Pekanbaru – Pemerintahan Provinsi Riau di bawah kepemimpinan Gubernur Abdul Wahid kini kian disorot publik. Di tengah derita rakyat akibat jalan rusak, pengangguran, hingga lambannya layanan publik, Gubernur justru tampil dominan dalam rangkaian seremoni. Hampir tiap pekan, publik disuguhi potret sang Gubernur memotong pita, menghadiri pernikahan pejabat, membuka acara seremonial, hingga menerima audiensiβtanpa arah kebijakan atau solusi konkret terhadap masalah rakyat. (09/06)
Sementara itu, Wakil Gubernur SF Haryanto, yang secara konstitusional seharusnya menjadi mitra sejajar dalam pemerintahan, nyaris tak terlihat dalam forum-forum strategis. Ia tidak dilibatkan dalam kunjungan kerja, absen dalam sidang-sidang penting, dan kerap tidak diikutsertakan dalam pertemuan formal dengan pemerintah pusat. Gejala ini menguatkan dugaan bahwa roda pemerintahan berjalan secara sepihak dan tidak sehat secara tata kelola.
Terkait isu tentang gubernur yang berjalan sendiri pernah Diungkapkan oleh tokoh nasional,
βGubernur seolah sedang memerintah seperti raja kecil. Tidak ada semangat kolektif kolegial dalam manajemen pemerintahannya. Wakil hanya dijadikan simbol formal, padahal secara hukum mereka satu kesatuan,β ungkap pakar hukum tata negara Refly Harun, dikutip dari Tempo.
Kritik terhadap gaya kepemimpinan ini semakin deras ketika Gubernur Abdul Wahid secara terbuka menyatakan bahwa pemerintah provinsi tidak memiliki anggaran untuk memperbaiki jalan-jalan rusak. Pernyataan ini menuai kekecewaan sebab masyarakat melihat justru dana tetap mengalir deras untuk kegiatan seremoni, konsumsi mewah, sewa dekorasi, serta mobilisasi ASN dalam setiap acara seremonial.
βKalau tidak ada dana untuk jalan rusak, tapi ada untuk potong pita dan foto-foto, maka ini bukan defisit anggaran, tapi defisit nurani,β tegas Larshen Yunus, tokoh pemuda Riau yang kerap vokal menyuarakan ketimpangan kepemimpinan daerah.
Di media sosial, tagar #RiauTanpaArah mulai digaungkan sebagai bentuk sindiran publik terhadap kepemimpinan yang dinilai lebih banyak bersolek di depan kamera, namun lupa bercermin pada realitas rakyat.
Gubernur bisa dimakzulkan ?
Secara konstitusional, pemakzulan kepala daerah dimungkinkan. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur mekanisme pemberhentian kepala daerah, terutama jika terbukti:
Tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah (Pasal 78), Melanggar sumpah jabatan, Melakukan penyalahgunaan wewenang, Melanggar etika, norma, atau prinsip pemerintahan yang baik (Pasal 67 huruf b), Melakukan perbuatan tercela (Pasal 83).
Pengabaian terhadap kebutuhan rakyat dan dominasi kekuasaan secara sepihak atas nama jabatan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap sumpah jabatan dan prinsip kolektif kolegial.
Jika DPRD Provinsi Riau melihat kondisi ini sebagai krisis kepemimpinan, mereka memiliki hak untuk mengajukan:
1.Interpelasi (meminta keterangan resmi dari Gubernur),
2.Hak Angket (penyelidikan lebih lanjut),
3.Pernyataan Pendapat, yang jika disetujui 2/3 anggota DPRD, dapat diajukan ke Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk pemberhentian.
Aliansi masyarakat sipil, aktivis mahasiswa, hingga tokoh adat mulai menyuarakan mosi tidak percaya terhadap Gubernur Abdul Wahid. Mereka menyebut bahwa Provinsi Riau saat ini sedang mengalami stagnasi kepemimpinan.
Kebijakan berjalan lamban, ASN pasif, birokrasi tidak efektif, dan arah pembangunan kabur. Tidak ada roadmap yang jelas tentang bagaimana pemerintah daerah akan menyelesaikan persoalan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, hingga tata kelola keuangan yang masih menyisakan warisan defisit dan utang.
βKami akan dorong DPRD Riau untuk mengaktifkan hak interpelasi. Riau tidak boleh terus dibiarkan dipimpin oleh gaya simbolik. Ini bukan soal politik, ini soal masa depan daerah,β ujar Mustakim JM, Koordinator Aliansi Pemuda Riau Bangkit.
Fenomena ini juga menunjukkan pergeseran gaya kepemimpinan ke arah simbolisme. Gubernur lebih sering tampil sebagai βaktor panggungβ dalam seremoni daripada βarsitek solusiβ dalam pengambilan kebijakan.
Potong pita bukan program. Fotogenik bukan berarti progresif. Dan menyingkirkan wakil hanya menegaskan bahwa Gubernur sedang memerintah, bukan memimpin.
Sudah saatnya masyarakat dan DPRD bertindak. Bukan hanya untuk mengoreksi gaya kepemimpinan, tapi juga untuk menyelamatkan Riau dari stagnasi dan krisis arah pembangunan. Jika diam, maka publik pun turut menjadi bagian dari kebungkaman yang melanggengkan kepemimpinan tanpa tanggung jawab.
βPublik tidak menuntut pemimpin yang sempurna, tapi pemimpin yang mau mendengar. Sudah saatnya Gubernur membuka ruang dialog kebijakan dengan Wakilnya dan DPRD serta masyarakat sipil. Kembalikan semangat kolektif kolegial, dan jadikan kritik sebagai bahan evaluasi, bukan ancaman.β
Catatan Redaksi: Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari kontrol sosial terhadap jalannya pemerintahan di Provinsi Riau. Kritik dan analisa yang disampaikan bertujuan mendorong terciptanya tata kelola yang lebih terbuka, adil, dan responsif terhadap kebutuhan rakyat.