x

Sengketa Tanah Ulayat, Konsesi RAPP, dan Jeritan Rakyat yang Diabaikan Negara

waktu baca 4 menit
Rabu, 14 Mei 2025 19:10 10 Editor

Mataxpost| Pulau Padang, di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, kini tak lagi sunyi. Namanya menggema hingga ke Istana Negara saat warganya mengancam membakar diri sebagai bentuk protes. Di balik aksi nekat itu, tersimpan nestapa panjang: lahan hidup mereka diklaim sebagai konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) berdasarkan SK Menhut No. 327 Tahun 2009 yang diteken MS Kaban. Luasnya mencapai 41.205 hektare, hampir separuh dari Pulau Padang yang total hanya 1.109 km². Berikut perusahaan yang mendapatkan izin PT RAPP, PT SRL dan PT LUM (15/05)

“Periuk kami habis,” ujar Ahmad Solehan, warga Desa Lukit, tempat 70 persen lahan tani masyarakat disebut telah masuk dalam konsesi perusahaan.

“Rumah memang tak disentuh, tapi kebun karet tempat kami mencari makan, itulah yang mereka ambil. Prinsip kami: bertahan atau lenyap.” ucapnya

Tanah Ulayat yang Tergerus Atas Nama Izin Negara

Di Desa Kedabu Rapat, Kecamatan Rangsang Pesisir, tanah dikelola turun-temurun berdasarkan hukum adat Melayu. Namun negara tak pernah mengakui secara resmi keberadaan tanah ulayat ini. Justru izin HTI diberikan begitu mudah kepada korporasi.

Padahal, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 telah menegaskan: hutan adat bukan bagian dari hutan negara. Namun implementasinya nol besar di Pulau Padang.

Dokumen resmi Dinas Kehutanan Provinsi Riau mencatat konsesi seluas 41.205 ha, tetapi peta BPN menunjukkan lahan ulayat warga mencapai setengahnya. Di Desa Lukit (2.192 jiwa, 548 KK), lahan karet warga terpahat dalam kawasan perusahaan. Ketiadaan peta batas ulayat yang disahkan membuat perlawanan hukum warga selalu tersandung formalisme.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi I DPRD Meranti dengan Pemda Kepulauan Meranti, yang diunggah kedalam platform medsos tiktok Rabu 14/05/2025, suasana rapat terlihat memanas, salah satu anggota DPRD Meranti meradang saat menyampaikan aspirasi masyarakat terhadap sengketa lahan tersebut

“Sengketa lahan ini harus diselesaikan! Kalau DPRD saja tak didengar, bagaimana nasib masyarakat?”tegas Nolli Sugiharto, S.Psi (Anggota DPRD Meranti)

DPRD mencatat dari 26 butir konflik dengan RAPP, hanya 22 yang ‘selesai administratif’; empat sisanya termasuk Kedabu Rapat masih bergelayut tanpa titik temu. Pulau Padang adalah kawasan gambut dalam, bagian dari bentang alam penting yang wajib dilindungi. Namun aktivitas HTI yang mengeringkan lahan gambut memicu:

Kebakaran besar (2013–2014) yang melanda Sungai Tohor hingga Kedabu Rapat, Banjir saat musim hujan dan kekeringan ekstrem saat kemarau, Penurunan drastis produksi kelapa dan karet, tulang punggung ekonomi desa.KLHK sendiri pernah menyatakan bahwa gambut Pulau Padang masuk kategori lahan lindung, namun hingga kini tak satu pun izin dicabut.

Perlawanan Sipil yang Dilawan dengan Kriminalisasi

Warga Pulau Padang tidak diam. Sejak 2012 mereka telah: Mengirim surat terbuka ke Presiden, Menggelar aksi di Jakarta dan Riau, Memblokir kanal perusahaan sebagai bentuk perlawanan sipil.Namun, yang datang bukanlah solusi, melainkan intimidasi, pemanggilan aparat, dan tekanan hukum.

Tuntutan Warga Jelas dan Konstitusional:

1.Batalkan Izin HTI PT RAPP di Pulau Padang yang tumpang tindih dengan lahan rakyat.

2.Akui dan tetapkan tanah ulayat sesuai Putusan MK 35/2012 dan UU Desa.

3.Moratorium aktivitas RAPP di wilayah konflik sampai verifikasi tata batas dan hak selesai.

4.Bentuk Tim Gabungan Nasional (KLHK, ATR/BPN, Kemendes, KSP) untuk penyelesaian menyeluruh.

Seruan Kepada Putra Daerah: Menteri Kehutanan Raja Juli dan Presiden Prabowo

Kini, masyarakat menaruh harapan besar pada Raja Juli Antoni, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang juga putra asli Riau. Sudah saatnya Raja Juli membuktikan keberpihakan kepada tanah kelahirannya dengan menyelesaikan konflik agraria ini secara adil dan bermartabat.

Seruan juga dialamatkan kepada Presiden Republik Indonesia Jenderal (Purn) Prabowo Subianto dan Kejaksaan Agung untuk berikan perhatian lebih dan segera memeriksa ulang status dan legalitas konsesi PT RAPP di Kepulauan Meranti,Mengusut dugaan pelanggaran hukum kehutanan, lingkungan, dan hak masyarakat adat.

Konflik ini bukan sekadar soal administrasi lahan. Ini adalah pertarungan antara hak hidup rakyat dan kerakusan modal. Antara warisan nenek moyang dan keserakahan berbalut legalitas. Negara kini dihadapkan pada pilihan moral dan konstitusional: terus membiarkan rakyat kehilangan tanah dan lingkungan rusak, atau hadir memulihkan keadilan.

Pulau Padang tidak butuh lagi janji atau mediasi tanpa ujung. Ia butuh keberanian negara untuk berdiri bersama rakyat. Jika negara terus memihak korporasi dan membungkam jeritan warga, maka sejarah akan mencatat: inilah babak di mana pejabat mengkhianati tanah airnya sendiri

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x