Jakarta β Mataxpost | Di balik tumpukan uang tunai senilai Rp 11,88 triliun yang disusun rapi dalam plastik berisi pecahan Rp 100 ribu, tersembunyi paradoks besar penegakan hukum Indonesia: lima korporasi raksasa yang terbukti secara administratif menyetor dana kerugian negara dalam skandal ekspor minyak goreng justru dinyatakan tidak bersalah secara hukum oleh majelis hakim. (18/06)
Penyitaan triliunan rupiah dari Wilmar Groupβkonglomerasi raksasa sawit yang menjadi tulang punggung ekspor CPO nasionalβoleh Kejaksaan Agung RI menandai titik balik dalam kasus dugaan korupsi fasilitas ekspor sawit tahun 2022. Namun, sinyal keberhasilan penegakan hukum itu segera terkubur ketika Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan vonis lepas kepada kelima perusahaan yang terlibat.
Uang disita, kerugian dihitung, tetapi pelaku dilepas. Di tengah kontroversi itu, Kejagung justru mengungkap fakta baru: tiga hakim yang memutus perkara ini kini ditetapkan sebagai tersangka suap. Dugaan suap sebesar Rp 60 miliar mengiringi vonis bebas, dan menambah keyakinan publik bahwa hukum masih bisa dipermainkan jika yang duduk di kursi terdakwa adalah perusahaan kakap.
Direktur Penuntutan Jampidsus Kejagung RI, Sutikno, menyebut uang itu disita dari lima korporasi anggota Wilmar Group, yakni:
PT Multimas Nabati Asahan
PT Multi Nabati Sulawesi
PT Sinar Alam Permai
PT Wilmar Bioenergi Indonesia
PT Wilmar Nabati Indonesia
“Ini merupakan hasil tindak lanjut penyidikan terhadap pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya di tahun 2022. Total uang yang disita mencapai Rp 11,88 triliun, berasal dari pengembalian kerugian negara oleh kelima korporasi tersebut,” kata Sutikno dalam konferensi pers di Gedung Bundar, Senin (17/6).
Nilai kerugian dihitung bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan mencakup:
– Kerugian negara akibat kelangkaan dan subsidi
– Keuntungan ilegal yang diperoleh korporasi
– Dampak makroekonomi pada stabilitas harga migor nasional
Namun, semua itu tampaknya tidak cukup bagi majelis hakim. Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur, kelima korporasi dinyatakan lepas dari tuntutan pidana. Jaksa langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, menyertakan tumpukan uang sitaan sebagai bukti bahwa kejahatan ekonomi benar-benar terjadi.
Tak lama setelah putusan lepas dibacakan, Kejagung mengumumkan penetapan tersangka terhadap tiga orang hakim yang memutus perkara ini. Mereka diduga menerima suap senilai Rp 60 miliar dari pihak yang terkait dengan Wilmar Group.
Tak hanya itu, satu pegawai Wilmar turut ditetapkan sebagai tersangka. Penelusuran aliran dana dan komunikasi sedang dilakukan untuk membuktikan konstruksi dugaan persekongkolan hukum yang bisa menjadikan vonis bebas sebagai barang dagangan.
Dalam konferensi pers, Kejagung memamerkan secara simbolik uang tunai sekitar Rp 2 triliun dalam bentuk plastik bening berisi pecahan Rp 100 ribuan. Satu plastik bernilai Rp 1 miliar, disusun berderet membentuk βvisualisasi kerugian negaraβ.
βYang kami lakukan hari ini adalah menunjukkan uang negara yang berhasil kami sita kembali. Publik berhak tahu. Negara tidak diam,β ujar Sutikno.
Simbol itu bukan tanpa makna: Kejagung tampaknya tengah membangun tekanan opini publik terhadap Mahkamah Agung, yang kini menjadi benteng terakhir untuk membatalkan putusan bebas tersebut lewat jalur kasasi.
Apakah vonis bebas benar-benar lahir dari putusan independen, atau ada βkesepakatan senyapβ di balik layar?
Apakah penyitaan uang Rp 11,8 triliun akan sia-sia jika Mahkamah Agung menguatkan putusan PN Jaktim?
Bagaimana dampak jangka panjang terhadap integritas sistem hukum dan posisi Wilmar di pasar sawit dunia?
Ikuti terus laporan eksklusif Mataxpost. Kami tidak sekadar menyampaikan berita kami membongkar kenyataan.
π Redaksi Investigasi, Mataxpost.com