x

Ketika Seorang Jurnalis Jadi Bupati Alergi Kritik? dan Apakah Kritik Harus Dianggap Fitnah?

waktu baca 5 menit
Kamis, 26 Jun 2025 01:20 5 Editor

SIAK – Konflik berdarah di konsesi PT Seraya Sumber Lestari (SSL), Desa Tumang, Siak, bukan hanya membuka luka agraria lama, tetapi juga menggugah pertanyaan mendasar: siapa yang sebenarnya dibela oleh negara rakyat kecil, korporasi, atau kekuasaan? (26/06)

Dilansir dari media VOA (vox Indonesia) yang memuat artikel Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Riau, Kombes Asep Darmawan, memberikan sinyal keras kepada Bupati Siak, Afni Zulkifli, agar berhati-hati dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat. Dalam konferensi pers pada Senin (23/6/2025), Asep mengungkap bahwa tidak semua yang mengaku masyarakat di kawasan hutan produksi itu benar-benar berjuang demi hidup.

“Ada orang yang sekadar mencari nafkah di sana tetapi ada juga yang memperkaya diri sendiri. Ini yang harus dibedakan oleh Pemerintah Kabupaten Siak,” ujar Asep.

Ia menegaskan bahwa kawasan tersebut secara legal telah diberikan izin pengelolaan kepada PT SSL oleh Kementerian Kehutanan, bukan untuk dijadikan kebun sawit pribadi. Namun, hasil penyelidikan polisi menunjukkan adanya pihak-pihak berduit yang menguasai ratusan hektare lahan secara ilegal.

“Ada yang punya 400 hektare kebun sawit. Bahkan ada bos berinisial A yang menguasai lebih dari 300 hektare, dan YC yang memiliki 184 hektare. Apa iya ini masyarakat yang butuh untuk makan?” ungkapnya.

Afni Zulkifli Menjawab: Jangan Pelintir, Kami Sedang Bekerja

Pernyataan tegas itu langsung direspons Bupati Siak, Afni Zulkifli, lewat unggahan panjang di Instagram-nya. Ia kini sedang berada di Jatinangor, Jawa Barat, mengikuti retreat kepala daerah di kampus IPDN.

Dalam penjelasannya, Afni mengaku telah berkomunikasi langsung dengan Kapolda Riau dan Kombes Asep. Ia menyebut, terdapat informasi yang tersaji di media tidak sepenuhnya sesuai dengan maksud dan konteks sebenarnya.

“Sebagai jurnalis aktif saya sangat paham pentingnya membuat judul seksi dan cantik. Tapi jika tidak dibaca hati-hati, mudah sekali terjadi kesalahpahaman dan fitnah,” tulisnya.

Afni menegaskan bahwa ia menghormati hukum dan tidak akan mengintervensi proses penegakan hukum atas kerusuhan di PT SSL. Namun di sisi lain, ia menegaskan posisi Pemkab Siak sebagai mediator dalam penyelesaian konflik lahan, yang secara hukum dapat dilakukan sesuai dengan UU Cipta Kerja.

“Kasus rusuh PT SSL adalah ranah pidana, biar penegak hukum yang memproses. Tapi konflik agraria adalah masalah berbeda, yang diselesaikan lewat jalur administrasi yang sudah disediakan negara,” tegasnya.

Secara tak langsung narasi yang disampaikan oleh Bupati Siak bisa dianggap sebagai penolakan dan ikut campur media dalam kasus tersebut,

Afni juga menyinggung fakta bahwa wilayah operasional PT SSL berada di kawasan Hutan Produksi (HP), bukan hutan lindung atau konservasi. Ia menyatakan banyak desa di Siak hidup berdampingan dengan kawasan HP yang sudah lama berkonflik.

“Kalau semua perusahaan seperti SSL bertindak sendiri di wilayah konflik tanpa koordinasi dengan pemda, apa jadinya Siak kami?” kata Afni.

Ia menyindir perusahaan HTI yang tak menganggap keberadaan pemerintah daerah. Padahal, menurutnya, konflik agraria di Siak sangat kompleks dan menyangkut perebutan ruang hidup antara rakyat kecil dan dominasi korporasi.

“Jumlah luas izin Hutan Produksi di Siak jauh lebih besar dari wilayah APL tempat hidup masyarakat. Potensi konflik sangat tinggi. Kami berjuang untuk keadilan ekologis tanpa mengganggu kepentingan bisnis,” jelasnya.

Namun Pertanyaannya: Apakah Kritik Media Harus Dianggap Fitnah?

Pernyataan panjang Afni yang sebagian besar menyoroti pemberitaan media menimbulkan pertanyaan baru: apakah kritik harus dibingkai sebagai fitnah hanya karena subjeknya seorang mantan jurnalis? Narasi yang sedang dibangun Afni, apa bedanya dengan pejabat yang alergi kritik?

Afni memang menegaskan dirinya tidak punya utang kepada cukong manapun, tidak kepada perusahaan manapun. Ia menyebut, hutangnya hanya kepada Allah dan rakyat Siak. Namun, pernyataan ini belum cukup meredam kecurigaan publik.

Retorika “kami sedang bekerja” diakir pernyataan tak seharusnya jadi tameng dari kritikan, apalagi untuk membungkam pers, Sebab kenyataannya, konflik Tumang meledak setelah akumulasi panjang, dan peran negara dalam menyikapi konflik agraria belum menunjukkan keberpihakan tegas pada rakyat kecil.

Nada pembelaan diri dan seruan “jangan diplintir” menunjukkan sensitivitas tinggi terhadap kritik, sesuatu yang ironis karena Afni berasal dari dunia jurnalistik itu sendiri.

Jadi, meskipun tidak secara eksplisit melarang media, narasi yang dibangun bisa dianggap sebagai bentuk tekanan halus terhadap jurnalisme kritis semacam “pembingkaian balik” yang berpotensi menimbulkan chilling effect bagi media lokal di Riau pada umumnya

Media bukan musuh. Jurnalisme bukan fitnah. Dan publik punya hak tahu: siapa yang sungguh bekerja untuk rakyat, dan siapa yang hanya pandai meredam krisis untuk menyelamatkan citra.

Afni Zulkifli bukan kepala daerah biasa, ia lahir dari dunia aktivisme, tumbuh di ruang redaksi, seorang jurnalis aktif dan sempat duduk di posisi strategis sebagai staf ahli Kementerian Kehutanan. Ia tahu betul kompleksitas konflik lahan, korporasi HTI, dan ketimpangan izin di kawasan hutan produksi.

Maka wajar jika publik bertanya: Kalau memang tahu sejak dulu, kenapa baru sekarang bicara? Kenapa justru ketika menjabat sebagai Staff Ahli Kementerian Kehutanan, punya akses langsung kepusat, Anda diam? Mengapa tak satu pun skema resolusi konflik untuk rakyat kecil lahir dari meja Anda waktu itu?

Afni tahu siapa yang kuasai lahan. Dia paham struktur izin, dia menyebut sendiri nama-nama besar yang bermain. Tapi mengapa saat punya akses langsung ke kebijakan nasional, ia tidak bersuara? Mengapa kini, ketika konflik meledak, justru media yang dituding “memelintir”?

Satu hal yang luput dari perhatian publik: saat kerusuhan terjadi di PT SSL pada 11 Juni 2025, Afni Zulkifli tiba begitu cepat di lokasi, bahkan sebelum kondisi benar-benar dikendalikan. Ia berorasi, menenangkan, dan bicara tentang keadilan.

Namun publik juga bertanya: mengapa ia muncul secepat itu? Apakah sudah tahu sebelumnya akan ada konflik? Jika tahu, mengapa tak mencegah? Jika tidak tahu, kenapa bisa muncul begitu cepat? Kehadiran Afni ditengah kerusuhan terlalu cepat untuk dianggap kebetulan.

Disclaimer:
Tulisan ini merupakan bagian dari liputan investigasi berbasis pernyataan resmi aparat penegak hukum, keterangan terbuka pejabat publik, serta analisis terhadap kronologi kejadian di lapangan. Redaksi berkomitmen menyajikan informasi secara faktual dan berimbang sesuai Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.

Redaksi Mataxpost.com membuka ruang seluas-luasnya bagi pihak-pihak yang disebut dalam laporan ini untuk memberikan hak jawab. Silakan kirim pernyataan resmi ke:
redaksi: mataxpost2024@gmail.com
WhatsApp: 0822-8676-3302

Sumber:

Pernyataan Dirkrimum Polda Riau

Artikel media yang Kredible dan Faktual.

Hasil Investigasi profesional team.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x