertanyaan: Siapa yang bertanggung jawab? Apakah Sekda sebagai koordinator Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), atau ada pihak lain yang lebih berperan?
Dugaan Indikasi Kerugian Negara Rp129,5 Miliar: Sektor Mana yang Bermasalah?
Berdasarkan temuan BPK, indikasi kerugian negara terjadi di berbagai sektor, dengan rincian sebagai berikut:
1.Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk (Dinsos P3AP2KB)
Penyalahgunaan Dana BTT: Dari total realisasi Belanja Tidak Terduga (BTT) sebesar Rp644.785.200,00, hanya Rp341.005.200,00 yang digunakan untuk penanganan banjir. Sisanya sebesar Rp303.780.000,00 dialokasikan untuk kegiatan yang tidak relevan, antara lain:
Pembagian beras untuk buruh kasar: Rp91.000.000
Bantuan ke Pesantren B Sungai Tohor Barat: Rp39.780.000
Minyak goreng Safari Ramadhan: Rp48.000.000
Dana dengan penggunaan tidak diketahui: Rp125.000.000
Dugaan SPJ Fiktif: Indikasi kuat adanya Surat Pertanggungjawaban (SPJ) fiktif, di mana penyedia barang (ES) mengaku tidak pernah mengerjakan proyek tersebut.
2.Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR)
Kekurangan Volume Pekerjaan dan Kelebihan Pembayaran: Kekurangan volume pekerjaan pada 18 paket proyek menyebabkan kelebihan pembayaran sebesar Rp81.635.530,37.
Ketidaktransparanan Realisasi Anggaran:
Anggaran ditetapkan sebesar Rp416.624.338.892,00, sementara realisasi hanya Rp377.920.490.812,65.
Terdapat selisih tidak jelas sebesar Rp42.058.853.362,64, yang menimbulkan pertanyaan besar terkait penggunaannya.
3.Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo)
Dana Tidak Dipertanggungjawabkan: Sisa Uang Yang Harus Dipertanggungjawabkan (UYHD) sebesar Rp64.590.057,00 tidak memiliki bukti pertanggungjawaban, memunculkan dugaan penyimpangan.
4.Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) dan OPD Lainnya
Utang Belanja Tidak Jelas Statusnya: Dana sebesar Rp26.122.309.973,96 digunakan untuk membayar utang belanja yang penyelesaiannya tidak jelas.
Dana Mengendap dan Tidak Sesuai Peruntukan:
Dana yang tidak terpakai dan digunakan tidak sesuai peruntukan mencapai Rp31.110.948.129.
Ketidaksesuaian realisasi anggaran dengan bukti pertanggungjawaban di berbagai jenis belanja, termasuk belanja operasional, modal, bansos, dan perjalanan dinas.
Pengadaan bibit kopi tanpa hubungan kontraktual dengan Pemda: Rp2.102.761.900,00.
Penggunaan Dana Alokasi Umum (DAU) yang tidak sesuai petunjuk teknis.
Pengelolaan Pajak Reklame dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) tidak sesuai ketentuan.
Pemanfaatan aset tanah oleh pihak ketiga tanpa perjanjian tertulis yang jelas.
Realisasi bantuan sosial dan penanggulangan bencana banjir yang tidak sesuai peruntukan.
Sekda, Pj Bupati, atau OPD: Siapa Bertanggung Jawab?
Dalam sistem pengelolaan keuangan daerah, beberapa pihak memiliki tanggung jawab utama, yaitu:
- Pj Bupati โ Pemegang kendali penuh atas kebijakan anggaran.
-
Sekda โ Bertindak sebagai koordinator Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).
-
Kepala BPKAD โ Bertugas menyusun laporan keuangan daerah.
-
OPD (Organisasi Perangkat Daerah) โ Mengelola anggaran masing-masing dinas.
-
DPRD โ Memiliki fungsi pengawasan dan persetujuan terhadap kebijakan anggaran.
Seorang sumber yang tak ingin disebut namanya di lingkungan pemerintahan provinsi Riau menyatakan,
“Sekda memang bertanggung jawab dalam koordinasi, BPKAD menyusun Dokumen Laporan Keuangan, tetapi jika ada penyimpangan dalam realisasi anggaran, maka kepala OPD terkait yang harus bertanggung jawab. Jika kebijakan anggaran yang bermasalah, maka Pj Bupati juga tidak bisa lepas tangan.” Ungkapnya
Pelanggaran terhadap Peraturan Perundang-Undangan
Temuan dalam LHP BPK juga berpotensi melanggar beberapa aturan berikut:
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara โ Mengatur prinsip pengelolaan keuangan daerah yang harus transparan dan akuntabel.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara โ Mengatur kewajiban pemerintah daerah dalam menggunakan anggaran sesuai ketentuan.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara โ Setiap rekomendasi BPK wajib ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dalam waktu 60 hari.
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah โ Menegaskan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan kepatuhan dalam pengelolaan APBD.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan โ Mengatur tindakan pejabat yang menyimpang dari ketentuan hukum dan kode etik pemerintahan.
Potensi Pelanggaran Hukum dan Tindak Pidana Korupsi
Jika dugaan penyimpangan keuangan ini terbukti memiliki unsur kesengajaan atau merugikan keuangan negara, maka dapat masuk ke ranah tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Potensi pasal yang bisa dikenakan meliputi:
Pasal 2 Ayat (1) โ Korupsi yang merugikan keuangan negara dengan ancaman pidana minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup.
Pasal 3 โ Penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dengan ancaman pidana minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun.
Akankah Ada Langkah Hukum?
Dengan indikasi ,dugaan kerugian negara sebesar Rp129,5 miliar, laporan BPK ini berpotensi ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Jika ditemukan unsur pidana, kasus ini dapat masuk dalam penyelidikan Kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sejauh ini, belum ada langkah konkret dari Pemda atau DPRD untuk menindaklanjuti temuan ini. Jika dibiarkan tanpa tindakan, bukan hanya kepercayaan publik yang akan runtuh, tetapi juga potensi sanksi dari pemerintah pusat terhadap daerah ini.
Hingga berita ditayangkan, Sekda Meranti, Bambang, Kepala BPKAD Irmansyah dan beberapa Kepala OPD di Meranti masih tetap bungkam walaupun telah dihubungi oleh awak media untuk meminta konfirmasi.
Berita disusun dengan tetap mengedepankan azaz praduga tak bersalah.
About The Author
Eksplorasi konten lain dari ๐๐๐๐๐๐๐๐๐.๐๐๐
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.