Scroll untuk baca artikel
Example 816x612
Example floating
Example floating
Example 728x250 Example 728x250
Berita ViralHukumOpini PublikPemerintah

Paradoks Rangkap Jabatan di Pemprov Riau: Cermin Retak Reformasi Birokrasi

869
×

Paradoks Rangkap Jabatan di Pemprov Riau: Cermin Retak Reformasi Birokrasi

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ade Monchai

Mataxpost | PEKANBARU – Di tengah retorika reformasi birokrasi dan penguatan sistem merit yang terus bergemuruh dari pusat, terdapat kenyataan pahit di Pemprov Riau. Di bawah kepemimpinan Abdul Wahid – Sf Haryanto praktik rangkap jabatan pejabat eselon II kini telah menjadi pemandangan sehari-hari. Alih-alih mewujudkan birokrasi yang bersih dan profesional, kondisi ini justru memperlihatkan bahwa jabatan publik telah berubah menjadi alat konsolidasi kekuasaan. (20/04)

Data yang dihimpun mengungkap bahwa setidaknya sepuluh pejabat eselon II aktif merangkap dua posisi strategis sekaligusβ€”satu sebagai kepala dinas definitif dan satu lagi sebagai pelaksana tugas (Plt) atau pejabat sementara (Pj) di dinas lain. Bahkan, beberapa pejabat yang mengemban rangkap jabatan ini dihadapkan pada tugas dengan beban kerja dan anggaran yang besar, sementara pada saat yang sama harus mengelola dinas lain yang tak kalah kompleks.

MataXpost.com
Example 670x550
Tiada Kebenaran Yang Mendua

Rangkap Jabatan Bukan Solusi, Tapi Sumber Masalah

Pemerintah mungkin berargumen bahwa penunjukan Plt dilakukan untuk mengisi kekosongan jabatan yang mendesak. Namun, kenyataannya, jika satu orang harus mengisi dua posisi strategis secara terus-menerus, itu bukanlah solusi darurat melainkan gejala dari sistem yang terjebak dalam praktik-praktik lama dan penuh risiko. Dengan membiarkan pejabat terpilih menjalankan rangkap jabatan selama berkepanjangan, sistem tata kelola birokrasi tersandung pada pelanggaran aturan dasar yang seharusnya melindungi prinsip pelayanan publik.

Landasan Hukum yang Dilanggar

Lebih dari sekadar soal administratif, praktik rangkap jabatan ini juga menyalahi sejumlah aturan perundang-undangan. Berikut adalah dasar hukum yang seharusnya dijadikan pegangan dalam pengisian jabatan:

1.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)

Pasal 69: Setiap PNS wajib menaati asas netralitas, profesionalisme, dan kompetensi.

Pasal 73 ayat (1): Pejabat Pembina Kepegawaian wajib menempatkan PNS sesuai dengan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan jabatan.

2.Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 jo. PP Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS

Pasal 117 ayat (1): Pengangkatan dalam jabatan pimpinan tinggi harus melalui seleksi terbuka dan kompetitif.

Pasal 119 ayat (2): Pejabat pimpinan tinggi tidak boleh diisi secara terus-menerus oleh pelaksana tugas tanpa proses seleksi yang sah.

Pasal 133 ayat (2): Penunjukan pelaksana tugas (Plt) hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu maksimal 3 bulan, dengan perpanjangan sekali selama 3 bulan, dan harus bersifat sementara.

3.Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Pasal 10 ayat (1): Pejabat pemerintahan harus memiliki kompetensi sesuai bidang tugasnya dalam mengambil keputusan.

Pasal 17: Pejabat dilarang menyalahgunakan wewenang, baik dengan melampaui batas, mencampuradukkan, atau bertindak sewenang-wenang.

4.Peraturan Menteri PANRB Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Secara Terbuka dan Kompetitif

Menegaskan bahwa pengisian jabatan pimpinan tinggi harus didasarkan pada prinsip keterbukaan, kompetisi, dan kompetensi.

5.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Pasal 213 ayat (2) dan Pasal 216 huruf a: Kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) wajib menegakkan aturan dan norma hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan.

“KASN menilai pengangkatan pejabat pimpinan tinggi (JPT) yang merangkap sebagai pelaksana tugas (Plt) di jabatan lain bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Hal ini dapat berdampak pada efektivitas kerja, akuntabilitas, serta netralitas ASN. Oleh karena itu, KASN merekomendasikan agar Pemprov Riau segera mengisi jabatan-jabatan kosong melalui mekanisme seleksi terbuka dan menghentikan penunjukan rangkap jabatan Plt oleh pejabat definitif yang sudah menjabat JPT di instansi lain.”

Lebih jauh lagi, praktik rangkap jabatan yang dibawah Gubernur Riau tidak hanya mengabaikan aturan di atas, tapi juga mencederai semangat Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, yang menjamin kesetaraan kesempatan bagi seluruh warga dalam pemerintahan.Ketika satu orang menduduki dua jabatan strategis,

“Rangkap jabatan di tengah kekosongan struktural dan minimnya seleksi terbuka mencederai prinsip meritokrasi dan menggerus kepercayaan publik terhadap birokrasi yang adil.”

Jangan Letakkan ASN di Jabatan yang Bukan Bidangnya

Lebih dari sekadar praktik rangkap, publik kini mencemaskan penempatan ASN di posisi yang jauh dari kompetensinya. Umpamaan, bagaimana mungkin seorang pejabat dengan latar belakang pertanian, humas atau Informasi harus memimpin dinas teknis seperti pembangunan atau kesehatan, atau pendidikan dan sebaliknya? Penempatan semacam ini bukan hanya mengabaikan prinsip penempatan PNS yang tepat sesuai keahlian, tetapi juga menempatkan kebijakan publik dalam risiko besar dimana keputusan yang diambil nanti akan bergantung pada interpretasi subyektif dan potensi manipulasi dan mencerminkan pemerintahan yang tidak sehat

Ini merupakan bentuk pengabaian terhadap ribuan ASN yang telah mengasah kompetensinya. Jika yang layak dan berintegritas dipinggirkan, maka semangat profesionalisme akan terkikis, dan reformasi birokrasi yang dijanjikan akan berubah menjadi mimpi buruk.

Konflik Kepentingan meresahkan birokrasi

Mengelola dua dinas sekaligus membuka peluang konflik kepentingan yang nyata. Seseorang dengan akses ganda terhadap anggaran dan proyek akan sulit dipisahkan antara kepentingan satu dinas dengan dinas lain. Bila tidak ada pengawasan yang ketat, maka potensi penyimpangan dan manipulasi semakin menganga sebuah lubang Korupsi yang nantinya bisa menelan kepercayaan publik sekaligus menghambat pelayanan kepada masyarakat.

Beberapa Pejabat Rangkap Jabatan:

1.Erisman Yahya – Kadispora, merangkap Plt Kadisdik Riau

2.Syahrial Abdi – Kadisbun, merangkap Plt Sekretaris DPRD

3.Roni Rakhmat – Kadispar, merangkap Plt Kadisbud

4.Helmi – Kabiro Pembangunan, merangkap Plt Kabiro Perekonomian

5.M. Job Kurniawan menjabat sebagai Asisten II Setdaprov Riau dan dipercaya sebagai Plt. Kepala Dinas Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura (DPTPH) Riau.

6.Dianto Mampanini – Fungsional BPSDM, merangkap Plt Kepala BPSDM

7.Daslina – Fungsional DPKH, merangkap Plt Kepala DPKH

8.Zulkifli Syukur – Asisten I, merangkap Plt Kepala BKD

9.Plt Kepala Dinas ESDM Riau: Sakinah

10.Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau: Alwamen

Pengamat politik Rocky Gerung mengkritik praktik rangkap jabatan di pemerintahan, menyebutnya “sebagai bentuk konsolidasi kekuasaan yang merugikan prinsip demokrasi dan meritokrasi”,.(Sumber: kaltimtuntas.id)

Publik menunggu dalam ruang ketidakpatian atas keberanian Gubernur Abdul Wahid untuk mengakhiri praktik rangkap jabatan ini. Langkah awal yang mendesak adalah melakukan seleksi terbuka untuk mengisi jabatan strategis dan memastikan bahwa setiap posisi diisi oleh ASN yang benar-benar kompeten dalam bidangnya. Keterlibatan lembaga pengawas seperti KASN, Ombudsman, sangat diperlukan untuk memastikan tidak ada pelanggaran administratif dan penyalahgunaan wewenang yang terjadi.

Paradoks yang terjadi di Pemprov Riau ini bukanlah masalah kecil. Ini adalah cermin retak dari tata kelola yang seharusnya menjadi fondasi pelayanan publik. Jika reformasi birokrasi ingin terwujud, maka integritas dan prinsip merit harus ditegakkanβ€”tanpa kompromi terhadap kepentingan politik atau jaringan kekuasaan.

Seharusnya yang terbaik adalah meangkat pejabat di bawah satu tingkat dalam dinas tersebut untuk mengisi jabatan Plt jika memenuhi syarat, dengan catatan bahwa mereka memiliki kualifikasi yang diperlukan dan siap menjalankan tugas tersebut dengan efektif. Hal ini juga akan memberi kesempatan bagi pejabat yang lebih junior untuk berkembang dan memimpin, serta memastikan agar tugas pemerintahan berjalan lancar tanpa ada yang terabaikan.

Dengan landasan hukum yang jelas dan penempatan ASN yang tepat sesuai kompetensinya, sudah saatnya membawa perubahan nyata bagi pemerintahan Riau. Kita menantikan aksi konkrit, bukan hanya janji kosong.

Bagaimana mungkin Gubernur Abdul Wahid mampu mengelola keuangan Provinsi Riau secara efektif dan mengembangkan daerah ini, jika di dalam pemerintahannya sendiri justru terjadi ketidaksesuaian, ketidakadilan, dan pembiaran terhadap rusaknya sistem birokrasi?

Jika reformasi birokrasi benar-benar diusung, langkah pertama adalah mengembalikan kepercayaan publik dengan menegakkan aturan dan menghentikan praktik rangkap jabatan yang hanya akan terus menodai martabat birokrasi, perbaikan daerah tidak mungkin lahir dari fondasi birokrasi yang timpang dan diskriminatif.

Catatan Redaksi:

Tulisan ini merupakan opini redaksi yang disusun berdasarkan hasil pengamatan, data publik, serta regulasi resmi yang berlaku. Setiap kritik yang disampaikan bertujuan untuk mendorong perbaikan tata kelola pemerintahan di Provinsi Riau demi kepentingan publik. Redaksi membuka ruang hak jawab bagi pihak-pihak yang merasa keberatan, sebagaimana diatur dalam UU Pers dan prinsip-prinsip jurnalisme yang bertanggung jawab.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 468x60