PEKANBARU, 17 Juni 2025 โ Gelombang protes masyarakat kembali membara. Dugaan kuat keterlibatan PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP), perusahaan raksasa berbasis asing, dalam perambahan kawasan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) kini menyeruak ke permukaan, menyusul langkah tegas Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang menyita 81.793 hektare lahan pada 10 Juni lalu.
Namun yang mengejutkan: hingga hari ini, penegakan hukum justru hanya menyasar rakyat kecil. Sementara itu, perusahaan besar seperti RAPP, serta pabrik-pabrik sawit yang berdiri megah di jantung TNTN, tidak tersentuh hukum.
Untuk diketahui bahwa Direktur Utama PT RAPP telah dipanggil oleh Kejaksaan Tinggi Riau dan Kejaksaan Agung RI. Pemeriksaan dilakukan menyusul laporan berbagai lembaga sipil dan investigasi internal yang mengindikasikan bahwa operasional perusahaan telah melampaui batas izin konsesi dan merambah kawasan konservasi TNTN.
Namun, fakta yang sangat mencolok: tidak ada satu pun informasi resmi yang dibuka kepada publik mengenai materi pemeriksaan tersebut. Tidak ada penjelasan apakah RAPP melanggar izin, siapa yang bertanggung jawab, dan mengapa belum ada sanksi hukum apa pun yang dijatuhkan.
โKejaksaan Agung jangan main mata dengan korporasi asing!โ seru salah satu orator dalam rapat akbar konsolidasi masyarakat dan mahasiswa yang akan turun ke jalan 18 Juni 2025 nanti.
Kondisi ini memperkuat dugaan publik bahwa ada persekongkolan sistemik antara pejabat negara dan perusahaan, yang memungkinkan eksploitasi kawasan konservasi secara massif namun terlindungi oleh kekuasaan.
Warga dan pegiat lingkungan menemukan sejumlah kejanggalan yang tidak bisa dibiarkan:
Sementara rakyat kecil yang hanya memiliki kebun 5โ7 hektare dituduh sebagai perambah liar dan diancam pidana, korporasi besar yang mengelola ratusan hingga ribuan hektare di kawasan yang sama justru tak tersentuh hukum. Sungguh potret hukum yang cacat dan membusuk.
Satgas PKH memang memberi kelonggaran terbatas: hanya kepada warga yang menanam sawit sebelum 2015 untuk memanen hasilnya dalam waktu 3 bulan. Tetapi untuk kebun yang dibuka setelah 2015, langsung dicap ilegal. Tak ada kompromi. Tak ada verifikasi sosial.
โAda diskriminasi. Kami rakyat kecil diminta patuh, tapi perusahaan-perusahaan yang menghancurkan hutan secara sistematis dibiarkan. Ini bukan hukum, ini alat kekuasaan,โ ujar seorang warga Bukit Horas yang menolak disebut namanya.
Merespons ketidakadilan ini, masyarakat dari Bukit Horas dan Toro Jaya, bersama mahasiswa dari berbagai universitas di Riau, akan melakukan aksi besar-besaran pada Rabu, 18 Juni 2025.
Puluhan mobil Colt Diesel akan membawa massa menuju Kantor Gubernur Riau dan Kejaksaan Tinggi Riau. Tuntutan mereka tegas:
Rakyat tak anti penertiban. Tapi rakyat menolak menjadi korban tunggal dari kebijakan yang berpihak pada pemodal besar. Jika negara tak hadir, maka gelombang perlawanan akan tumbuh. Dan skandal Tesso Nilo bisa menjadi titik awal kebangkitan baru rakyat terhadap ketidakadilan struktural di republik ini.
Tidak ada komentar