PEKANBARU – Hasil Pemeriksaan BPK tahun 2023 yang diterbitkan pada bulan Mei tahun 2024 terhadap pengelolaan pajak reklame dan retribusi daerah Pemerintah Kota Pekanbaru mengungkap potensi kerugian miliaran rupiah akibat lemahnya pengawasan, pelanggaran izin, dan kemungkinan praktik korupsi yang sistemik. Namun, dalam LHP BPK tahun 2024, temuan tersebut justru tidak lagi muncul, menimbulkan pertanyaan publik: apakah penertiban benar-benar dilakukan secara menyeluruh, ataukah hanya dibersihkan di atas kertas? (28/07)
Sepanjang tahun 2023, BPK mencatat bahwa terdapat 142 unit reklame di Jalan Tuanku Tambusai dan Imam Munandar yang tidak terdata di SIPADA, dengan potensi kehilangan pendapatan sebesar Rp290,7 juta. Selain itu, 36 objek reklame tidak menyetorkan jaminan bongkar senilai Rp10,4 juta dan 11 tiang reklame besar dipasang tanpa izin penyelenggaraan maupun PBG.
Kebocoran lain ditemukan karena pajak reklame pihak ketiga hanya dihitung berdasarkan Nilai Sewa Reklame (NSR), bukan nilai kontrak aktual seperti diatur dalam Perda Pekanbaru Nomor 4 Tahun 2011, berpotensi menyebabkan kerugian hingga miliaran rupiah setiap tahun.
Meski Satpol PP dan Bapenda telah melakukan penertiban lebih dari 80 tiang reklame ilegal di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dan menjadikannya zona hijau pada Mei 2025, beberapa titik strategis seperti Jalan Tuanku Tambusai, Imam Munandar, SM Amin, Riau, dan Diponegoro masih dipenuhi reklame raksasa ilegal yang tak tersentuh operasi penertiban. Padahal lokasi-lokasi tersebut secara tegas disebutkan dalam LHP BPK tahun 2023.
Fakta bahwa LHP BPK tahun 2024 tidak lagi mencantumkan temuan ini menguatkan dugaan bahwa telah terjadi “pembungkaman administratif” atau upaya menghapus temuan korupsi secara sistematis. Situasi ini diperparah oleh tidak adanya transparansi tindak lanjut, serta dugaan adanya oknum-oknum di balik layar yang melindungi kepentingan pihak swasta tertentu, sehingga reklame mereka luput dari pembongkaran dan tetap berdiri kokoh tanpa menyetor pajak resmi.
Ketua Umum SATU GARIS, melalui Ketua Harian Ricky Fathir, mendesak Pemerintah Kota Pekanbaru agar segera menertibkan seluruh reklame ilegal di luar zona Sudirman. Ia juga meminta aparat penegak hukum segera memeriksa empat pejabat yang diduga memiliki keterkaitan langsung dengan pengelolaan reklame dan PAD, yakni:
Edward Riansyah, SE, MM β Kepala Dinas PUPR Kota Pekanbaru
Akmal Khairi, S.Th.I., M.H β Kepala DPMPTSP Kota Pekanbaru
Dr. Alek Kurniawan, M.Si β Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Pekanbaru
Iwa Gemino β Kepala Bappeda Kota Pekanbaru
Zulfahmi Adrian – Kepala Satpol PP Pekanbaru
Jika terbukti melakukan pembiaran, penyalahgunaan wewenang, suap, atau menerima gratifikasi terkait reklame ilegal, Ricky menegaskan bahwa mereka harus ditangkap dan diadili sesuai hukum yang berlaku, termasuk dugaan pelanggaran Pasal 3 dan Pasal 12 UU Tipikor. APH sudah layak untuk mengusut tuntas siapa dalang penikmat plang reklame ilegal di kota Pekanbaru.
Ricky Fathir juga mendesak Kejaksaan Negeri Pekanbaru, Kejaksaan Tinggi Riau, KPK, dan Inspektorat melakukan investigasi menyeluruh, serta menyelidiki mengapa LHP BPK 2024 tidak memuat lagi temuan penting tahun sebelumnya. Ia mencurigai adanya kongkalikong birokrasi antara oknum pejabat Pemko dan pihak swasta penyelenggara reklame.
Rekomendasi dari SATU GARIS untuk menindaklanjuti skandal ini meliputi audit ulang SIPADA oleh Inspektorat, ekspansi operasi penertiban ke seluruh ruas jalan utama, serta sinkronisasi data antar OPD terkait (Bapenda, DPMPTSP, PUPR, Bappeda) untuk memastikan seluruh reklame ilegal ditindak tanpa tebang pilih.
βJika tidak ada respon, kami akan melaporkan langsung kepada KPK, Kejaksaan Agung, dan PPATK. Kota Pekanbaru terlalu kaya untuk terus dirugikan oleh mafia reklame dan pembiaran aparat birokrasi. PAD harus masuk ke kas daerah, bukan kantong oknum,β tegas Ricky
Publik menanti langkah nyata dari Wali Kota Agung Nugroho, apakah berani menertibkan pejabatnya sendiri dan membersihkan sektor reklame dari praktik rente. Sebab, Kota Pekanbaru yang kaya di atas minyak, di bawah minyak justru menjadi daerah dengan indikator korupsi tertinggi menurut ICW. Skandal ini menjadi ujian nyata bagi komitmen pemerintahan Agung Nugroho dalam membenahi tata kelola pendapatan daerah secara transparan dan akuntabel.
Eksplorasi konten lain dari ππππ π-π©π¨π¬π
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.