Koto Gasib, Siak โ Kepemilikan dan pengelolaan lahan seluas 298,10 hektar oleh Koperasi Produsen Sentra Madani Siak kembali menjadi sorotan masyarakat Kampung Pangkalan Pisang, Kecamatan Koto Gasib, Kabupaten Siak, Riau. Lahan tersebut diklaim telah dilepaskan dari status Hutan Produksi Terbatas (HPT) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 152/Kpts-II/1994 tertanggal 18 April 1994, dan kini difungsikan sebagai area budidaya kelapa sawit. (11/06)
Dalam surat pernyataan tertulis yang ditandatangani Hendro Satrio pada 25 Mei 2018 di Pekanbaru, serta disaksikan oleh Dicky Sofyan dan Tengku Mukthithasar, disebutkan bahwa lahan tersebut bebas dari sengketa dan tidak ada klaim dari pihak ketiga. Namun, masyarakat setempat mulai mempertanyakan dasar hukum dan transparansi penguasaan lahan tersebut.
Yang menjadi perhatian, dalam daftar resmi penerima pelepasan kawasan hutan berdasarkan SK Menteri tersebut, tidak terdapat nama Koperasi Produsen Sentra Madani Siak maupun Hendro Satrio. Justru, yang tercatat secara resmi adalah perusahaan-perusahaan besar dan kelompok tani lainnya, antara lain:
Di Kampar, terdapat PT Adei Crumb Rubber Industry (15.012 hektar), PT Anugrah Niaga Sawita (6.290 hektar), PT Arindo Trisejatera (6.700 hektar), PT Jaya Agra Wattie Tbk (6.300 hektar), PT Buana Wira Lestari (23.310 hektar), serta PT Langgam Inti Hibrindo (1.500 hektar). Di Bengkalis, terdapat PT Arvena Sepakat (13.810 hektar), PT Budi Utomo Pertanian (6.130 hektar), PT Ivo Mas Tunggal (8.750 hektar), PT Kimia Tirta Utama (5.000 hektar), PT KUD Sepakat (3.500 hektar), dan kelompok-kelompok tani seperti Andalas, Bina Makmur, Ceria, Karya Jaya, Tunas Harapan, dan Tani Jaya, masing-masing memperoleh pelepasan antara 750โ1.050 hektar.
Di wilayah lain seperti Indragiri Hulu, Rokan Hilir, Pelalawan, dan Siak, nama-nama seperti PT Agrita Sari Prima (5.630 hektar), PT Agrovaria Gematrans (7.941 hektar), PT Alam Bakti Sejahtera (4.036 hektar), PT Alfa Griya Indah (13.935 hektar), PT Aneka Inti Perdana (12.000 hektar), PT Gandaera Hendana (10.000 hektar), PT Gunung Mas Raya (6.000 hektar), PT Inti Indosawit Subur (5.570 hektar), PT Mitra Unggul Pusaka (5.500 hektar), PT Rokan Adi Raya (8.800 hektar), dan PT Ivo Mas Tunggal unit Siak (13.250 hektar) tercatat sah sebagai penerima pelepasan kawasan hutan.
Fakta Penting: Koperasi di Siak Tidak Masuk dalam SK Menteri Kehutanan?
Berdasarkan dokumen resmi Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 152/Kpts-II/1994, pelepasan kawasan hutan yang terjadi pada tahun 1994 mencakup luas sekitar 8.560 hektar untuk budidaya kelapa sawit di Provinsi Riau, termasuk sebagian wilayah di Kabupaten Bengkalis saat itu. Namun, setelah pemekaran wilayah, sebagian kawasan yang kini masuk Kabupaten Siak, termasuk Koto Gasib, menjadi wilayah strategis yang diperebutkan secara administratif.
Namun yang menjadi masalah besar, adalah bahwa dalam seluruh daftar penerima resmi pelepasan kawasan berdasarkan SK tersebut, tidak ditemukan satu pun nama Koperasi Produsen Sentra Madani Siak maupun tokoh seperti Hendro Satrio, baik sebagai badan hukum maupun individu.
Lebih jauh lagi, dari total lebih dari 30 entitas yang tercatat sebagai penerima pelepasan kawasan, hanya satu perusahaan di wilayah Siak yang tercatat resmi, yakni:
PT Ivo Mas Tunggal, unit operasional di Siak dengan luas pelepasan kawasan sebesar 13.250 hektar. PT Ivo Mas Tunggal mengelola area konservasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bekalar di Kebun Kandista, Kampung Belutu, Kecamatan Kandis, Siak, tempat penanaman 2.000 bibit pohon hutan sebagai bagian dari program konservasi lingkungan .Pabrik pengolahan (PKS) Ujung Tanjung dan area konservasi berada di DAS Kandis (koordinat sekitar 0ยฐ58โฒ13.7โณโฏLU, 101ยฐ15โฒ45.9โณโฏBT) .
Selain itu, seluruh perusahaan penerima lainnya tersebar di Kampar, Indragiri Hulu, Bengkalis, Rokan Hilir, dan Pelalawan. Tidak ada satu pun nama koperasi di Kabupaten Siak lainnya yang muncul dalam daftar penerima pelepasan kawasan, apalagi yang menyebut wilayah spesifik seperti Kampung Pangkalan Pisang di Koto Gasib.
Kasus lahan Sentra Madani Siak bukanlah satu-satunya sengketa lahan di Koto Gasib. Kawasan ini selama bertahun-tahun menjadi pusat konflik agraria antara masyarakat adat, petani lokal, dan korporasi sawit.
Salah satu kasus menonjol adalah konflik antara warga Kampung Buatan I & II dengan PT Wana Subur Sawit Indah (WSSI) tahun 2023 di mana warga menuntut pembagian kebun plasma dan mengkritik ketidakjelasan izin lokasi perusahaan. Aksi unjuk rasa bahkan dilakukan ke DPRD Siak untuk mendesak penyelesaian.
Sementara itu, PT Duta Swakarya Indah (DSI), yang beroperasi di Koto Gasib, Dayun, dan Mempura, juga menghadapi protes keras dari warga. Masyarakat meminta agar izin HGU DSI dicabut karena dinilai bermasalah secara hukum. Bahkan, dalam beberapa mediasi yang dilakukan di kantor camat, ketegangan memuncak ketika pihak perusahaan dituding secara langsung mengambil hasil panen warga tanpa persetujuan, memicu konflik horizontal yang nyaris tak terbendung.
Dalam konteks itu, klaim sepihak koperasi atas 298,10 hektar lahan di Pangkalan Pisang tanpa dasar hukum dan peta resmi yang jelas, dikhawatirkan akan memperkeruh situasi. Banyak pihak menilai bahwa penggunaan SK Menteri sebagai dasar klaim, tanpa verifikasi spasial dan sosial yang sah, justru berisiko menimbulkan instabilitas baru di wilayah yang sejak lama dilanda konflik agraria.
Tokoh adat dan masyarakat menuntut agar pemerintah daerah, KLHK, dan BPN segera turun tangan. Pemeriksaan lokasi dan audit legalitas, termasuk konfirmasi melalui peta lampiran resmi SK 152/Kpts-II/1994, sangat dibutuhkan untuk memastikan apakah benar wilayah Koto Gasib, khususnya Kampung Pangkalan Pisang, termasuk dalam kawasan yang dilepaskan untuk budidaya.
Kini, tekanan agar kasus ini diselidiki aparat penegak hukum semakin menguat. Sejumlah tokoh adat, akademisi, dan warga mendesak agar:
Kepolisian dan kejaksaan menyelidiki keabsahan dokumen klaim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkap peta resmi SK 152/Kpts-II/1994, BPN dan pemkab Siak melakukan audit legalitas lokasi lahan, Dan bahkan muncul seruan agar KPK menyelidiki potensi penyalahgunaan SK atau manipulasi perizinan.
“Kalau betul sah, buktikan dengan peta dan dokumen lengkap. Jangan hanya lembaran pernyataan yang diklaim sepihak. Kami ingin kebenaran, bukan konflik,” ujar salah satu warga yang tak mau disebutkan namanya.
Isu ini kini bukan sekadar persoalan dokumen, melainkan persoalan keadilan agraria, keberpihakan pada masyarakat lokal, dan integritas tata kelola sumber daya alam di daerah.
Kasus ini kini telah menjadi isu nasional tentang tata kelola lahan pasca-pelepasan kawasan hutan. Masyarakat menuntut transparansi, akuntabilitas, dan supremasi hukum, bukan sekadar surat pernyataan sepihak tanpa verifikasi hukum dan sosial.
298,10 hektar bisa jadi hanya puncak gunung es.
Tanpa audit menyeluruh dan pengukuran independen, luas lahan yang dikuasai koperasi bisa lebih besar โ bahkan bisa masuk kawasan yang seharusnya dilindungi atau milik masyarakat.
Hingga berita ditayangkan belum ada klarifikasi resmi dari pihak koperasi dan perusahaan yang disebutkan maupun pemkab siak, berita akan diperbarui seiring informasi terbaru.
Reporter:
Tim Investigasi mataxpostยฉ 2025| Dilarang mengutip tanpa izin tertulis