
Meranti — Pembalakan liar di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, makin tak terkendali. Terbaru, jaringan mafia kayu diduga merambah kawasan hutan konservasi Suaka Margasatwa Tasik Tanjung Padang di Desa Dedap, Kecamatan Tasik Putri Puyu. Parahnya lagi, aktivitas haram ini berlangsung secara terang-terangan dan nyaris tak tersentuh hukum.
Berdasarkan video dan informasi yang diterima redaksi, sindikat ini disebut-sebut dikendalikan oleh seorang pengusaha lokal bermarga Batubara, yang memiliki jaringan kuat hingga ke luar daerah. Sumber di lapangan menyebutkan, kelompok ini sangat terorganisir dan lihai dalam mengelabui aparat penegak hukum. Bahkan, jalur patroli pun diduga telah “diamankan” agar aktivitas pembalakan tetap berjalan mulus.
“Ini bukan pembalakan sembarangan. Mereka punya sistem. Ada pemantau gerak aparat, ada informan, bahkan ada dugaan backing dari oknum. Mereka kerja rapi, tapi merusak masa depan kami,” ujar salah seorang narasumber.
Kawasan Suaka Margasatwa Tasik Tanjung Padang merupakan hutan konservasi yang dilindungi negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Tindakan membalak di kawasan konservasi merupakan tindak pidana serius, sebagaimana diatur dalam:
Pasal 40 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1990: “Barang siapa dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta.”
Pasal 50 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999: “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembalakan liar dalam kawasan hutan tanpa izin.” Ancaman pidana sesuai Pasal 78 mencapai 15 tahun penjara dan denda hingga Rp 5 miliar.
APARAT DIDESAK BERTINDAK, JANGAN JADI PENONTON!
Masyarakat lokal dan aktivis lingkungan mendesak aparat penegak hukum, khususnya Polda Riau, BKSDA, dan Dinas Kehutanan Provinsi, untuk segera menindak tegas pelaku pembalakan liar, termasuk dalang utamanya. Jika perlu, Mabes Polri dan Kementerian LHK turun langsung mengusut sindikat ini sampai ke akar-akarnya.
“Kalau aparat cuma duduk di balik meja, sementara hutan digunduli siang malam, untuk apa gaji dan seragam itu dipakai? Ini bukan sekadar kejahatan lingkungan, tapi kejahatan terhadap negara dan generasi mendatang,” ujar Koordinator LSM Peduli Hijau Riau, Andika Nasution.
Desakan juga datang dari akademisi. Pengamat hukum lingkungan dari Dr. Irma Febrina, menegaskan bahwa kejahatan ini bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga bentuk pelanggaran terhadap Pasal 28H UUD 1945, yang menjamin hak warga negara untuk hidup dalam lingkungan yang baik dan sehat.
“Negara wajib hadir dan menindak tegas kejahatan lingkungan, apalagi yang terorganisir. Pembiaran sama saja dengan pengkhianatan terhadap konstitusi,” tegasnya.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi dari aparat penegak hukum maupun pihak pemerintah daerah. Redaksi masih berupaya menghubungi pihak terkait untuk konfirmasi dan klarifikasi.
Kami mengajak masyarakat untuk turut serta melaporkan jika menemukan aktivitas serupa di wilayahnya. Diam berarti membiarkan kehancuran berjalan. Saatnya hutan diselamatkan, bukan dijual kepada mafia berkedok pengusaha.
About The Author
Eksplorasi konten lain dari 𝐌𝐚𝐭𝐚-𝐗𝐩𝐨𝐬𝐭
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.