Pekanbaru, 24 April 2025 โ Kesedihan mendalam disampaikan kepada awak media oleh seorang wanita bernama Siti Fatimah, seorang guru sekolah dasar yang telah puluhan tahun mengabdi mencerdaskan anak-anak bangsa di Kota Pekanbaru. Siti Fatimah, yang berdarah Ambon, dikenal sebagai salah satu keturunan Ambon pertama yang hidup dan membaur secara baik dalam masyarakat di “Kota Bertuah”. Namun kini, ia merasa diperlakukan tidak adil oleh sistem hukum, menyusul putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru pada 20 Agustus 2022 yang menjatuhkan vonis pidana kepadanya.
Siti Fatimah adalah ahli waris dari almarhum Hasan Rehalat (ayah) yang dilaporkan oleh Alek Sidik, seorang warga keturunan Tionghoa, ke Polresta Pekanbaru dan Polda Riau dengan nomor laporan: LP/237/V/2017/SPKT/RIAU.
Ia dituduh melakukan perusakan lahan seluas 4.827 mยฒ dan pemalsuan dokumen, hingga akhirnya Pengadilan Negeri Pekanbaru memvonisnya 6 bulan penjara untuk perkara perusakan dan 6 bulan untuk pemalsuan dokumen. Siti Fatimah menjalani masa tahanan di Lapas Perempuan Kelas IIA Pekanbaru, dan dibebaskan pada 5 Juli 2023.
Kepada awak media, Siti Fatimah menjelaskan secara runtut kronologi yang menimpanya. Semua bermula dari konflik antara orang tuanya,Hasan Rehalat dan Rabea Seipala, dengan Siti Fauzah mengenai kepemilikan tanah seluas 20.240 mยฒ di Jalan Sudirman – Arifin Ahmad, Kelurahan Simpang Tiga, Kecamatan Bukit Raya (sekarang Marpoyan Damai).
Dalam perkara ini, Hasan Rehalat telah dinyatakan sebagai pemilik sah berdasarkan putusan PK Nomor 560/PK/PDT/2001, dengan sertifikat SHM Nomor 177 Tahun 1991.
Sebagian dari lahan tersebut, yakni 15.413 mยฒ, telah dijual kepada Anton Basara (SHM 205), pemilik Pondok Gurih, dan Rudi Leo (SHM 206), pemilik Toko Emas Gemar. Sisa lahan 4.827 mยฒ inilah yang menjadi pokok sengketa lanjutan, karena kemudian dikuasai oleh pihak lain yang belakangan diketahui bernama Alek Sidik. Di atas tanah itu telah dibangun pembibitan sawit dan kolam ikan.
Merasa haknya dilanggar, ahli waris Hasan Rehalat mengajukan permohonan ke BPN Kota Pekanbaru untuk mendapatkan salinan sertifikat asli. Setelah perjuangan yang panjang, melalui bantuan seorang pegawai BPN bernama Pak Nasep, sertifikat akhirnya diserahkan kepada ahli waris.
Melalui kuasa hukum Syahrial Sagala, SH, mereka lalu mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Pekanbaru. Pada 23 Mei 2017, eksekusi terhadap lahan 4.827 mยฒ tersebut dilakukan oleh PN Pekanbaru dan dihadiri langsung oleh para pihak terkait, termasuk Siti Fatimah, Siti Fauzah, dan Alek Sidik.
Namun, meski pengadilan telah mengeksekusi dan memenangkan ahli waris, Alek Sidik tetap melakukan perlawanan hukum. Ia menggugat ke PTUN Pekanbaru, lalu ke PTUN Medan, dan kalah di kedua tingkatan peradilan.
Kekalahan di ranah perdata tidak membuatnya berhenti. Pada tahun 2018, Alek Sidik justru melaporkan Siti Fatimah dan ibunya secara pidana atas dugaan perusakan dan pemalsuan dokumen.
Pihak Polresta dan Polda Riau menindaklanjuti laporan itu. Meski pada awalnya hanya sebatas pemanggilan dan belum ada penahanan, proses hukum tetap bergulir. Hingga akhirnya pada tahun 2019, perkara masuk ke Pengadilan Negeri Pekanbaru dan memvonis Siti Fatimah dan Rabea Saipala bersalah.
Upaya banding ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru kandas, dan Kasasi ke Mahkamah Agung juga ditolak. Putusan MA Nomor 387/K/Pid/2020 pada 28 Juli 2020 menguatkan vonis sebelumnya. Siti Fatimah pun harus menjalani hukuman pidana selama 12 bulan.
Siti Fatimah mengaku sangat terpukul. Ia menduga kuat telah menjadi korban kriminalisasi oleh pihak-pihak yang punya kekuatan dan jaringan. Ada dugaan keterlibatan oknum mafia hukum dan mafia peradilan dalam proses ini.
Ia mempertanyakan, bagaimana mungkin Alek Sidik bisa memiliki sertifikat tanah yang baru diterbitkan tahun 1996, sementara tanah tersebut sudah bersertifikat SHM 177 sejak 1991 dan telah dimenangkan secara hukum oleh keluarganya?
“Saya merasa dizalimi. Saya, ibu saya, kami hanya mempertahankan tanah warisan yang sah. Tapi justru kami yang dipenjara. Bagaimana mungkin seseorang yang kalah di ranah perdata bisa menyeret kami ke ranah pidana dan malah menang?” tutur Siti Fatimah dengan suara bergetar menahan tangis.
Kini, Alek Sidik masih terus menggugat, bahkan menyeret kembali Siti Fatimah dan BPN ke pengadilan, menjadikan vonis pidana sebagai novum atau bukti baru. Padahal, putusan kasasi atas perkara perdata dengan nomor 1039 PK/PDT/2022 telah menegaskan kepemilikan sah berada di tangan Siti Fatimah dan keluarga almarhum Hasan Rehalat.
Melalui pemberitaan ini, Siti Fatimah memohon perlindungan dan bantuan kepada Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, agar turun tangan membongkar dugaan permainan mafia tanah di Riau, khususnya kasus yang menimpanya. Ia juga berharap masyarakat luas dan aktivis hukum ikut mengawal perkara ini.
“Tolong saya, Pak Presiden. Tolong saya, Bapak Menteri ATR/BPN. Saya seorang guru, saya tidak punya kekuatan. Saya hanya ingin keadilan, karena saya merasa sudah dikriminalisasi oleh seseorang yang saya duga kuat adalah mafia tanah. Saya mohon kasus ini diawasi dari pusat. Jangan biarkan rakyat kecil terus dikorbankan oleh para pemilik kuasa dan uang.”lirihnya
Di tengah sorotan publik terhadap Mahkamah Agung akibat kasus suap dan etik yang melibatkan sejumlah hakim agung, kisah seorang guru yang justru dihukum karena mempertahankan tanah warisan yang sah menurut hukum adalah potret nyata hukum terbalik di negeri ini.
Saat kepercayaan publik pada lembaga peradilan berada di titik nadir, kisah Siti Fatimah memperkuat bukti bahwa ada yang salah dalam sistem hukum kita. Ia bukan koruptor, bukan mafia, bukan penjahat. Ia hanya seorang guru yang mempertahankan hak atas tanah keluarganya, namun justru dikriminalisasi dan dipenjara. Di mana keadilan?
Hingga berita ditayangkan Redaksi masih menghimpun keterangan serta konfirmasi dari pihak pihak terkait, berita akan diperbarui seiring perkembangan kasus.
Bersambung..