Jakarta β Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, institusi kejaksaan dijaga oleh pasukan bersenjata TNI. Di tengah gelombang ketidakpercayaan publik terhadap penegakan hukum dan merajalelanya korupsi di semua lini kekuasaan, pemerintah tampak mengirim sinyal tegas: perang terhadap korupsi bukan basa-basi. (17/05)
Langkah ini resmi dimulai sejak Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menerbitkan Surat Telegram Nomor TR/442/2025 yang memerintahkan pengerahan pasukan untuk mengamankan seluruh Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) se-Indonesia. Kejaksaan Agung menyebut pengamanan ini sebagai bentuk sinergi kelembagaan demi menjaga integritas institusi di tengah tekanan masif dari para koruptor.
“Ini bukan intervensi proses hukum. Ini perlindungan fisik terhadap institusi negara yang tengah menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi,” ujar Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil), Mayjen TNI M. Ali Ridho, dalam konferensi pers, dikutip dari Detik.com (12/5).
Menurut Jampidmil, tiap Kejati akan dijaga maksimal oleh 30 personel TNI dan Kejari oleh 10 personel. Namun, informasi yang beredar menyebut adanya keterlibatan satuan tempur aktif, termasuk dari infanteri dan kavaleri, yang jika ditotal mencapai kekuatan setara dua resimen.
Langkah ini menuai beragam reaksi. Mantan Menko Polhukam Mahfud MD memperingatkan bahwa kejaksaan bukan termasuk Objek Vital Nasional yang bisa dijaga militer sesuai Perpres No. 63 Tahun 2004. “Langkah ini harus dikaji ulang secara hukum agar tidak menjadi preseden yang salah dan merusak prinsip-prinsip demokrasi,” ujar Mahfud, dikutip dari Kompas.com (17/5).
Pakar militer dan politik Universitas Nasional, Selamat Ginting, menyebut pengerahan TNI ini sebagai bentuk awal dari perluasan peran militer dalam urusan sipil, dampak dari revisi Undang-Undang TNI yang disahkan Maret 2025. “Jika tidak ada pembatasan jelas, ini akan menjadi pintu masuk kembali militer dalam politik sipil,” tegasnya.
Pengamanan ini juga dibaca sebagai bentuk pengakuan tidak langsung bahwa kejaksaan kini berada dalam tekanan beratβbaik dari luar maupun dari dalam. Pembersihan besar-besaran di tubuh Kejaksaan Agung selama 2024 hingga awal 2025 telah menyeret sejumlah jaksa, kepala kejari, hingga oknum aparat yang diduga bermain dengan para mafia kasus.
Sejumlah pihak menyebutkan, kejaksaan agung dan kejaksaan didaerah lainya akan meungkap kasus kasus yang melibatkan para PensiunanΒ Jenderal , perwira tinggi yang melibatkan instansi TNI maupun POLRI
Dalam situasi yang rapuh, negara seolah tidak bisa lagi mempercayai mekanisme hukum biasa untuk melindungi institusi penegak hukum. Maka, pasukan bersenjata dikerahkan. Genderang perang suci terhadap korupsi pun ditabuh dari jantung militer.
Namun pertanyaan kritis tetap menggantung: apakah perang ini betul-betul melawan korupsi, atau justru jadi panggung baru untuk repolitisasi militer di ruang sipil?
Di tengah kelelahan publik menghadapi impunitas koruptor dan sinisme terhadap aparat penegak hukum, pengerahan TNI bisa menjadi momentum reformasi total jika dijalankan transparan, terbatas, dan akuntabel. Namun jika tidak, langkah ini bisa jadi awal dari kembalinya bayang-bayang otoritarianisme.