Kepulauan Meranti โ Di saat pemerintah Indonesia menggelontorkan ratusan miliar rupiah untuk program rehabilitasi mangrove guna melindungi ekosistem pesisir, aksi penebangan liar justru menghancurkan hutan bakau di Desa Maini Darul Aman, Kecamatan Tebing Tinggi Barat, Kepulauan Meranti. Diduga, aksi ini dikendalikan oleh seorang oknum mantan anggota DPRD Kepulauan Meranti berinisial TRT, yang memanfaatkan pengaruhnya demi kepentingan bisnis arang bakau. (24/03/2025)

Informasi ini mencuat setelah salah satu pemilik Surat Keputusan (SK) lahan mangrove menerima laporan dari masyarakat. Warga mengaku melihat sejumlah alat berat beroperasi di lokasi yang seharusnya menjadi kawasan konservasi. Hutan bakau yang sebelumnya hijau dan rimbun, kini berubah menjadi lahan gundul.
Lahan mangrove ini memiliki legalitas yang jelas. Berdasarkan SK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebanyak 75 anggota kelompok tani telah diberikan hak kelola atas lahan tersebut. Bahkan, dalam Surat Nomor: 02/KTH-TMB/VIII/2018 tanggal 1 Agustus 2018, Ketua Kelompok Tani Hutan Tanjung Mangrove Bersatu mengajukan izin pemanfaatan seluas 2.317 hektare.
Namun, setelah proses verifikasi, hanya 362 hektare yang disetujui sebagai kawasan hutan produksi terbatas. Dalam Berita Acara Verifikasi Teknis Nomor: BA.75/X-1/BPSKL-2/PSL.0/2/2020, sebanyak 1.954 hektare dicoret karena tumpang tindih dengan Areal Penggunaan Lain (APL).
Meski memiliki dasar hukum, kenyataan di lapangan berbeda. Hutan mangrove yang seharusnya dijaga justru dirusak untuk dijadikan bahan baku produksi arang. Warga menduga ini bukan sekadar aksi ilegal biasa, melainkan bagian dari jaringan mafia kayu bakau yang terorganisir.
Seorang warga yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa penebangan ini dilakukan secara terstruktur dan sistematis.
โKami curiga ada backing kuat di belakangnya. Sebab, setiap kali warga mencoba menghentikan, mereka mendapat ancaman,โ ujarnya.
Nama mantan anggota DPRD Kepulauan Meranti berinisial TRT pun mencuat. Ia disebut-sebut sebagai aktor utama di balik perusakan hutan mangrove ini. Diduga, kayu bakau hasil penebangan ilegal ini diolah menjadi arang dan dikirim ke luar daerah, termasuk untuk kebutuhan ekspor.
Tindakan ini menjadi ironi besar. Di saat Presiden Joko Widodo menggalakkan program rehabilitasi mangrove sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim, justru di Kepulauan Meranti terjadi penghancuran ekosistem yang seharusnya dilindungi.
Pemerintah telah mengalokasikan anggaran ratusan miliar rupiah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 untuk rehabilitasi mangrove. Program ini bertujuan mencegah abrasi, meningkatkan ketahanan lingkungan, dan mendukung ekosistem perikanan.
Namun, aksi penebangan liar seperti ini justru berpotensi menggagalkan upaya tersebut. Kerusakan mangrove tidak hanya menyebabkan abrasi, tetapi juga mengancam habitat biota laut dan sumber penghidupan nelayan setempat.
Pasal 50 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang melarang kegiatan perambahan dan perusakan hutan tanpa izin. Pelanggar dapat dikenai hukuman pidana hingga 10 tahun penjara dan denda Rp5 miliar.
Pasal 69 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang melarang perusakan ekosistem mangrove.
Pasal 78 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, yang mengatur bahwa penebangan liar di kawasan hutan produksi terbatas dapat dikenai sanksi pidana dan administratif.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengatur kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Pemanfaatan Hutan, yang mewajibkan izin resmi dalam pemanfaatan kawasan hutan.
Jika terbukti bersalah, para pelaku dapat dijerat dengan hukuman penjara dan denda miliaran rupiah.
Aktivis lingkungan dan masyarakat mendesak aparat penegak hukum untuk bertindak cepat dan tegas.
โKami menuntut kepolisian dan KLHK untuk turun tangan segera. Jika benar ada oknum mantan DPRD yang terlibat, ia harus diproses secara hukum tanpa pandang bulu,โ tegas seorang aktivis lingkungan.
Kasus ini menjadi ujian bagi aparat penegak hukum dan pemerintah daerah. Apakah mereka berani menindak para perusak lingkungan, atau justru membiarkan mafia kayu dan arang terus beroperasi? Warga menunggu tindakan nyata sebelum hutan mangrove benar-benar lenyap dari Kepulauan Meranti.
Hingga berita di terbitkan, dikonfirmasi ke oknum DPRD inisial Trt belum merespon awak media, berita akan diperbarui seiring dengan perkembangan informasi terkini.