Mataxpost | PEKANBARU โ Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kerap menjadi kebanggaan para pejabat daerah. Opini ini dianggap sebagai simbol keberhasilan pengelolaan keuangan. Tak sedikit kepala daerah menjadikannya alat promosi politik, seolah WTP adalah bukti bersih dari korupsi. (10/04)
Padahal, WTP bukan jaminan tidak adanya penyelewengan anggaran. Beberapa kasus besar menunjukkan, entitas yang memperoleh WTP justru terlibat korupsi. Kementerian Agama pernah mendapat WTP, tapi pejabatnya ditangkap KPK. Gubernur Sumatera Utara juga pernah memamerkan WTP, namun akhirnya dijerat kasus suap. Fenomena ini terjadi di berbagai wilayah.
Kondisi ini memunculkan kecurigaan publik bahwa opini WTP bisa dibeli atau dimanipulasi. Kecurigaan itu diperparah oleh minimnya penjelasan kepada masyarakat mengenai arti sebenarnya dari opini BPK. Banyak yang menyangka WTP berarti bersih dari korupsi. Jika kemudian muncul kasus korupsi, masyarakat menganggap BPK telah salah atau kecolongan. Padahal, secara metodologi audit, anggapan itu keliru.
BPK setiap tahun memeriksa laporan keuangan pemerintah untuk menilai apakah laporan tersebut wajar atau tidak. WTP berarti laporan disusun sesuai standar akuntansi pemerintahan, tanpa salah saji yang material. Tidak berarti tidak ada korupsi.
Ada empat jenis opini dalam audit BPK:
- WTP (wajar tanpa pengecualian)
-
WDP (wajar dengan pengecualian)
-
TW (tidak wajar)
-
TMP (tidak memberikan pendapat)
Opini tersebut ditentukan dari seberapa besar kesesuaian laporan keuangan dengan standar, dan seberapa besar temuan salah saji yang memengaruhi keseluruhan laporan.
Yang perlu dipahami, audit BPK tidak mungkin memeriksa seluruh transaksi secara menyeluruh. Audit dilakukan dengan metode sampling (uji petik), karena keterbatasan waktu dan biaya. Maka sangat mungkin ada transaksi korupsi yang luput dari pemeriksaan, terutama jika didukung rekayasa dokumen dan manipulasi sistematis.
Situasi ini makin sulit karena lingkungan birokrasi Indonesia masih penuh praktik koruptif dan kolutif. Auditor bekerja dengan data yang mereka terima di lapangan, dan jika data tersebut sudah dimanipulasi, maka hasil audit juga berisiko tidak menggambarkan kondisi sesungguhnya.
Oleh karena itu, opini WTP bukan jaminan tidak ada korupsi. Jika tujuannya adalah membongkar kejahatan anggaran, maka yang dibutuhkan adalah audit investigatif โ bukan audit laporan keuangan biasa.
Masyarakat perlu melek informasi. Opini WTP hanya menyatakan bahwa laporan keuangan pemerintah โtampak wajarโ secara akuntansi. Bukan berarti penggunaan anggarannya benar. Bukan berarti tak ada penyimpangan. Dan bukan berarti aparatnya bersih.
Pejabat publik seharusnya tidak berlindung di balik WTP untuk menutupi kegagalan atau menyanggah kritik. Karena pada akhirnya, publik menilai dari fakta: apakah uang negara digunakan untuk rakyat, atau justru dikuasai segelintir orang yang pandai menyusun laporan.
Disusun oleh Tim Investigasi X Post.
About The Author
Eksplorasi konten lain dari ๐๐๐๐๐๐๐๐๐.๐๐๐
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.