Oleh: Redaksi Mataxpost
Pekanbaru- Di sebuah senyap pagi yang biasa saja bagi kota, tapi penuh tanda bahaya bagi hutan, datang kabar dari Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Seorang Batin ditangkap. Ya, tokoh adat, penjaga nilai, pelindung warisan budaya. Setidaknya, begitu seharusnya. Tapi kali ini, yang dijaga bukan hutan, melainkan network pembeli lahan. Dan yang diwariskan? “Kebun sawit di atas reruntuhan ekosistem”. (22/06)
Tokoh masyarakat berinisialΒ JS. Tapi kisahnya tidak sependek itu. Ia bukan cuma menjual tanah, tapi menjajakan legitimasi. Dengan baju adat dan klaim tanah ulayat, JS disebut memperdagangkan kawasan konservasiβrumah gajah, rumah harimau, rumah air dan pohon-pohon tuaβseolah itu properti keluarga. Konon, JS mewarisi tanah 113 ribu hektare. Nyaris dua kali luas kawasan TNTN itu sendiri. Sungguh, daya imajinasi yang lebih subur dari hutan yang ia jual.
Seorang pembeli, DY, sempat βmembeli hibahβ 20 hektare dari JS. Bahasa adat makin kreatif hari ini. Hibah kini punya kwitansi. Kapolda Riau, Irjen Herry Heryawan, menyebut jual-beli semacam ini bukan transaksi satu arah. JS diduga telah menjual ke lebih dari 100 orang, mungkin lebih, karena rupiah memang pandai menyusup dari balik pelepah sawit.
Penyidik tak tinggal diam. Ahli kehutanan dipanggil, peta diteliti, dan kesimpulannya sederhana: klaim tanah ulayat itu tidak sah secara hukum. Tapi tentu, JS tak sendiri dalam keheningan hutan yang makin bolong.
Yang menarik, dan patut kita catat, adalah bagaimana hukum berjalan gagah saat berhadapan dengan tokoh adat, tapi berjalan pelanβatau bahkan tak terlihatβketika menyusuri jalan korporasi.
Tesso Nilo hari ini bukan semata dirampas oleh parang dan kapak, tapi juga oleh alat berat, oleh proposal CSR, dan oleh para eksekutif berkemeja safari yang memanen keuntungan dari ruang-ruang kelabu. Mereka tak berteriak βtanah ulayatβ, mereka tak membawa tombak. Tapi mereka membawa dokumen konsesi, studi AMDAL dengan tanda tangan basah, dan kemitraan berbasis plasma.
Satu orang Batin ditangkap. Baik. Tapi bagaimana dengan mereka yang menampung hasil perambahan itu? Yang mengangkut sawit keluar dari TNTN? Yang membeli dengan harga bagus dan menutup mata atas asal muasalnya?
Mereka tetap duduk nyaman di ruang berpendingin udara, membuat laporan keberlanjutan tahunan yang penuh foto hijau dan senyum anak sekolah.
Hari ini, adat dijadikan kemasan. Ia dipakai saat perlu. Untuk menyentuh rasa, untuk menekan logika. Tapi bukan hanya adat yang dijual. Konservasi juga kini bisa dinegosiasi. Cukup bawa istilah βpartisipatifβ, tambahkan sedikit program penghijauan, dan semua akan tampak beresβasal jangan tanya ke gajah-gajah yang kehilangan rumah.
JS dianggap salah. Ia menjual sesuatu yang bukan miliknya, lalu berdalih pada adat. Tapi mari jujur: ia hanya satu dari banyak aktor dalam drama panjang yang kita sebut βpengelolaan hutanβ. Ada yang pakai ikat kepala, ada yang pakai dasi. Satu ditangkap, lainnya diundang sebagai pembicara konferensi lingkungan.
Dan di tengah semua itu, hutan hanya diam. Ia tak menggugat, tak mengadu. Ia hanya surut, pelan-pelan. Seperti air yang ditimba dari sumur keramat, oleh tangan-tangan yang dulu bersumpah akan menjaganya.
Hutan bukan hanya warisan nenek moyang, kata pepatah. Ia titipan untuk anak cucu. Tapi jika para pemangku titipan justru menjualnya dengan diskon musiman, maka titipan itu akan menjadi cerita duka. Dan anak cucu kita tak akan mewarisi tanah, hanya foto satelit berwarna cokelat.
Satu Batin ditangkap, dan itu langkah awal. Tapi penebusan sejati hanya terjadi jika kita juga mulai menangkap keheningan hukum yang begitu selektif: garang ke rakyat kecil, tapi tunduk di hadapan korporasi besar yang menggunduli hutan sambil menyanyikan lagu tanggung jawab sosial.
Dan mungkin, pada akhirnya, kita harus bertanya: siapa sebenarnya yang menjual rumah gajah? Batin itu? Atau sistem yang diam-diam membangun supermarket di tengah taman nasional?