Dumai, 8 Mei 2025 β Penetapan Inong Fitriani (57), seorang ibu rumah tangga, sebagai tersangka dugaan pemalsuan surat tanah oleh Polres Dumai, menuai sorotan tajam publik. Kasus ini dinilai mencerminkan potret buram penegakan hukum dalam sengketa agraria.
Tanah seluas 1.200 meter persegi yang dipermasalahkan ini telah dikuasai keluarga Inong sejak 1961. Mereka memiliki dokumen warisan dan bukti pembayaran pajak sebagai tanda kepemilikan dan penguasaan. Namun, pada 2024, seorang pengusaha lokal tiba-tiba mengklaim tanah tersebut bermodal sertifikat hak milik terbitan tahun 2000.
βKami ini bukan pendatang. Kami sudah puluhan tahun di tanah ini. Kami bayar pajak, kami sewakan, kami rawat. Lalu tiba-tiba ada orang datang dengan sertifikat baru. Kami tanya: kapan kami menjual? Siapa yang menjual? Tidak ada yang bisa jawab,β tegas Rahmad, anak kandung Inong.
Penetapan Tersangka Dinilai Prematur Pakar hukum agraria Universitas Riau, Dr. Herman Siregar, SH, MH, menilai langkah penetapan tersangka dalam kasus ini prematur dan berpotensi menyalahi prinsip keadilan.
βIni bukan kasus pemalsuan yang bisa langsung dipidanakan. Ini konflik kepemilikan yang harus diuji dulu lewat jalur perdata. Kalau polisi langsung menetapkan tersangka, itu artinya memvonis sepihak tanpa pengadilan,β tegas Dr. Herman
Ia menambahkan, penegakan hukum tidak boleh terjebak pada kekuatan modal atau akses pelapor. βJangan sampai hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Polisi harus independen, objektif, dan mendalami riwayat tanah ini secara menyeluruh,β katanya.
Harapan Keadilan Keluarga Inong kini menggantungkan harapan kepada Kejaksaan Negeri Dumai untuk meninjau kembali kasus ini. Mereka menolak disebut sebagai pemalsu atas tanah yang telah mereka rawat selama lebih dari 60 tahun.
βKami hanya mempertahankan hak kami. Kami bukan penjahat. Kalau hukum tidak bisa melindungi rakyat kecil, maka hukum itu gagal menunaikan tugasnya,β tandas Rahmad.
Seruan Perbaikan Sistemik Kasus ini membuka mata tentang perlunya reformasi penanganan sengketa tanah. Pakar menyerukan:
Sengketa kepemilikan tanah harus diuji keabsahannya di pengadilan perdata sebelum berlanjut ke ranah pidana.
Aparat penegak hukum wajib melibatkan ahli agraria dan mendalami sejarah kepemilikan.
Proses hukum harus menjamin hak jawab dan transparansi, terutama bagi pihak yang secara ekonomi lebih lemah.
Hingga berita diturunkan awak media masih berusaha meminta konfirmasi kepada pihak polres dumai, berita akan segera diperbarui sesuai informasi terkini.
Eksplorasi konten lain dari ππππ π-π©π¨π¬π
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.